Social Media

Menghadapi Pemilu 2024: Golput Bukan Solusi Perubahan

Sebentar lagi kita akan menghadapi pemilu dan pilkada, hanya tinggal menghitung bulan saja. Namun yang kerap terjadi di setiap pesta demokrasi langsung ini adalah adanya beberapa kelompok masyarakat yang memilih untuk tidak memilih atau yang disebut dengan golput (golongan putih). Istilah golput sendiri mulai dikenal pada tahun 1971.

Golput pada tahun 1971 adalah gerakan yang digaungkan oleh pemuda dan mahasiswa sebagai bentuk protes terhadap penyelenggaraan pemilu pada masa Orde Baru. Mereka tetap datang ke TPS tapi tidak mencoblos pada gambar calon, melainkan di setiap sisi luar gambar sehingga menyebabkan suara menjadi tidak sah.

Kenapa pada waktu itu mereka tetap datang ke TPS? Tentu karena saat itu, masyarakat tidak ada yang berani secara terang-terangan tidak datang ke TPS karena mereka bisa ditandai dan mendapatkan resiko ditangkap aparat dan dikenai hukuman penjara hingga lima tahun, hanya karena memilih golput.

Jadi apakah golput itu salah? Secara hukum tidak, karena jelas sampai saat ini belum ada regulasi yang mengatur mengenai larangan golput. Lagi pula golput adalah hak, hak untuk memilih dan hak untuk tidak memilih. Sebagai anak muda saya pun memahami sebagian besar alasan orang-orang memilih golput, yaitu bukan hanya sekedar alasan sedang kerja dan kondisi merantau atau karena malas datang ke TPS saja. Bukan. Meski harus diakui bahwa sekarang ini pilihan golput lebih bersifat apolitis.

Tapi masyarakat juga jenuh, frustasi, bahkan muak dengan hasil kepemimpinan yang tidak membawa perubahan pada kemajuan. Wajah pemimpin yang selalu muncul di layar kaca dan berbagai media adalah wajah para koruptor, praktik hukum yang tidak berkeadilan terhadap rakyat kecil, brutalitas kekuasaan seperti kasus Mario Dandy dan yang terbaru adalah anak DPR yang menganiaya kekasihnya hingga tewas.

Harus diakui kadang godaan untuk memilih abai dan apatis itu ada, karena toh semua permasalahan-permasalahan tadi akan kembali terulang. Yang akan kita lihat adalah seorang nenek Minah yang mencuri kakao dan dihukum penjara, meski betul dalam pandangan hukum positif dia bersalah. Tapi tidakkah itu potret ironi jika dibandingkan dengan kasus Sambo, seorang pemegang kuasa yang melakukan pembunuhan berencana kemudian dihukum seumur hidup saja?

Belum lagi kasus-kasus HAM yang sampai sekarang belum terselesaikan hingga terancam kadaluwarsa, seperti kasus pembunuhan aktivis Munir, bahkan Wiji Thukul saja hingga sekarang entah di mana rimbanya. Belum lagi keadilan bagi keluarga mahasiswa dalam tragedi 1998 seperti peristiwa Semanggi. Itu semua hanya segelintir kecil dari berbagai permasalahan yang tidak diselesaikan oleh bangsa ini. Teringat di benak saya saat menonton video Gus Dur ketika diwawancara di Kick Andy; “Bahwa bangsa ini pengecut karena tidak berani bertindak terhadap orang yang bersalah”, itu benar adanya.

Apakah masih ada harapan jika di pemilu dan pilkada nanti dapat memberikan perubahan yang lebih baik? Ada. Kembali saya kutip kata-kata Gus Dur yang ditampilkan dalam acara Rossi empat tahun lalu; “Dari sekarang kita tahu hasil pemilu tidak akan memuaskan siapa pun. Namun, menyerahkan jalannya roda-roda pemerintahan kepada para penguasa tanpa melalui pemilu rasanya amat berjauhan dari sikap hidup sebagai bangsa. Sebagai bangsa pejuang, kita sanggup hidup dalam keadaan apa pun tanpa kehilangan akal sehat. Kita tetap dapat membedakan mana yang benar dan salah”.

Itu artinya, kita punya kuasa untuk menentukan siapa yang lebih layak untuk menjadi pemimpin dan wakil rakyat. Ini juga perlu adanya konsistensi dimulai dari kita sendiri, yaitu dengan tidak ikut serta melanggengkan budaya money politic. Sungguh uang 50 ribu-200 ribu tak sebanding dengan masa depan bangsa yang kita korbankan.

Lagi pula, kita jangan sampai mundur kembali ke belakang yang mana bahkan kita tidak bisa ikut serta berpartisipasi dalam menentukan pilihan pemimpin kita sendiri. Kita bisa ikut serta melakukan perubahan dengan cara tidak memilih golput, kemudian pilihlah pemimpin yang terbaik meski harus dari yang terburuk.

Anggota PMII Kota Serang, Banten.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *