Pesantren dan Social Entrepreneurship: Dari Internalisasi Nilai hingga Pemberdayaan Masyarakat

Mengulas perkembangan pesantren dan kaitannya dengan sosial-ekonomi merupakan bahasan yang masih relevan, bahkan sangat dibutuhkan hari ini. Kajian pesantren dan kaitannya dengan sosial-ekonomi bisa menjadi salah satu respons terhadap persoalan masyarakat atau pesantren itu sendiri.

Perkembangan ekonomi yang sifatnya kapitalistik tentunya berdampak buruk terhadap masyarakat menengah ke bawah, karena masyarakat bawah cenderung tidak mempunyai modal untuk laku usaha. Dengan argumentasi bahwa pesantren yang menerapkan social entrepreneurship menjadi antitesa sebuah sistem ekonomi yang berjalan hari ini.

Pondok pesantren yang menerapkan social entrepreneurship dinilai memiliki kekuatan resilience dan juga daya saing yang lebih positif ke depannya, karena pesantren sebagai social entrepreneurship memiliki visi dalam lembaganya yang tidak hanya fokus pada pendidikan saja, pemberdayaan terhadap masyarakat dalam hal pendidikan atau ekonomi juga menjadi fokus utama dalam pesantren.

Dengan kekuatan tersebut, pesantren sudah seharusnya mampu untuk melakukan perubahan sosial (social change), baik dalam lingkup pendidikan atau kesejahteraan masyarakat. Kewirausahaan sosial menjadi jembatan utama pesantren untuk mengidentifikasi permasalahan masyarakat, serta sanggup melaksanakan strategi atau tata kelola manajemen kewirausahaan itu sendiri. Dengan begitu, pesantren sebagai pelopor dalam perubahan sosial dapat membantu masyarakat untuk menjawab permasalahannya.

Mengulas Core Values Kewirausahaan Sosial

Kewirausahaan sosial atau social entrepreneurship sangat berbeda dengan bisnis entrepreneurship, walaupun keduanya bersifat wirausaha. Perbedaan mendasar di keduanya adalah soal capaian dan tujuannya. Bisnis entrepreneurship bisa dipastikan tujuannya adalah keuntungan finansial, sedangkan social entrepreneurship tujuannya adalah pemberdayaan. Walaupun dalam kewirausahaan sosial meraih keuntungan finansial, keuntungan tersebut digunakan untuk kebutuhan pemberdayaan.

Jika kewirausahaan biasa ditakar dari keuntungan uangnya, maka kewirausahaan sosial diukur dari sejauh mana manfaatnya dirasakan oleh masyarakat. Begitupun dalam cara mengukur keberhasilannya, kewirausahaan sosial bisa diukur dari sejauh mana nilai-nilai sosialnya diterapkan.

Dalam usaha untuk mengontrol tata kelola manajemen kewirausahaan sosial, Muliadi Palesangi (2014) menawarkan empat nilai utama dalam laku kewirausahaan sosial. Pertama adalah nilai sosial (social value), pelaku usaha sosial harus menciptakan manfaat sosial pada masyarakat atau sekitarnya, segala usaha yang dilakukan harus berorientasi pada kebermanfaatan sosial. Kedua, masyarakat sipil (civil society), kewirausahaan sosial biasanya berangkat dari inisiatif masyarakat sipil, maka perlu dioptimalkan segala potensi yang ada di masyarakat.

Ketiga, inovasi (innovation), inovasi menjadi pondasi utama dalam proses problem solving ketika berwirausaha yang sifatnya sosial. Keempat, aktivitas ekonomi (economic activity), kewirausahaan sosial yang berhasil biasanya menyeimbangankan antara aktivitas sosial dan aktivitas ekonomi. Hal ini mendorong untuk terciptanya kemandirian di masyarakat dan keberlanjutan misi sosial organisasi.

Empat nilai utama di atas dengan nilai-nilai pesantren sudah sangat berkelindan. Kesadaran kolektif di pesantren dan interaksi positif antara pesantren dan masyarakat sudah barang lumrah terjadi. Kesadaran kolektif dan interaksi tersebut menjadi hubungan timbal balik untuk terjadinya kebersalingan. Hal ini disebut oleh Fukuyama sebagai modal sosial untuk saling memberdayakan.

Upaya Pesantren dalam Menjawab Permasalahan Sosial Ekonomi Masyarakat

Sebelum menggali lebih jauh potensi pesantren terhadap pemberdayaan sosial, terdapat dua fungsi pesantren yang perlu ditekankan (Billah, 1985). Pertama, fungsi pesantren sebagai centre of excellence yang menangani dan meneruskan kader-kader pemikir agama. Kedua, fungsi pesantren sebagai agent of development untuk menjadi community leader di masyarakat. Dalam fungsi kedua inilah santri harus mampu dan percaya diri untuk memberdayakan sosial, baik dalam hal pendidikan maupun ekonomi.

Seperti disinggung di muka, kebersalingan antara pesantren dan masyarakat menjadi kekuatan untuk bisa saling berdampak dan berdaya. Inilah dua modal penting yang dimiliki pesantren sebagai agent of change.

Saat ini sudah banyak pesantren yang sudah atau mulai membuka praktik-praktik kewirausahaan berbentuk lembaga dan koperasi, walaupun pemberdayaannya masih pada level paling sederhana. Jika merujuk pada data Kementerian Agama yang dirilis pada tahun 2021, jumlah pesantren di Indonesia sebanyak 31.385 pesantren dengan jumlah 4,29 juta orang. Dari jumlah pesantren tersebut, sekitar 44,2 persen yang memiliki potensi untuk memberdayakan ekonomi dan sosial. Level pemberdayaan pesantren sangat beragam, mulai dari yang paling sederhana sampai level yang keberlanjutan.

Pondok Pesantren al-Ittifaq di Ciwidey, Bandung, bisa menjadi contoh pemberdayaan ekonomi sosial yang sudah di tahap keberlanjutan. Al-Ittifaq menjadi pelopor pendirian kelompok petani sayur yang mengirimkan sayur mayur sebanyak tiga sampai empat ton ke berbagai supermarket di Bandung dan Jakarta, dengan frekuensi tiga kali dalam satu minggu.

Al-Ittifaq mengkoordinir kurang lebih 500 kelompok petani sayur yang kemudian memberdayakan perekonomian masyarakat komunitas pesantren dengan program sekolah gratis, peningkatan pendapatan, dan kesejahteraan petani. Dengan pemberdayaan ekonomi petani sekitar, pesantren ini mampu bertahan di masyarakat sebagai agent of change di kehidupan masyarakat.

Cerita di atas menunjukan bahwa sosial kewirausahaan yang dilakukan oleh Pesantren al-Ittifaq berorientasi pada pemberdayaan sosial. Hasil dari keuntungan usaha tersebut ia gunakan untuk pemberdayaan masyarakat pada sektor pendidikan dan ekonomi. Pesantren al-Ittifaq bukan pesantren satu-satunya yang melakukan pemberdayaan. Kita semua bisa melihat daya pesantren sebagai ruang pemberdayaan masyarakat sebegitu kuatnya.

Akhir dari tulisan ini, mari kita berefleksi bahwa pengembangan ekonomi pesantren bukan hanya persoalan pencapaian ekonomi saja, justru pencapaian ekonomi tersebut menjadikan jembatan menuju tujuan pesantren yang lebih jauh, yakni pendidikan dan pemberdayaan.

Koordinator Komunitas GUSDURian Ciputat, Tangerang Selatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *