YOGYAKARTA – Komunitas GUSDURian Yogyakarta menggelar diskusi buku Ajaran-Ajaran Gus Dur dengan tema “Kearifan Lokal”. Diskusi dipantik langsung oleh penulisnya, yaitu KH. Nur Kholik Ridwan di Griya GUSDURian Yogyakarta, pada Jum’at (03/11/23).
Kang Nur Kholik, panggilan akrabnya, merupakan penulis produktif asal Banyuwangi yang sudah menulis banyak buku, di antaranya Pluralisme Borjuis: Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur (Galang Press, 2002), Gus Dur dan Negara Pancasila (Tanah Air, 2010), Negara Bukan-Bukan (IRCiSoD, 2018), Suluk dan Tarekat (IRCiSoD, 2018), Masa Depan NU (IRCiSoD, 2018), Ajaran-Ajaran Gus Dur (Noktah, 2019), Suluk Gus Dur (Ar-Ruzz Media, 2019), Sejarah Lengkap Wahabi (IRCiSoD, 2020), Khittah NU Jilid 1-4 (Diva Press, 2020), Dalil-Dalil Agama Gus Dur (IRCiSoD, 2021), Kecendekiaan Jawa (NDiko Publishing, 2023), Sufi Awal Jawa (NDiko Publishing), Jatining Muhammad (NDiko Publishing, 2023), dan masih banyak lainnya.
Selain produktif menulis, dirinya juga aktif di berbagai komunitas, salah satunya di Jaringan GUSDURian. Ia juga merupakan salah satu pendiri Jaringan GUSDURian bersama dengan pendiri-pendiri lainnya. Nur Kholik Ridwan adalah salah satu murid Gus Dur. Persinggungannya dengan Gus Dur banyak dilaluinya ketika dirinya aktif di Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta.
Dalam diskusi yang dipandu oleh penggerak GUSDURian Yogyakarta Wiji Nurasih, Kang Nur menjelaskan bahwa semua manusia berangkat dari tradisi. Ia mengartikan tradisi sebagai suatu yang dijalankan terus menerus.
“Kita bentuk, kita ulang-ulang, kita gerakkan terus menerus sampai membentuk karakter. Itulah tradisi,” katanya.
Menurutnya, pembentukan karakter itu bisa dilakukan oleh individu maupun suatu komunitas. Dalam kaitannya dengan tradisi, kadang ada beberapa tradisi yang mengalami stagnasi maka perlu yang namanya dobrakan baru atau perbaikan. Hal tersebut dalam bahasa Gus Dur disebut dinamisasi tradisi.
“Gus Dur itu sosok yang mendinamiskan tradisi untuk lighot (masa depan),” ujar Kang Nur Kholik.
Maka dari itu kadang dalam beberapa hal Gus Dur seolah-olah melawan mayoritas kiai-kiai. Hal tersebut dilakukan karena untuk mendinamiskan tradisi atau mentekstualisasikan tradisi dengan realitas yang ada.
“Maka dari itu, dalam satu sisi kita harus menghargai tradisi kita, tetapi jangan sampai kehilangan kekuatan dalam mendinamiskan tradisi,” terangnya.
Hal tersebut dilakukan supaya tidak saling berbenturan sesama masyarakat, komunitas, serta agama. Dan harapannya bisa saling mengambil pelajaran (ibrah) satu sama lainnya.
“Salah satunya adalah tidak saling mengadu domba,” ujarnya.
Setelah selesai penyampaian materi dari Kang Nur Kholik, acara dilanjut sesi tanya jawab dan ditutup dengan refleksi dari masing-masing peserta diskusi.