Berangkat dari kasus intoleransi dan diskriminasi yang tinggi hingga maraknya ujaran kebencian di dunia maya dan politisasi identitas menjelang Pemilu 2024, Jaringan GUSDURian menggelar forum group discussion (FGD) dengan tema “Pengembangan Narasi Toleransi dan Demokrasi Kebangsaan” pada Jumat, 4 Oktober 2023 di Jakarta. Kegiatan ini terslenggara berkat kerja sama antara Jaringan GUSDURian, Ditjen Politik dan Pemerintah Umum Kementerian Dalam Negeri (Polpum Kemendagri RI), serta Ford Foundation.
FGD Pengembangan Narasi bertujuan untuk mendiskusikan peta isu tentang toleransi dan demokrasi kebangsaan serta strategi kampanyenya baik secara daring atau luring. Maka dari itu, beberapa digital media expert hingga peneliti juga turut dilibatkan dalam acara ini, di antaranya Savic Ali, Damar Juniarto, Ainun Chomsun, Heru Prasetia, Adin Fahima Zulfa, dan lain-lain.
Sementara itu, terdapat sekitar 30 peserta dari berbagai perwakilan lembaga masyarakat sipil, lembaga keagamaan, dan lembaga pemerintah yang berpartisipasi dalam diskusi. Di antaranya adalah Imparsial, Wahid Foundation, INFID, ANBTI, Maarif Institute, KUPI Pedia, PBNU, PP. Muhammadiyah, PGI, KWI, Matakin, Bakesbangpol Prov. DKI Jakarta, Badan Penguatan Ideologi Pancasila, dan masih banyak lagi.
Jay Akhmad, Koordinator Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian, mengatakan bahwa pertemuan yang melibatkan banyak lembaga ini akan lebih menarik jika difokuskan pada upaya preventif atau pencegahan, terutama terkait antisipasi kasus-kasus intoleransi dan diskriminasi, terlebih dalam situasi menjelang Pemilu 2024.
“Kenapa kemudian kita mengajak Bapak-Ibu sekalian dalam penyebaran narasi ini? Karena tingkat intoleransi belum menurun secara signifikan. Terakhir kami di Jaringan GUSDURian masih mendapatkan laporan bahwa banyak rumah ibadah susah dibangun dan administrasinya dipersulit. Ada proses politik di tingkat lokal yang menjadi hambatan,” ujar Jay Akhmad.
Dirinya menambahkan, kasus intoleransi seperti penolakan pendirian rumah ibadah bisa jadi muncul dari narasi yang berkembang di media sosial selama ini. Jay juga berharap, pertemuan FGD tersebut dapat menghasilkan sikap bersama dalam merespons situasi itu.
“Bisa jadi ada cara pandang yang berkembang di masyarakat, yaitu narasi yang berkembang terutama di medsos, seperti narasi membangun gereja adalah kristenisasi. Di sisi lain, banyak mushola dan masjid yang dibangun tapi tidak ada narasi islamisasi yang berkembang. Ini penting bagaimana kita menyikapi situasi ini,” tandasnya.
Sementara itu, Bimantoro, peneliti dari Yayasan Paramadina mengungkapkan bahwa terkait hoaks yang sering beredar di media sosial dapat dipahami dengan membaginya menjadi dua kategori, yaitu misinformasi dan disinformasi.
“Misinformasi adalah narasi benar tapi disalahartikan, sedangkan disinformasi adalah orang yang sengaja memberikan narasi yang memang salah dan tidak benar. Sampai saat ini secara akademis dan ilmu pengetahuan, belum ada satu metode yang valid untuk menguji disinformasi ini, karena kita perlu tahu hati disinforman yang sengaja menyebar hoaks. Maka dari itu, saya sebenarnya yang lebih mudah ditangani adalah misinformasi,” ungkap pria yang akrab disapa Bimo tersebut.
Sejalan dengan hal tersebut, Brigjen Pol Hariyanta dari Baintelkam POLRI mengungkapkan bahwa Pemilu 2024 masih rawan munculnya hoaks, ujaran kebencian, hingga berita palsu. Pesta demokrasi ini, menurutnya, juga memiliki tantangan polarisasi hingga potensi politik identitas di masyarakat.
“Tantangan Pemilu 2024 adalah adanya potensi kerawanan, yang mana masyarakat dapat terpolarisasi terhadap pilihan politiknya. Hal ini akan menampilkan potensi politik identitas. Selain itu juga adanya perang media dan informasi, hoaks, hate speech, fake news,” ujarnya.
Dalam kesempatan selanjutnya, Sayyidatul Insiyah dari Setara Institute menyebutkan bahwa generasi Y dan generasi Z memiliki tantangan yang cukup besar terhadap isu intoleransi ini. Perempuan yang akrab dipanggil Sisi tersebut berharap pemerintah turut mengambil peran dan menjadikan isu ini sebagai concern.
“Ada fakta menarik bahwa dari survey yang kami lakukan di lima kota: Surabaya, Padang, Bogor, Solo, Bandung, dari 947 responden kami menemukan bahwa 0,3% adik-adik di SMA tergolong “terpapar”. Salah satu indikasinya adalah pertanyaan kunci soal Pancasila dan 83,3% menyatakan bahwa Pancasila adalah bukan ideologi permanen. Hal ini perlu menjadi concern bagi pemerintah dalam memberikan klarifikasi dan sekiranya bersama-sama termasuk BPIP sebagai aktor negara yang sangat mempunyai peran terkait hal ini,” terang Sisi.
Pada kesempatan lainnya, Dumari dari Kesbangpol DKI Jakarta mengatakan toleransi memerlukan sikap terbuka dan menerima. Jika ada pembubaran ibadah, menurutnya, perlu dilakukan pemahaman terhadap kelompok intoleran tersebut. Dumari berharap Jaringan GUSDURian dapat memberikan pemahaman ini ke berbagai daerah.
“Mereka beribadah dengan caranya sendiri dengan memuji Tuhannya, kemudian ada yang mengusik atau membubarkan, itulah yang perlu kita beri pemahaman tentang bentuk-bentuk ibadah. Karena tujuan dari toleransi adalah menciptakan suasana yang harmonis serta menciptakan kerja sama antarumat beragama, itu mungkin nanti teman-teman dari GUSDURian bisa mensosialisasikan ke teman-teman di daerah sehingga pemahaman ini mungkin bisa disebarkan,” paparnya.
FGD Pengembangan Narasi Toleransi dan Demokrasi Kebangsaan ini dimulai pukul 08.00 hingga 12.00 WIB. Acara dibuka dengan doa dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, lalu diakhiri dengan foto bersama.