Nyanyian suara jangkrik menghibur telinga. Cuaca yang sangat dingin menusuk-nusuk sel-sel kulit. Suara pengajian yang merdu mulai terdengar dari toa masjid. Tanda waktu subuh akan segera tiba. Sementara anak-anak kos masih tertidur pulas, kecuali si Reza.
“Tok, tok, tok.”
“Siapa?”
“Ini aku Reza. Ayo bangun, sedikit lagi azan subuh akan dikumandangkan,” ucap Reza sembari berjalan menuju masjid.
Belum sadar sepenuhnya, Genta segera bangun membuka pintu kamarnya dan buru-buru mengambil air wudhu.
***
Setelah sholat subuh semua jama’ah berjabat tangan, sesekali saling melempar senyum dan menundukkan badan. Masjid pun sudah terasa sunyi, Genta mulai melantunkan ayat Qur’an dengan merdu. Sementara Reza duduk di samping Genta mendengarkan suara merdu itu.
“Shadaqallahul-‘adzim,” Genta mengakhiri bacaanya dan mencium Qur’an dengan penuh cinta.
“Genta, menurutmu apakah menjadi pengemis itu dilarang dalam Islam?” tanya Reza penuh penasaran.
“Kenapa kamu menanyakan hal itu? Apakah kamu ingin jadi pengemis juga?” ucap Genta sembari memperbaiki cara duduknya
Reza tertawa mendengar ucapan Genta. Reza mendekati Genta dan menjelaskan mengapa ia menanyakan tentang pengemis.
Suatu hari, Reza lagi asik duduk di sebuah rumah makan di Gorontalo sembari menunggu makanan yang dipesannya. Selang beberapa waktu datang pengamen sambil menyanyikan lagu-lagu Iwan Fals dan menyodorkan kantongan untuk diisi uang. Namun tak butuh waktu lama lagi, seorang pengemis datang.
“Pak, saya mau minta rezeki,” begitulah ucap sang pengemis kepada beberapa pengujung rumah makan.
Tibalah waktunya pengemis itu menghampiri Reza dan mengatakan hal yang sama seperti kepada pengujung lainnya. Namun kali ini ada yang berbeda.
“Pak, saya minta rezeki sedikit.”
“Belum ada pak, mohon maaf yaa. Lagipula rezeki itu jangan diminta sama manusia pak, tapi minta sama Allah,” Reza menundukan kepalanya untuk menandakan permintaan maafnya kepada pengemis itu.
“Kalau misalnya tidak punya uang, apakah saya bisa beli nasi di sini, tapi bapak yang bayar?” minta pengemis itu kepada Reza. Reza memberi respons yang sama. Tetapi pengemis itu memaksa Reza dan mengatakan sebuah hinaan kepada Reza dengan suara kecil
“Gaya elit, duit sulit,” ucap pengemis itu dengan volume suara yang kecil sembari meninggalkan Reza. Ucapan pengemis itu didengar oleh Reza. Rasa marah terhadap pengemis itu hadir di dalam diri Reza, tetapi Ia menahan diri agar tidak memperkeruh suasana di rumah makan.
“Yang sabar mas. Kadangkala pengemis yang tadi itu selalu mengajak ribut pengunjung lain jika tidak memberinya uang atau tidak membelikannya makanan,” ucap karyawan rumah makan sembari membawakan makanan yang dipesan Reza.
***
Setelah mendengarkan cerita dari Reza, Genta diam sejenak.
“Bagaimana pendapatmu setelah mendengarkan ceritaku?”
“Kamu tahu aku ini bukan ustaz atau seorang kiai,” ucap Genta
“Iya aku tahu. Tapi kamu kan pernah belajar di pesantren,” ucap Reza
“Baiklah kalau begitu, tapi jika jawabanku tidak memuaskanmu jangan salahkan aku, karena saat di pesantren aku selalu ketiduran saat ada pembahasan kitab-kitab,” ucap Reza
“Tidak apa-apa. Walaupun kamu bukan seorang ustaz atau kiai, tapi kamu berhak memberi pendapat atas cerita yang aku ceritakan itu.”
Genta bingung akan memulai dari mana. Genta mencari cara duduk yang nyaman agar pikirannya pun tenang.
“Di Indonesia ini ada banyak pengemis dengan ciri khasnya masing-masing. Contohnya yang berpura-pura menjadi disabilitas. Jika kamu memberi uang kepada pengemis dengan rasa kasihan, maka uang yang diterima oleh pengemis yang berpura-pura itu menjadi haram.” Kali ini Genta memperbaiki cara duduknya dan menlanjutkan kembali penjelasanya
“Hal ini juga berlaku bagi yang berpura-pura meminta sumbangan masjid, uang yang diterima dari si pemberi hukumnya jadi haram.”
“Jadi intinya mengemis itu dilarang ya?” tanya Reza
“Tergantung sampai sejauh mana keadaan memaksa kita untuk menjadi pengemis,”
Reza menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu. Hal itu menandakan bahwa ia masih bingung dengan penjelasan Genta.
“Begini Reza, jika keadaan yang memaksa untuk menjadi pengemis, maka cara-cara yang digunakan tidak boleh seperti pengemis yang kau ceritakan tadi, berbohong menjadi disabilitas, atau berbohong meminta sumbangan untuk pembanguna masjid ini dan itu,” tutup Genta
Reza hanya diam memikirkan pendapat Genta. Reza penasaran, jika ia bertanya kepada ustaz atau kiai apakah jawaban mereka akan sama dengan jawaban Genta. Karena cukup lama diam, Genta melanjutkan pembicaraannya.
“Apakah kamu pernah dengan cerita Gus Dur bersama pengawalnya yang memberi uang kepada pengemis?” tanya Genta
Reza menggelengkan kepalanya, tanda belum pernah mendengar cerita yang dimaksud Genta.
Genta merapikan kopiahnya yang mulai miring dan menceritakan cerita Gus Dur tersebut.
Suatu hari Gus Dur lagi ingin berziarah ke makam Sunan Ampel. Tetapi saat memasuki kawasan makam, tiba-tiba ada seorang pengemis menghampiri Gus Dur untuk meminta uang. Tetapi saat itu Gus Dur sudah tak punya uang lagi. Sehingga ia menyuruh pengawalnya untuk memberikan uang kepada pengemis itu.
“Tolong berikan dulu uangmu kepada pengemis itu,” ucap Gus Dur
“Tapi uang saya tinggal Rp.5.000 Gus. Takutnya sebentar jalan pulang ada keperluan lain.”
“Masih untuk kamu punya uang Rp. 5.000, pengemis itu tidak punya apa-apa,” ucap Gus Dur
***
“Reza, Reza, Reza,” Genta menyadarkan Reza yang sedari tadi diam.
“Kamu kenapa Reza?” tanya Genta
“Tidak kenapa-kenapa. Makasih atas pendapat dan ceritamu tentang Gus Dur ya. Aku balik dulu.”
Genta bingung dengan sikap Reza yang tiba-tiba berubah saat mendengar cerita Gus Dur.
“Aku kenapa ya tiba-tiba tak sadarkan diri saat mendengar nama Gus Dur,” gumam Reza saat di jalan pulang
Genta pun segera balik ke rumahnya karena hari ini ia harus pergi ke rumah Kiai Muhyiddin.