Hadirkan Akademisi dan Aktivis, GUSDURian Makassar Diskusikan Putusan Mahkamah Konstitusi hingga Kondisi Demokrasi Terkini

MAKASSAR – Komunitas GUSDURian Makassar kembali melaksanakan kajian dan diskusi bersama Lembaga Kajian Ilmiah Mahasiswa Bertakwa (LKIMB) Universitas Negeri Makassar dan Himpunan Mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (HIMA PPKn) UNM pada Rabu, 1 November 2023.

Menanggapi fenomena yang terjadi belakangan ini, yakni adalah pengujian Pasal 169 q Undang-undang No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pengujian mengenai produk hukum yakni undang-undang merupakan hal yang biasa dalam praktek negara kita. Namun, pengujian ini menjadi hal yang luar biasa dalam pandangan masyarakat karena momennya yang mengindikasikan bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi tersebut mengandung konflik kepentingan (conflict of interest).

Kegiatan yang berlangsung di Pelataran Gedung BU, Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNM tersebut mengangkat tema “Hukum adalah Panglima, Politik adalah Raja: Kilas Balik Putusan MK Jelang Kontestasi Politik”. Kajian dan diskusi tersebut juga dihadiri oleh beberapa narasumber seperti M. Yunasri Ridhoh, M.Pd (Dosen Prodi PPKn FIS-H UNM), Muhtar, S.H., M.H (Dosen Prodi Hukum Bisnis FIS-H UNM), Asratillah, S.T., M.T (Direktur Profetik Institute), dan Cici Saputri, S.Pd (Staf Divisi Pendidikan Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat Sulsel).

Sesi diskusi tersebut dimulai dengan opening statement dan pendapat narasumber terhadap tema pembahasan kali ini. Cici Saputri memulai diskusi dengan menyinggung momen putusan tersebut memang berpotensi mengandung konflik kepentingan dan politik dinasti.

Lanjut narasumber kedua Muhtar, S.H., M.H mengatakan, “Mahkamah Konstitusi (MK) dari negatif legislator telah menjadi positif legislator juga dengan membuat norma baru dengan menambahkan frasa ‘atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’, pun respons pemerintah sebagai pembuat undang-undang sekaligus tergugat terhadap gugatan tersebut bersifat pasif dan menyerahkan segalanya kepada kebijaksanaan hakim.” Oleh karena itu, menurutnya, kita juga mampu lebih kritis terhadap fenomena tersebut.

Melanjutkan sesi diskusi tersebut, Yunasri Ridhoh, M.Pd melanjutkan dengan menyinggung tentang negara demokrasi kita yang telah bergeser ke yuristokrasi, yaitu dari kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan pengadilan. Tetapi, lembaga peradilan pun juga telah disusupi oleh kepentingan-kepentingan pejabat lainnya, entah itu dari eksekutif maupun legislatif. Selain itu, ia juga menyinggung pembahasan mengenai produk hukum tersebut terkait dengan kualitas pemimpin, di mana faktor usia memengaruhi kualitas yang dimiliki.

“Selain membahas mengenai standar minimum untuk menjadi calon, mengapa juga tidak dibahas mengenai faktor maksimumnya jika memang wacana mengenai usia memengaruhi kualitas dalam pemimpin. Harusnya wacana tersebut juga perlu dibahas,” tuturnya.

Asratillah, S.T., M.T sebagai Direktur Profetik Institute menambahkan bahwasanya keadilan yang ada dalam putusan tersebut hanyalah keadilan prosedural. Selain itu “eksekutif takeover” di negara demokrasi kita di mana eksekutif lebih dominan terhadap dua lembaga lainnya (legislatif dan yudikatif) menyebabkan fenomena yang ia sebut “autokrasi elektoral”, yaitu hasil pemilihan dalam praktiknya hasilnya telah diketahui sebelum dimulai, yang katanya negara demokrasi sebenarnya hanyalah “pseudo-democracy“, demokrasi prosedural.

Sebagai kaum mahasiswa maupun masyarakat tentunya kita tetap harus mengkaji dan mendiskusikan berbagai hal mengenai negara dalam penyelenggaraannya demi mewujudkan negara demokrasi yang dicita-citakan. Selanjutnya, kegiatan pun berjalan dengan lancar dan cukup interaktif, serta dihadiri oleh banyak mahasiswa dan berbagai kalangan lainnya.

Penggerak Komunitas GUSDURian Makassar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *