Komunitas GUSDURian Jakarta kembali menggelar Forum Jumat Pertama (FJP), pada Jumat (1/9/2023). FJP dilaksanakan di halaman Rumah Pergerakan Griya Gus Dur, Jalan Taman Amir Hamzah, Matraman, Jakarta Pusat. Pada FJP kali ini GUSDURian Jakarta membawakan tema “Refleksi Menuju Pemilu 2024: Tetap Waras Di Zaman Edan”, dengan menghadirkan berbagai narasumber seperti Anggota KPU RI Idham Holik, Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja, Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya, dan Putri Gus Dur Inaya Wahid, serta dimeriahkan penampilan musik oleh Marjinal Band.
Forum Jumat Pertama (FJP) di bulan September ini terasa spesial, lantaran forum itu menjadi puncak dari peringatan Harlah Gus Dur yang diadakan oleh para penggerak GUSDURian Jakarta. Melalui kegiatan ini, tentunya GUSDURian Jakarta berharap bahwa pemilu yang diselenggarakan nanti di tahun 2024 harus dilakukan dengan riang gembira. Karena sejatinya pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat, karena pada dasarnya tidak ada seseorang yang berdaulat tanpa adanya kewarasan. Mereka yang ikut berkontestasi di Pemilu 2024 perlu memiliki pribadi yang bertanggung jawab agar memberikan pelayanan terbaik kepada rakyat.
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Idham Holik menjelaskan bahwa untuk memahami kata ‘waras’ yang dijadikan tema pada diskusi itu, kita perlu menjaga rasionalitas kita. Ia juga menambahkan bahwa dalam menjaga asas pentingnya demokrasi, kita tidak boleh terjebak dalam sebuah situasi yang membuat kita tidak menjadi rasional dalam bertindak di tengah banyak gempuran media yang membicarakan panasnya Pemilu 2024.
“Kita harus menjaga rasionalitas kita agar tidak mudah terprovokasi dan terjebak pada subjektivisme terkait hal-hal yang sekiranya membuat kita tidak menjadi makhluk rasional. Kewarasan yang kita bicarakan hari ini merupakan keniscayaan yang harus kita miliki,” tutur Idham Holik dalam forum tersebut.
Dirinya menambahkan, semua elemen bangsa wajib belajar dari pemilu sebelumnya dan berusaha keras untuk tidak menggunakan politik identitas sebagai kendaraan politik. Seperti yang tercantum dalam pasal 280 ayat 1 UU Nomor 7 tahun 2017, lanjut Idham, di mana dalam pelaksanaan kampanye seseorang yang mencalonkan diri tak boleh menggunakan pendekatan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Perebutan kekuasaan mesti dilakukan dengan cara yang beradab dan tidak menghalalkan segala cara.
“Peristiwa politik seharusnya menumbuhkan kerukunan, bukan justru mempertontonkan gimmick yang berlebihan sehingga terjadi polarisasi masyarakat apalagi pembelahan sosial,” pungkasnya.
Upaya pencegahan terhadap pelanggaran pemilu wajib disiapkan dari sekarang. Itu pula yang disampaikan oleh Rahmat Bagja, Ketua BAWASLU RI.
“Untuk memaksimalkan pelaksanaan tahapan pemilu kita sudah berkolaborasi bersama beberapa pihak. Tentu kami juga berharap bahwa teman-teman GUSDURian juga membantu kami untuk mengawasi supaya tercipta pemilu yang damai dan aman,” tutur Rahmat Bagja.
Di sisi lain, Yunarto Wijaya menjelaskan bahwa kalau saat ini kita memasuki tahun pemilu dengan kepuasan publik yang cukup baik, di mana problem besar tidak begitu terjadi, mestinya kecenderungan konflik di pemilu 2024 nanti lebih kecil.
Ia juga menilai bahwa hari ini kebanyakan lembaga survei tidak menjelaskan secara detail mengenai kepuasaan publik terhadap pemerintahan sekarang seperti apa. Menurut dari hasil survei yang Yunarto ungkapkan bahwa ternyata kepuasaan publik yang mencapai 80 persen hanya sebatas kepuasaan secara emosional, bukan yang lain. Maka dari itu sekalipun terjadi konflik, dampaknya nanti tidak terlalu besar dalam kehidupan masyarakat.
Namun yang ia sayangkan pada tahapan menuju Pemilu 2024, para calon yang katanya dicalonkan sebagai presiden tidak banyak membicarakan hal-hal penting seperti hilirisasi, ketahanan pangan, dan lain sebagainya. Semua orang justru sibuk mencari gimmick mana yang cocok untuk bisa mendapat dukungan dari penguasa sekarang.
Oleh karena itu kita tidak perlu fokus terhadap pemilunya, melainkan fokus pada demokrasinya. Itulah yang selalu dibawa oleh Gus Dur menurut Inaya Wahid dalam acara forum tersebut. Menurut Inaya, beberapa orang yang disurvei di 57 negara menyatakan bahwa 92 persen setuju menjawab negara demokrasi. Akan tetapi ketika ditanya lebih lanjut mengenai kesukaan mereka terhadap pemilu, mayoritas menjawab tidak.
“Kebanyakan di antara mereka justru benci dengan hasil pemilu, tetapi mereka justru suka dengan demokrasi. Kebanyakan orang sekarang merasa capek saat membicarakan pemilu karena kebanyakan para calon yang saat ini maju tidak merepresentasikan suara rakyat yang sesungguhnya,” terangnya.
Gus Dur telah mengajarkan kita bahwa pemilu adalah peristiwa lima tahunan. Sementara menjaga kebhinekaan berlaku sepanjang hayat. Sehingga jangan sampai kewarasan kita di Pemilu 2024 nanti justru hilang. Tidak perlu menghadapi pemilu seperti perkara hidup mati. Jangan sampai karena pemilu, memecah persaudaraan sesama anak bangsa. Persaudaraan yang pecah merendahkan martabat bangsa. Karena kalau kata Gus Dur, yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.