Social Media

Rumah Kemanusiaan GUSDURian Pare: Satu Atap Beragam Keyakinan

Manusia lahir di dunia sebagai makhluk universal, yaitu makhluk ciptaan Tuhan yang melekat bersamanya hak dan kewajiban saat ia dilahirkan. Hak hidup, tumbuh, berpendapat, berkeyakinan, dan melaksanakan ritual agama berdasarkan apa yang diyakini.

Adalah penduduk Rumah Kemanusiaan GUSDURian, rumah bersama yang berdiri sejak 2018 hingga saat ini. Rumah ini terdiri dari Sanggar Lansia Kus Nugroho sejak 2015 dan Sanggar Anak Ranseba sejak 2008, dengan latar belakang penduduk yang beragam suku, budaya, agama, dan keyakinan. Rumah kemanusiaan ini dihuni sekitar 35 orang yang terdiri dari anak-anak kecil, pemuda, dan lansia. Mereka hidup bersama dan damai di tengah agama dan keyakinan yang berbeda-beda. Di sini, ada pemeluk Islam, Hindu, Buddha, Konghucu, Kristen, dan Protestan.

Rumah kemanusiaan yang memiliki 22 kamar lansia, 4 kamar anak-anak, dan beberapa ruang lainnya ini didirikan secara swadaya dan dikelola oleh para relawan yang berasal dari Komunitas GUSDURian Mojokuto Pare, Kediri. Pengelolaan tersebut meliputi semua kebutuhan hidup sehari-hari, pemenuhan kebutuhan gizi, dan jaminan kesehatan untuk semua penduduk rumah kemanusiaan.

Hal unik yang ditemukan di Rumah Kemanusiaan GUSDURian adalah implementasi Indonesia sebagai rumah bersama dan hidup sederhana dalam kebhinekaan. Beragamnya agama dan kepercayaan penduduk rumah kemanusiaan ini tidak menjadi sebab perdebatan, khususnya dalam praktik ritual agama masing-masing.

Terlebih lagi setiap perayaan hari raya. Setiap hari raya menjadi momen romantis untuk semua penduduk rumah kemanusian. Hal ini disebabkan karena saat hari raya agama apa pun, semua penduduk ikut serta menyambut dan merayakan. Perayaan ini tentu bertujuan agar mereka tidak merasa sendiri dan sedih saat hari raya tanpa adanya kehadiran keluarga.

Mayoritas penduduk rumah kemanusian adalah lansia yang berasal dari wilayah Karesidenan Kediri maupun luar Kediri. Sebagian dari mereka tidak memiliki identitas karena lupa asal-usulnya, yang kemudian oleh para relawan GUSDURian dibawa ke rumah kemanusiaan untuk ditemani, didampingi dan diberi perlindungan secara psikologis.

Selain lansia, anak-anak yang tumbuh bersama di rumah kemanusiaan juga berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Sebagian dari mereka ada yang masih duduk di bangku sekolah, dan sebagian lainnya ada yang sudah bekerja di sekitar Pasar Loak Pujasera Pare yang lokasinya berdampingan dengan Rumah Kemanusiaan GUSDURian.

Aktualisasi Nilai Kemanusiaan Gus Dur di Rumah Kemanusiaan GUSDURian Pare

Relawan GUSDURian sendiri dalam melakukan gerakannya selalu berlandasan dengan sembilan nilai utama Gus Dur, yang salah satunya adalah nilai kemanusiaan. Nilai kemanusiaan yang diteladani oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi landasan dalam setiap pandangan, pemikiran dan pergerakan. Bahkan di atas batu nisan Gus Dur tertulis “here rest a humanist”, yang menandakan bahwa di masa hidupnya Gus Dur telah banyak tercatat sejarah sebagai bapak pejuang kemanusiaan.

Dalam buku Fatwa dan Canda Gus Dur, KH. Maman Imanulhaq menulis pesan singkat Gus Dur tentang tiga substansi hubungan antarmanusia, yaitu “Mari kita wujudkan peradaban di mana manusia saling mencintai, saling mengerti, dan saling menghidupi”. Pesan Gus Dur tersebut dapat diimplementasikan sebagai framework luas dalam berkehidupan di tengah masyarakat universal ini.

Gus Dur meneladani bahwa dalam kehidupan beragam dan banyak warna ini, manusia terdiri dari banyak wajah dan tugas pentingnya adalah belajar memahami, mengerti, saling memberi kesempatan, dan memaafkan orang lain. Apabila setiap diri manusia saling memiliki cinta dan rasa pengertian antara satu dengan lainnya, tentu persoalan perbedaan agama dan keyakinan bukanlah hal yang patut dijadikan alasan perpecahan dan perselisihan.

Sebagai negara demokrasi, Indonesia menjadikan Pancasila sebagai asas hidup bernegara, berbangsa, dan filosofi hidup. Tertuang dalam sila kedua: “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, yaitu konsep hidup yang menjunjung tinggi nilai kemanusian secara adil dan setara. Bahwa setiap manusia adalah sama, setiap jiwa memiliki hak dan penghargaan yang setara. Sikap positif yang dicerminkan dalam sila kedua Pancasila tersebut adalah penghormatan terhadap sesama manusia, martabat, dan kedudukan serta hak asasi manusia. Penghormatan tersebut mencakup penghargaan dan pengakuan bahwa semua manusia memiliki nilai yang sama tanpa memandang perbedaan suku, agama, ras, warna kulit, golongan, dan jenis kelamin.

Untuk itu, aktualisasi dari menjunjung nilai kemanusiaan yang diajarkan Gus Dur sebagai filosofi dan landasan gerak salah satunya adalah dengan menghargai perbedaan keyakinan dan agama. Sikap menghargai perbedaan keyakinan dapat dicerminkan dalam bentuk pemberian kesempatan melaksanakan ritual ibadah agama masing-masing tanpa adanya ketakutan dan ancaman. Pemberian pengertian dan berbagi rasa aman dalam menjalankan pedoman dan ajaran agama masing-masing.

Rumah kemanusiaan GUSDURian menjadi contoh kecil dan sederhana bahwa semua manusia dapat mewujudkan kehidupan damai dengan lingkungan masyarakatnya. Damainya kehidupan itu ditopang oleh sikap saling memberi pengertian dan menghargai perbedaan antara sesama, juga saling memberi kesempatan dan menjunjung kemanusiaan.

Indonesia sebagai negara demokrasi menjunjung tinggi hak dan kebebasan berpendapat dan berkeyakinan. Semua umat manusia tidak dapat disatukan dalam agama yang sama, tapi semua umat beragama dapat disatukan dalam isu kemanusiaan yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa kemanusiaan adalah nilai tertinggi dalam falsafah hidup berpancasila. Di atas perbedaan agama dan keyakinan apa pun, ada nilai kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi.

“Kemiskinan terbesar bukan karena orang tidak bisa makan. tapi orang yang tidak dianggap, tidak beridentitas, dan tidak dikenal”, ujar salah seorang relawan Rumah Kemanusiaan GUSDURian. Ia berpandangan bahwa bencana terbesar bagi umat manusia adalah bencana sosial, di mana seorang manusia tidak mau lagi mempedulikan manusia lainnya yang membutuhkan atau sedang kesusahan.

Hakikatnya manusia diciptakan untuk saling melengkapi dan memenuhi kebutuhan satu sama lain. Manusia adalah makhluk sosial yang tentu saling berkaitan. Hilangnya kepekaan dan rasa peduli dari diri manusia akan menimbulkan dampak bencana sosial yang besar.

Nilai kemanusiaan ala Gus Dur direfleksikan dalam kehidupan Rumah Kemanusiaan GUSDURian. Gus Dur telah memberi teladan nilai kemanusiaan yang benar-benar berangkat dari dalam jiwa yang dapat diimplementasikan dalam seluruh sendi kehidupan melampaui batas teritorial, etnis, keagamaan bahkan kenegaraan.

Sehingga, nilai kemanusiaan Gus Dur ini adalah yang paling relevan untuk diterapkan dalam sendi kehidupan apa pun. Gus Dur juga berpesan, “Tidak penting agama atau sukumu. Jika kamu dapat melakukan hal-hal yang baik bagi semua orang, orang tidak akan pernah bertanya apa agamamu”.

Begitu pula kehidupan di Rumah Kemanusiaan GUSDURian, tidak membedakan agama atau kepercayaan apa pun antara satu sama lain. Baik penduduk maupun relawan, semua saling berbagi ruang aman dan hidup bahagia di bawah satu atap dengan beragam keyakinan.

Relawan Rumah Kemanusiaan GUSDURian. Penggerak Komunitas GUSDURian Mojokuto Pare, Kediri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *