Suatu ketika rumah Abdul Wahid Hasyim (selanjutnya Kiai Wahid) kedatangan tamu yang merupakan temannya. Teman Kiai Wahid yang bertamu membawa dua anaknya. Temannya tersebut bernama Abdullah Ubaid (kemudian Pak Ubaid). Seperti lumrahnya tradisi masyarakat Nusantara, ketika ada yang bertamu tuan rumah selalu bergegas menyuguhi dan memuliakannya. Dan di situlah peristiwa ihwal proses pendidikan bermula.
Kiai Wahid sebagai tuan rumah menyajikan minuman teh panas bagi tetamunya tersebut. Beliau mempersilakan mereka untuk menikmatinya. Salah seorang anak yang berada di samping Pak Ubaid langsung mengutarakan keinginannya untuk minum teh yang sudah disajikan. Merespons permintaan anaknya tersebut, Pak Ubaid lantas menganjurkannya untuk menuang-ambil sendiri. Si anak tidak lalu menjalankan anjuran bapaknya. Tetapi lebih dulu ia meminta bantuan bapaknya dengan alasan teh masih panas dan khawatir tumpah sehingga mengotori karpet tuan rumah.
Mendengarkan kekhawatiran anaknya, Pak Ubaid kembali meyakinkan si anak jikalau tumpah sekalipun tuan rumah tidak akan marah sembari mengonfirmasi kepada Kiai Wahid. Dan Kiai Wahid pun mengangguk sembari tersenyum mengiyakan. Walhasil, anak tersebut menuangkan teh sendiri dengan hati-hati dan apa yang dikhawatirkan ternyata tidak terjadi.
Dari kisah sederhana di atas sekiranya ada beberapa poin yang pantas untuk diperhatikan dalam proses pendidikan dewasa ini. Pasalnya sampai tulisan ini sampai ke Anda, masih kerap kita jumpai ketakutan-ketakutan ketika mengenyam pendidikan. Entah dari mana muasalnya, katakanlah ketika seorang guru/mentor menawarkan kepada peserta didik untuk bertanya alih-alih berlomba-lomba melemparkan tanya, peserta didik malah mengeluarkan jurus diam seribu bahasa. Lalu sebagai orang tua, guru atau yang dituakan ketika mendapati peserta yang salah alih-alih mendengarkan alasan mengapa berbuat demikian, mereka, kebanyakan, beramai-ramai menghujani celaan bahkan tak jarang hinaan.
Menghakimi tanpa adanya pencarian akar penyebabnya hanya akan melanggengkan permasalahan, jika enggan menyebut menangguhkan. Bagaimanapun persoalan yang terjadi di sekeliling mutakhir ini tidak terlepas dari pola dan tata cara para pendahulu dalam mendidiknya. Dalam beberapa kasus yang disebut di atas, bisa dipastikan ada hal-hal yang tidak diperhatikan para pendidik dalam arti luas. Pasalnya pertumbuhan-perkembangan kognitif maupun intuitif tidak tercapai secara optimal. Lantas untuk menebusnya perlu disediakan ruang terbuka dan membebaskan.
Menurut hemat saya, masalah-masalah pendidikan di atas dan lain semacamnya tidak lain merupakan akibat belaka dari kekurangpekaan pendidik akan perannya terhadap proses pendidikan, yakni ngemong, among, dan momong.
Tiga istilah di atas merujuk pada filsafat pendidikan anak Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau populer dengan Ki Hadjar Dewantara. Adapun Among sederhananya ialah memberikan contoh ihwal baik-buruk tanpa dibarengi pemaksaan, biarkan alam bawah sadar yang merekam. Lalu Momong dapat dipahami sebagai sistem merawat dengan nilai-nilai welas asih, tidak terlalu protektif dan apalagi intimidatif. Kemudian terakhir ngemong menjaga dan mengawasi perkembangan anak sesuai kodrat dan keunikannya. Dan pada gilirannya ngemong membutuhkan dinamisasi atau penyesuaian pengetahuan dan sasaran. Mengapa sebab, cara penyikapan peserta didik satu sama lain tentu berbeda.
Kemudian jika terus dibiarkan, kekurangpekaan tersebut lalu secara otomatis menimbulkan ketakbderdayaan. Ketakberdayaan menyikapi kekhasan potensi setiap peserta didik. Selanjutnya ketidakberdayaan mengakibatkan mendidik secara serampangan bahkan tidak segan-segan menyisipkan kemauannya. Yang pada masanya, menutup pintu percobaan bagi setiap mereka. Padahal mereka mempunyai hak untuk berekspresi dan mengembangkan potensi dirinya secara leluasa.
Untuk menanggulangi hal itu, jika sulit untuk dikatakan membasmi, kiranya kisah di atas perlu direnung-insafi lalu dihidupkan dalam konteks saat ini. Lantaran dalam riwayat tersebut, peran antara pendidik dan peserta didik secara apik dimainkan.
Sebagai orang tua atau orang yang dituakan (pendidik) memberi kesempatan kepada peserta didik ialah syarat mendasar yang harus dipenuhi. Karena mengapa, potensi dan kreativitas anak dapat bersemi di sana. Ini yang dicontohkan Pak Ubaid. Dan bagi peserta didik, yang digambarkan si anak, perlu meneguhkan keberanian ketika tersaji kesempatan. Tanpa keberanian untuk mencoba pendidikan tidak akan menemukan relevansinya. Karena sebagaimana wejangan Kiai Wahid sendiri, penakut itu tiada berhak merdeka.
Lalu yang tidak kalah penting dalam proses pendidikan ialah penyemaian kesadaran. Cerita di atas tidak akan melambung dan mendarat di hadapan saya, kemudian Anda, manakala tidak didokumentasikan oleh Kiai Wahid. Yang ingin saya katakan di sini, pendidikan akan otomatis berlangsung ketika kecermatan dan kejelian dalam melihat-menangkap sesuatu diasaskan. Tanpa kecermatan, mungkin beragam kejadian di sekitar kita akan tampak biasa-biasa saja; padahal menyimpan sejumlah hal menyangkut ibrah, nilai dan makna-makna. Pada akhirnya sampailah kita pada ujar-ujar bijak bestari, bahwa setiap yang hadir dalam hidup kita adalah guru. Dan sekali lagi, untuk bisa berguru kepada setiap yang hadir perlu mengaktifkan kesadaran dan kepekaan.
Wallahu a’lam bisshowab