Fandi Dipaksa menjadi Laki-laki Seutuhnya

Burung-burung mulai berterbangan menyebrangi kepala-kepala manusia. Jalanan begitu ramai dengan kendaraan para pekerja dan siswa. Di setiap simpang empat para penjual koran berdiri sembari berteriak, “Koran, Koran..” 

“Pak, saya mau beli koran.” Fandi memberikan uang dan penjual koran itu memberikan koran, tapi Fandi menolak.

“Kenapa korannya gak diambil, mas?” Penjual koran bingung dengan sikap Fandi.

Fandi hanya melempar senyuman tanpa berucap apa pun. Bunyi klakson terdengar kasar. Menandakan lampu merah telah berganti hijau.

***

Fandi adalah siswa yang terkenal sangat disiplin di sekolahnya. Ia bersekolah di salah satu SMP yang ada di Gorontalo. Meski ia murah senyum, tetapi Fandi hanya punya segelintir teman saja di sekolah. Hal ini karena sifatnya yang kalem, pendiam, dan tidak mudah bergaul.  

Fandi adalah seorang anak dari seorang ibu yang kesehariannya bekerja sebagai pegawai swasta. Sementara ayahnya bekerja sebagai petani. Keluarga ini terbilang harmonis. Setiap hari rumah dipenuhi tawa. Tak ada gambaran penderitaan di wajah mereka. Tetapi, kebahagiaan dan keharmonisan itu hilang saat suatu hari Fandi memberanikan diri mengaku bahwa dirinya adalah perempuan yang terjebak di tubuh laki-laki.

“Pokoknya ayah tidak mau tahu. Kamu harus dibawa ke dokter kejiwaan.” Ayahnya tidak bisa menerima jika anaknya yang selama ini ia banggakan adalah seorang transgender.

“Jika perlu kamu harus diruqiah.” Ibu Fandi tak kalah garangnya dari suaminya. Fandi tak memberi perlawanan apa pun. Ia tak mengira respons orangtuanya yang ia kira selalu hangat dan mendukungnya bisa berubah sedrastis ini.

***

Hari ini perasaan dan jiwa Fandi mulai tak teratur. Pertemuan dengan dokter jiwa telah usai. Dokter memberikan beberapa obat dan dianjurkan untuk konsultasi rutin sebulan sekali. Tak lepas sampai situ, dokter juga menganjurkan agar Fandi banyak berdoa. 

“Fandi, mulai saat ini kamu harus sholat-sholat dan harus hadir di pengajian malam.” Wajah Ibu Fandi sangat datar. Tak hanya tekanan dari orangtua, tapi bullying dari teman sekolah juga mulai ia dapatkan. Ia tak mengira bahwa pengakuannya pada orangtuanya bisa terdengar sampai ke teman sekolahnya.

Karena tak tahan dengan sikap orangtua dan sudah tidak merasakan kenyamanan lagi dalam rumah, ia memilih untuk pergi dari rumah dan sekolah. Rumah yang selama ini dianggap sebagai tempat untuk pulang, kini bukan tempat pulang lagi.

“Kayaknya aku harus pergi dari rumah ini,” ucap Fandi sembari menatap bintang-bintang yang tertata rapi.

***

Tiga hari kemudian.

Kali ini cuaca sangat panas. Di sudut simpang empat terdapat bangunan masjid yang indah dan kokoh. Jalan raya yang dihiasi pengendara dan anak-anak kecil yang berjualan kacang goreng di bawah teriknya matahari. Suara azan Dzuhur terdengar sangat merdu. Para pengendara pun mulai memadati halaman parkir masjid.

Sebagaimana biasa, setelah sholat Reza akan belajar mengaji kepada Genta. Namun, kali ini Reza ditemani oleh temannya bernama, Fandi.

“Genta, kenalkan temanku,” ucap Reza.

Fandi dan Genta saling berjabat tangan dan memperkenalkan nama. Sudah dua hari ini Fandi bersembunyi di rumah Reza. Ia benar-benar nekat lari dari rumah dan sampai saat ini orangtuanya terus mencari Fandi.

Kini, tak hanya orangtua dan teman sekolah yang tahu bahwa Fandi adalah seorang transgender. Tetapi Reza dan Genta pun sudah tahu. Sehingga Reza berinisiatif untuk mengajak Fandi bertemu dengan Genta. Barangkali Genta bisa memberikan solusi.

“Kenapa nanti ini kamu mau sholat? Kenapa tidak pada saat orangtuamu yang meminta?” tanya Genta

“Aku merasa sudah tidak punya tempat lagi di agama. Aku merasa semua perintah agama yang aku lakukan tidak akan diterima oleh Allah.” Fandi memperlihatkan wajah sedih.

“Walaupun harus diakui ada hadis yang melarang soal transgender, kamu tetap harus berbuat baik. Yang menentukan amal diterima itu bukan kamu, tetapi Allah.” Pembicaraan terhenti saat Reza menyodorkan kopi yang baru saja ia buat.

“Diminum dulu kopinya biar otak makin jernih,” ucap Reza sambil tersenyum.

“Apakah di zaman Nabi Muhammad ada waria juga?” Tanya Fandi sambil menuangkan kopi di gelas.

“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA yang artinya begini : ‘Sesungguhnya baginda Nabi SAW melaknat para lelaki yang mukhannits dan para perempuan yang mutarajjilat. (HR Al-Bukhari dan Abu Dawud)’. Dari hadis ini jelas bahwa Nabi Muhammad melarang perilaku yang menyimpang tersebut.” Fandi dan Reza makin serius mendengarkan Genta. Sementara Genta menyeruput kopi yang mulai dingin itu.

“Jika ada yang bilang bahwa dulu baginda Nabi Muhammad membiarkan seorang waria bergabung dengan para perempuan, maka sesungguhnya karena kondisi warianya sejak lahir dan ia sama sekali tidak ada hasrat dengan lawan jenis. Tetapi jika waria itu secara terang-terangan menyebutkan kondisi tubuh para perempuan yang bersamanya, maka waria itu dilarang untuk berkumpul dengan para perempuan,” tutup Genta sambil memperbaiki kopiah yang mulai miring.

“Dari mendengar ceritamu, apakah aku harus memaksakan diriku untuk tidak menjadi seorang transgender lagi?” tanya Fandi

“Aku tidak mengatakan bahwa kamu harus memaksakan diri untuk tetap jadi laki-laki. Aku hanya menyampaikan bahwa dalam agama kita ada ajaran tersebut. Di luar itu, aku tidak punya hak. Yang punya hak untuk menentukan kehidupanmu adalah dirimu sendiri. Yang penting kamu tetap harus berbuat baik pada siapa pun, karena Nabi juga mengajarkan itu sebagai esensi agama,” ucap Genta.

“Aku juga tidak yakin jika kamu memilih untuk menjauhi agama, apakah kamu akan menjadi lebih baik dari hari kemarin? Kan belum tentu. Aku juga tidak tega jika orang yang ingin mengenal Tuhan tetapi terhalang oleh orang-orang yang membencinya hanya karena persoalan identitas gender,” ucap Reza sembari melebarkan senyumannya. Fandi hanya diam tanpa berucap apa pun. Yang ada di pikirannya sekarang adalah ingin pulang bertemu dengan orangtuanya. Sementara itu Genta memberi kode kepada Reza untuk melantunkan azan Ashar.

***

Sebulan berlalu. Setelah sholat Ashar selesai, Genta terlihat terburu-buru untuk pulang ke rumah. Tetapi Reza menahannya, karena Reza ingin belajar mengaji.

“Kita mengaji di rumahku aja, karena hari ini aku kedatangan tamu.” 

“Baiklah. Tapi harus ada kopi dan pisang goreng. Tapi siapa tamu yang kau maksud?” tanya Reza.

“Pasti kamu kenal tamu yang akan datang ini,” ucap Genta.

Reza mulai melafalkan ayat-ayat Qur’an dengan pelan. Sesekali Ia berhenti menyeruput kopi khas Gorontalo itu. 

“Assalamualaikum…”

“Waalaikumsalam…” ucap Reza sambil membalikkan badan. Ia pun kaget melihat tamu yang datang.

Tamu yang datang kali ini adalah Fandi. Hanya Genta yang tahu kedatangannya, Fandi merahasiakan kedatangannya kepada Reza.

“Wah, bisa-bisanya kamu datang tanpa mengabari aku. Tapi ngomong-ngomong bagaimana kabarmu Fandi?” tanya Reza dengan senyuman yang lebar.

“Kayaknya si Reza sangat bahagia dengan kedatanganmu,” ucap Genta.

Fandi sangat senang bisa berkunjung kembali di ‘kampung pelariannya’ saat itu. Fandi menceritakan tentang situasi sulit yang ia hadapi setelah balik ke kampung halamannya saat itu. Ia sudah memberanikan diri untuk mendekatkan diri pada Allah, walaupun dirinya masih tetap sama seperti kemarin. Sementara itu, ia juga sudah berani untuk tampil sebagai dirinya yang sebenarnya. Bahkan orangtuanya lambat laun pun sudah menerima Fandi sebagaimana adanya, tanpa ada lagi suara-suara sumbang yang melukai hatinya. Walaupun banyak masyarakat yang belum bisa menerimanya sebagai transgender, tapi ia tetap yakin bahwa Allah menerimanya sebagai hamba-Nya apa adanya. Saat ini ia juga mulai menghadiri pengajian-pengajian di beberapa majelis bersama ayahnya dan saat ini juga ia sedang kuliah di salah satu universitas di Gorontalo. 

“Ada kalimat menarik dari Gus Dur, ‘Memuliakan manusia, berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya.’ Begitu kalimat menarik dari Gus Dur yang pernah saya baca,” ucap Genta.

Fandi dan Reza begitu terkesima setelah mendengar kalimat itu. Reza pun tak mau kalah, ia menyambung apa yang disampaikan Genta.

“Jadi kata-kata Gus Dur itu bisa menjadi pegangan kamu jika nanti ada yang merendahkan dirimu, Fan,” ucap Reza

Fandi hanya menggeleng-gelengkan kepala saja dan mengerti apa yang dimaksudkan oleh Genta dan Reza.

Tak terasa mereka bertiga sudah lama berbincang, hingga azan Maghrib pun terdengar dari masjid. Mereka bertiga pun dengan segera melangkahkan kaki menuju masjid.

Penggerak Komunitas GUSDURian Boalemo, Gorontalo.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *