Social Media

Jelang Pemilu 2024: Kenali Calon, Tentukan Pilihan

Tanggal 14 Februari nanti kita akan melakukan pemilihan umum yang mencakup pemilihan presiden dan pemilihan legislatif. Sebagai generasi muda tentunya kita harus berperan serta dalam menentukan siapa pemimpin kita untuk lima tahun mendatang, jadi jangan sampai memilih untuk golput. Kendati golput juga adalah hak.

Meski kecewa bahkan muak dengan hasil kepemimpinan para pemimpin kita yang hanya mencontohkan perilaku korup, gaya hidup mewah disaat rakyatnya banyak yang pusing memikirkan harga beras, kesempatan kerja yang kian sulit, biaya pendidikan yang juga mahal, penyaluran dana yang kerap tak tepat sasaran, dan yang makin membuat kita semua marah adalah ketika terjadinya brutalitas kekuasan dari mereka para elite terhadap rakyat kecil. Sebut saja kasus Sambo, Mario Dandy, dan yang masih hangat adalah konflik pulau Rempang.

Semua itu hanyalah sebagian contoh kecil dari boroknya wajah para pemegang kuasa di negeri ini. Tapi, apakah lantas itu cukup menjadi alasan untuk kita abai dalam menentukan masa depan negeri ini? Karena pemilu selain sebagai manifestasi dari pengamalan demokrasi juga bagian dari kontestasi politik. Mungkin sudah banyak dari kita yang alergi terhadap politik, terlebih banyak kita saksikan di berbagai media bagaimana para elite politik yang hanya mahir lip service.

Apalagi ketika kita menyaksikan para politikus yang duduk sebagai anggota DPR RI (Komisi III) ketika rapat dengar dengan Mahfud MD terkait transaksi keuangan “yang mencurigakan” di Kementerian Keuangan senilai Rp. 349 Triliun lebih. Beberapa dari mereka tampak kurang bisa bekerja sama, bahkan ada yang menunjukkan arogansinya hingga membawa-bawa nama Tuhan. Sungguh laris sekali Tuhan ini, sering diperjual-belikan, untuk melegitimasi seolah-olah ia adalah suara kebenaran.

Tapi, meski kita muak dengan kesewenang-wenangan, alergi dengan politik, diam dan apolitis bukanlah solusi. Bertolt Brecht (seorang penyair Jerman) pernah berkata; “Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara dan tidak berpartisipasi politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik”

Maka dari itu, kita perlu mengenal dengan baik para calon yang akan kita pilih di tanggal 14 Februari nanti. Dalam tulisan ini, saya hanya ingin memfokuskan pada pilpres. Kita tahu, setelah drama hasil putusan MK terkait Pasal 169 huruf q menangani batas usia calon presiden dan calon wakil presiden yang sebelumnya mempunyai batas minimal usia 40 tahun, kini menjadi pengecualian dengan ditambahkannya ketentuan baru yaitu “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.

Hasil dari keputusan tersebut akhirnya membuka peluang bagi “kaum muda” yang belum berusia 40 tahun tetap bisa ikut serta dalam pemilihan presiden dengan ketentuan berpengalaman sebagai kepala daerah maupun jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, seperti anggota legislatif. Akhirnya untuk pertama kalinya sepanjang sejarah pilpres Indonesia yang dipilih langsung oleh rakyat, ada calon yang merupakan kaum muda. Sekarang kaum muda menjadi password yang sangat menjual memang.

Nomor urut 1 pasangan Anies dan Cak Imin, nomor urut 2 pasangan Prabowo dan Gibran, nomor urut 3 pasangan Ganjar dan Mahfud. Dari ketiga calon capres-cawapres itu hal pertama yang perlu kita lakukan sebelum menentukan pilihan kita nanti yaitu dengan mencari track record atau rekam jejak dari pengalaman mereka sebagai pemimpin. Terlebih untuk Anies, Ganjar, dan Gibran sendiri sudah pernah menjabat sebagai kepala daerah.

Adapun untuk Cak Imin sendiri, dia juga selain menjabat sebagai ketua umum PKB, pernah menjabat sebagai Menteri Ketenagakerjaan pada masa SBY periode 2009-2014, dan kini menjadi wakil ketua DPR RI. Untuk Mahfud MD sendiri, sosoknya mulai dikenal pada era presiden Gus Dur sebagai Menteri Pertahanan, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (2001), menjadi anggota DPR (2004-2008), menjadi Ketua MK selama dua periode (2008-2013), dan kini menjadi Menteri Polhukam.

Bagaimana dengan sosok Prabowo? karirnya lebih banyak dalam bidang kemiliteran karena memang dia berlatar belakang militer, jangan lupa juga dia punya catatan sejarah ketika terjadi kerusuhan mei 1998, kini Prabowo menjabat sebagai menteri Pertahanan. Selanjutnya, yang perlu kita lihat adalah mengenai gagasan-gagasan yang disampaikan para calon terkait arah kepemimpinan yang akan mereka lakukan. Gagasan yang tidak terlalu mengawang-ngawang sehingga terkesan utopis seperti menjanjikan program-program yang tidak realistis.

Kemudian, sejauh mana komitmen mereka dalam memberantas korupsi yang sudah sedemikian lumrahnya hingga menjadi budaya, menyelesaikan permasalahan agraria yang sedari dulu sering terjadi dan tak pernah selesai, hingga maraknya mafia tanah dan yang menjadi korban selalu rakyat kecil. Juga janji untuk menuntaskan kasus-kasus HAM yang sampai sekarang “dianggap” selesai padahal belum, setiap keluarga korban berhak mendapatkan keadilan.

Dalam acara debat perdana capres, baru Ganjar yang berani mengatakan akan membereskan kasus-kasus HAM yang belum terselesaikan, jika seandainya dia yang terpilih. Entahlah apakah ini hanya akan menjadi janji manis seperti pada masa Jokowi dari tahun 2014 hingga periode kedua sekarang yang juga tak dipenuhi. Di antara kasus-kasus HAM berat yang sampai saat ini masih menjadi utang pemerintah kepada rakyat adalah Peristiwa 1965, Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, Trisakti 1998, Semanggi I dan Semanggi II bahkan kasus Munir pun, sampai saat ini kita tidak tahu siapa aktor di baliknya.

Namun yang miris ketika justru negaralah yang menjadi antagonis, seperti kata Mangadar Situmorang (mantan Rektor Katolik Parahyangan), proses hukum yang berlangsung di Indonesia sebagai kejahatan negara (state crime) yang dengan mudah memutuskan seseorang menjadi ancaman dan musuh yang harus dilenyapkan, tapi sialnya seakan-akan tidak bisa didobrak dan dilawan.

Selanjutnya, pilihlah calon yang berkomitmen untuk tetap menjaga perbedaan dalam persatuan. Jangan lagi terjadi polarisasi yang memecah belah, apalagi karena isu SARA seperti pada pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019. Jangan lagi ada cebong vs kampret. Terakhir, pilihlah sesuai hati nurani Anda sekalian, karena katanya nurani adalah suara keadilan. Jangan tergiur oleh uang yang tak seberapa, jangan gadaikan masa depan bangsa hanya demi uang 50-200 ribu.

Anggota PMII Kota Serang, Banten.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *