Gus Dur dan Sulak Sivaraksa

Perjumpaan Gus Dur dengan Daisaku Ikeda, seorang intelektual Buddhis terkemuka asal Jepang yang mengepalai gerakan Soka Gakkai dapat dikatakan merupakan wujud satu dialog antaragama dan antarperadaban yang inspiratif. Percakapan keduanya telah dibukukan dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia (dengan judul Dialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian) dan Malaysia (dengan judul Hikmah Toleransi: Falsafah Kepemurahan dan Keamanan) kiranya telah menarik perhatian banyak kalangan termasuk juga sejumlah akademisi Asia Tenggara semacam Imtiyaz Yusuf, Osman Bakar, Azizan baharuddin, Dzulkifli Abdul Razak, Jimmy Tam Kok Chian, dan Lee Kam Yit.

Namun pengalaman dialog tersebut dapat dikatakan bukan satu-satunya, sebab Gus Dur juga melakukan “dialog” dengan intelektual Buddhis lain salah satunya Sulak Sivaraksa. Bedanya, sejauh pengetahuan penulis Gus Dur tidak “berdialog” dalam arti biasa, tetapi dirinya memberikan pengantar atas karya Sivaraksa Seeds of Peace -A Buddhist Vision for Renewing Society (1992) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Karya ini diberi judul Benih Perdamaian: Visi Buddhis atas Pembaharuan Masyarakat dan dipublikasikan oleh Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia dan Yayasan Pencerahan pada tahun 2001. Dengan kata lain “dialog” dalam konteks ini dapat diartikan bagaimana Gus Dur mencoba melakukan “engagement” dengan ide dari sang pemikir Buddhis tersebut lewat sebuah tulisan, sehingga publik Indonesia dapat menilai posisi Gus Dur.

Apakah selain memberikan pengantar tersebut Gus Dur pernah berjumpa dan melakukan dialog secara langsung dengan Sivaraksa? Tidak ada informasi yang sampai pada penulis sampai saat ini. Akan tetapi, terlepas dari apakah Gus Dur berjumpa secara langsung dengan Sivaraksa, namun pikiran-pikiran Gus Dur yang tertuang dalam kata pengantar buku tersebut mampu menunjukkan posisi akademik Gus Dur yang mengapresiasi secara kritis ide-ide sang pemikir Buddhis tersebut.

Alasan Gus Dur, Sivaraksa “bisa jadi” telah mengembangkan satu pendekatan pembangunan yang tidak lagi mengacu pada dua pendekatan hegemonik yakni kapitalisme dan juga sosialisme. Pada titik ini Gus Dur memuji “orisinalitas” posisi Sivaraksa. Namun di sisi lain Gus Dur sendiri sejatinya masih ragu apakah benar memang pemikiran Sivaraksa telah mampu diposisikan sebagai “mazhab” pembangunan yang independen. Dengan kata lain kita bisa melihat walau Gus Dur mengagumi pemikiran Sivaraksa, namun tidak menghilangkan sikap kritis Gus Dur padanya. Dapat dikatakan ini adalah sebuah sikap ilmiah di mana meskipun seorang begitu mengagumi orang lain tetapi kebenaranlah yang tetap harus dijunjung lebih tinggi.

Sebelum kita mengelaborasi bagaimana pandangan Gus Dur terhadap pemikiran Sivaraksa, ada baiknya kita memberikan gambaran ringkas mengenai sosok pemikir Buddhis tersebut sehingga kita bisa menilai pribadi yang “disanjung” sekaligus “dikritisi” oleh Gus Dur tersebut. Berdasar informasi yang penulis himpun dari website Right Livelihood dan Berkeley Center Georgetown, Sivaraksa lahir di Bangkok Thailand pada 27 Maret 1933 lalu. Ia dikenal sebagai akademisi sekaligus aktivis yang membidangi banyak gerakan sosial, baik yang berskala nasional dan internasional seperti International Network of Engaged Buddhist (INEB) pada tahun 1989 dan Alternatives of Consumerism dan juga The Spirit of Education movement (SEM).

Menurut website Right Livelihood, upaya Sivaraksa membidani banyak gerakan sipil di Thailand mestilah diberi kredit karena ia mampu melahirkan gerakan sipil yang “indigenous” dan “independen.” Selain ia juga secara tidak langsung membidani tumbuhnya gerakan sosial lain di Thailand akibat publikasinya di Social Science Review (Sangkhomsaat Paritat) yang ia rintis sejak tahun 1963 dan dikatakan mampu menyadarkan banyak kalangan terdidik termasuk mahasiswa yang berujung pada penggulingan rezim militer 1973.

Sebagai akademisi dan aktivis, sejatinya Sivaraksa memiliki visi pembangunan yang khas, yakni visi pembangunan yang dibangun di atas spiritualisme Buddhis. Visi pembangunan Buddhis inilah yang menurutnya memiliki “musuh” bernama pembangunan berbasis konsumerisme (pembangunan ala Barat/ kapitalisme). Tetapi ia juga tidak segan mengkritik kondisi “status quo” pembangunan di Thailand yang menurutnya tidak berbasis pada spirit demokrasi dan keadilan sehingga pembangunan tidak pro-kaum miskin dan warga pedesaan. Posisinya tersebut membuatnya memiliki “musuh” lain yakni kalangan yang berupaya mempertahankan status quo di Thailand.

Di mata kalangan pro status quo ini Sivaraksa diposisikan sebagai pihak yang ingin “melawan” pihak kerajaan Thailand sehingga ia sempat dipenjarakan selama empat kali dan juga diasingkan dari Thailand pada tahun 1967-1977 dan 1991-1994. Pada tahun 1976, nasib yang lebih buruk menimpa sejumlah teman-temannya koleganya yang sebagiannya dibunuh oleh aparat keamanan karena dianggap sebagai pemberontak. Di waktu yang sama toko buku yang dimiliki Sivaraksa juga dibakar karena dianggap sebagai “markas” dari kaum pemberontak. Saat itu Sivaraksa berhasil selamat karena sedang bepergian ke luar negeri. Tapi pada tahun 1984 ketika pengasingannya telah dicabut, ia akhirnya dipenjara setelah menerbitkan karya Unmasking Thai Society. Namun ia pada akhirnya dapat dibebaskan dengan intervensi raja dan tekanan yang kuat dari komunitas internasional.

Tidak berhenti pada membangun “musuh Barat dan Timurnya”, ia juga menyerukan reformasi pada tradisi Buddhisme yang berkembang di Thailand agar tidak lagi menekankan pada aspek ritual belaka tetapi juga menjadi fondasi bagi transformasi masyarakat. Dengan kata lain Buddhisme tidak bisa hanya diposisikan sebagai agama dalam arti “sempit” tetapi mesti diperluas sebagai asas peradaban. Sivaraksa mengembangkan istilah yang khas untuk menyebut tradisi Buddhisme yang tidak sekedar membatasi diri pada dimensi ritual semata sebagai Buddhisme dengan b kecil -artinya Buddhisme bukan sekedar agama saja (B besar) tetapi memiliki dimensi kemasyarakatan (b kecil)- atau disebut juga sebagai engaged buddhism.

Namun pada titik ini pun Sivaraksa menggarisbawahi bahwa Buddhisme mesti menjadi fondasi etik dan bukannya Buddhisme yang “menanggalkan etiknya” demi menyesuaikan dirinya dengan situasi masyarakat secara pragmatis. Tidak mengherankan Sivaraksa tidak segan mengkritik seorang biksu di Thailand -dalam karyanya Seed of Peace– di mana menurutnya sang biksu, atas nama patriotisme, kemudian menerjang prinsip non-kekerasan Buddhis demi kepentingan pragmatis “memberantas komunis” yang datang dari arah Laos, Kamboja, dan Vietnam.

Sikap Sivaraksa yang teguh memegang komitmennya itulah yang dapat dikatakan membuat ia memiliki banyak “musuh” dalam arti pihak yang tidak sejalan dengan posisinya. Namun Sivaraksa nampaknya bukan seorang yang mudah untuk mengubah pendiriannya. Meskipun ia dipenjara namun ia tidak “kapok” untuk menyerukan transformasi sosial berbasis pada spirit Buddhisme tersebut. Di sisi lain keteguhan komitmen dan ide “orisinal”-nya juga mendapat sambutan dari berbagai pihak. Dalai Lama misalnya, memberikan pengantar pada karyanya Seed for Peace tersebut. Begitu pula dengan pemikir Buddha asal Vietnam yang dikenal sebagai “Bapak Mindfulness” yakni Thich Nhat Hanh yang juga memberikan kata pengantar pada buku tersebut.

Ide pembangunan yang diperjuangkan oleh Sivaraksa sendiri dapat disebut sebagai Right Livelihood (mata pencaharian yang benar/penghidupan etis) yang berakar kuat dari tradisi Buddhisme yang menganggap bahwa pembangunan mestilah dibangun di atas transendensi atas keserakahan, kebencian, dan delusi. Jika tiga sifat tersebut melekat pada pembangunan, maka bukannya kebahagiaan yang dicapai melainkan justru ketidakbahagiaan. Sehingga bagi Sivaraksa, Buddhisme yang menekankan pada etika mestilah dijadikan pedoman bagi pembangunan dan bukannya spirit konsumerisme yang lekat dengan keserakahan misalnya.

Ide pembangunan bervisi Buddhis tersebut meskipun menimbulkan “gejolak” di dalam negeri, namun juga banyak kalangan di dunia Barat yang menerimanya. Tidak mengherankan jika Sivaraksa diundang menjadi profesor tamu di UC Berkeley, Universitas Hawaii, dan Universitas Cornell. Ia juga mendapatkan sejumlah penghargaan atas ide dan juga aktivismenya seperti Right Livelihood Awards pada tahun 1995 dan The Millennium Gandhi Awards pada tahun 2001.

Setelah menyusuri profil berikut ide yang diwacanakan Sivaraksa secara singkat, marilah kita melihat bagaimana sosok dan pemikiran Sivaraksa di mata Gus Dur. Dikarenakan Sivaraksa dianggap sebagai sosok yang menawarkan alternatif teori/visi pembangunan yang didasarkan oleh Buddhisme, maka Gus Dur memulai kata pengantarnya dengan membicarakan dua mazhab/teori besar tentang pembangunan dan melihat apakah visi alternatif pembangunan ala Sivaraksa dapat dianggap sebagai satu gagasan yang “independen” dari dua mazhab besar tersebut.

Mazhab pembangunan yang pertama adalah mazhab kapitalisme klasik yang menekankan pada supremasi pasar atas pembangunan di sebuah negara. Menurut Gus Dur, mazhab kapitalisme klasik ini menekankan pada dua aspek dari pembangunan, yakni sumber daya manusia dan modal. Modal ini dipakai untuk mengembangkan teknologi sedemikian rupa yang berfungsi mengubah input berupa sumber daya alam ataupun menurut Gus Dur “tanpa sumber apa pun” (dalam arti bahwa proses produksi tidak mengandalkan dari mengolah sumber daya yang ada di sebuah negara tersebut, tetapi bisa jadi mengkreasi dari yang tidak ada sebelumnya, seperti produk-produk perbankan misalnya) menjadi output berupa produk yang dijual di pasar.

Dikarenakan mazhab kapitalisme klasik hanya menekankan dua komponen, yakni sumber daya manusia dan modal, di mana modal dianggap esensial dalam proses konversi input menjadi output, maka mazhab ini tidak memandang penting keterlibatan negara dalam proses pembangunan. Pandangan ini berkebalikan dengan mazhab kedua yakni mazhab sosialis yang justru menekankan peran penting negara dalam pembangunan. Alasannya mereka (kalangan mazhab sosialis) merasa bahwa amat naif melihat pembangunan hanya dari faktor sumber daya manusia dan juga modal. Bagi kalangan sosialis ini struktur masyarakat menjadi krusial membentuk wajah dari proses produksi.

Dalam bahasa Gus Dur, struktur masyarakat ini bukan suatu yang netral, tetapi dibentuk oleh “dewa” yakni sang pemilik modal atau kaum kapitalis. Ketika struktur masyarakat bukan suatu yang netral, melainkan bias kapitalisme, maka tujuan pembangunan tidaklah mengacu pada kehendak sesungguhnya masyarakat tetapi pada kehendak sang perancang struktur. Bahkan dikarenakan kuatnya sang pemilik modal ini -yang dijuluki Gus Dur layaknya “dewa”- maka teknologi, ilmu pengetahuan, bahkan institusi agama dapat dengan mudah “dibentuk” dan “disetir” oleh kehendak sang pemilik modal tersebut. Dengan cara ini wajah pembangunan menjadi problematik menurut kalangan sosialis.

Jika kalangan mazhab kapitalisme klasik meyakini bahwa pembangunan sifatnya “netral” semata, yang terpenting adalah mengefektifkan dan mengefisiensikan proses produksi dalam pasar, maka bagi kalangan sosialis yang harus ditempuh terlebih dahulu adalah soal “merebut kekuasaan” dan bukan terkait dengan hal “teknis” semacam proses produksi. Upaya merebut kekuasaan menjadi krusial untuk menentukan wajah pembangunan agar tidak lagi berada dalam kontrol kaum kapitalis, tetapi menjadi berorientasi pada kepentingan rakyat banyak.

Akibat cara berpikir ini maka pembangunan menjadi identik dengan politik praktis. Gus Dur misalnya menukil ucapan Mao Zedong yang menyatakan bahwa “kekuasaan lahir dari laras senapan” yang menurut Gus Dur mengimplikasikan bahwa pembangunan tidak dapat dilepaskan dari kekuasaan. Maka menjadi penting untuk memastikan kekuasaan tidak berada pada kaum elite yang tidak memiliki kehendak sebagaimana masyarakat kebanyakan. Tidak hanya Mao Zedong, Lenin -pendahulu Mao- juga menyatakan hal serupa, yakni mesti ada kalangan yang sadar akan kekuasaan dan merebutnya demi kepentingan masyarakat banyak.

Sikap Gus Dur sendiri dapat dikatakan skeptis terhadap dua mazhab tersebut. Ia tidak percaya bahwa pembangunan berjalan secara netral. Ia percaya struktur masyarakat menentukan proses produksi dan struktur ini dipegang oleh kaum elite. Namun ia juga skeptis dengan klaim dari mazhab sosialis yang menyatakan bahwa perebutan kekuasaan akan meniscayakan perbaikan dan juga pembangunan yang lebih memihak masyarakat kebanyakan. Ia menukil Milovan Djilas yang menyatakan bahwa ketika kaum komunis merebut kekuasaan, ternyata mereka menjadi kelas baru (elite baru) menggantikan kaum kapitalis dan arah pembangunan ternyata juga menguntungkan kehendak elite komunis tersebut, bukannya masyarakat kebanyakan.

Gus Dur kemudian berupaya mengidentifikasi adanya jalan alternatif dari dua mazhab besar ini. Ia kemudian menemukenali adanya mazhab lain yang ia sebut sebagai Kapitalisme Rakyat. Ide kapitalisme rakyat ini misalnya diafirmasi oleh Presiden AS Andrew Jackson dan juga Kanselir Jerman Barat Ludwig Erhard. Menurut Gus Dur, Jackson menyatakan bahwa Bank Sentral AS misalnya tidak boleh hanya menjadi pelayan bagi kaum pemodal saja tetapi juga rakyat AS kebanyakan. Maka kepemimpinan di Bank Sentral mestilah diangkat oleh presiden atas usul kongres untuk menjamin kepentingan rakyat terwakili.
Namun Gus Dur sendiri masih “gamang” apakah mazhab ini bisa disebut sebagai alternatif dari kapitalisme dan sosialisme. Alasannya karena Gus Dur menganggap bahwa meskipun mazhab ini mengafirmasi peran negara untuk mengatur pasar secara formal, namun di balik layar bisa saja pengaturan ini tidak efektif. Faktanya menurut Gus Dur, negara bergantung pada pajak pemilik modal dan juga para politisi tidak jelas keberpihakannya kepada rakyat. Maka yang terjadi adalah “pengawasan semu” karena kaum pemodal masih tetap yang berkuasa secara hakiki. Maka di mata Gus Dur mazhab ini belum mampu membuatnya yakin bahwa kritik kaum sosialisme tentang penguasaan struktur masyarakat dapat dijawab secara kokoh. Dalam istilah Gus Dur nampaknya mazhab ini kalaupun dianggap sukses hanya sukses melakukan “modifikasi sampingan”, tetapi tidak menyentuh “jantung permasalahan” sebagaimana diwacanakan oleh kaum sosialis -sekali lagi ini menunjukkan kedekatan Gus Dur dengan posisi kaum sosialis-.

Bisa dikatakan skeptisme Gus Dur terhadap dua mazhab besar pembangunan dan “kegamangannya” terhadap “mazhab alternatif” kapitalisme rakyat inilah yang juga mendasari sikap “apresiatif kritisnya” kepada gagasan Sivaraksa. Gus Dur menyatakan bahwa ada “mazhab alternatif” lain yang mendasarkan gagasannya bahwa yang lebih fundamental dari dimensi material dari struktur masyarakat ialah dimensi spiritualnya. Dikarenakan fondasi dari struktur masyarakat berada pada tataran spiritual maka masyarakat tidak akan sepenuhnya dapat direduksi menjadi masyarakat kapitalis atau sosialis -yang cenderung materialis-. Mazhab ini menekankan pada aktivasi dimensi spiritual ini untuk membangun ulang masyarakat dan mengatasi berbagai ketimpangan pembangunan selama ini yang cenderung dihasilkan oleh pola pikir materialisme. Menurut Gus Dur, wakil dari mazhab ini salah satunya ialah Sulak Sivaraksa.

Sebagaimana “kegamangan” Gus Dur pada “mazhab alternatif” kapitalisme rakyat, ia juga masih belum teryakinkan dengan ide Sivaraksa. Pertama, karena menurut Gus Dur, Sivaraksa selain mengambil inspirasi dari ajaran Buddhisme juga cenderung mengambil paradigma sosialisme. Maka bagi Gus Dur ia menjadi tidak yakin apakah ini bisa disebut sebagai mazhab independen atau hanya varian dari dua mazhab besar tersebut. Bukan maknanya ketika menjadi varian maka tidak ada kebaharuan yang ditawarkan, tetapi di mata Gus Dur suatu mazhab dapat disebut sebagai alternatif ketika ia memenuhi kriteria “independensi” dari dua mazhab besar tersebut.

Lebih jauh, Gus Dur juga cenderung kurang puas dengan posisi Sivaraksa yang dianggapnya kurang jelas mengelaborasi proses produksi dengan struktur masyarakat, termasuk keterkaitan antara keyakinan dalam masyarakat (sebagai bagian dari struktur masyarakat) dengan kepemilikan modal (yang dianggap Gus Dur layaknya “dewa”). Bagi Gus Dur, Sivaraksa nampaknya dianggap “naif” dengan menyatakan agama dapat berdiri independen dan tidak dapat direduksi dalam struktur masyarakat yang dipengaruhi oleh kontrol pemilik modal. Namun kita bisa sedikit “membela” posisi Sivaraksa bahwa ia tidak menampik bahwa agama termasuk dalam hal ini Buddhisme bisa saja “larut” dalam struktur masyarakat yang dominan, namun bagi Sivaraksa ini tidak sepenuhnya terjadi. Dimensi spiritual tidak akan dapat direduksi sepenuhnya pada dimensi material.

Ketidakmampuan reduksi inilah yang membuatnya yakin bahwa Buddhisme dapat dibedakan menjadi Buddhisme dengan b besar dan b kecil, di mana yang pertama merepresentasikan agama Buddha dalam arti “sempit” sebagai ritual yang cenderung tidak dapat memisahkan diri dengan keadaan material di sekelilingnya. Namun Buddhisme dalam arti b kecil menyiratkan bahwa Buddhisme sebagai visi etis mampu melampaui sekat-sekat material yang mengelilinginya, dan alih-alih “larut” dalam konteks, ia dapat menjadi kekuatan transformatif yang besar yang mampu mengubah konteks yang mengelilinginya. Inilah keyakinan yang dipahami oleh Sivaraksa yang sekiranya dapat mengatasi “keraguan” Gus Dur bahwa yang spiritual sepertinya selalu akan “tereduksi” dalam yang material (dalam hal ini kekuatan ekonomi dan kelas).

Namun lepas dari kritikan Gus Dur dan “kegamangannya” akan posisi Sivaraksa -apakah ia dapat disebut sebagai pionir mazhab pembangunan yang independen atau tidak- namun Gus Dur tetap menghormati pemikiran dan juga aktivisme yang dilakukan sang intelektual Buddhis tersebut. Sebagai penghormatan bahkan Gus Dur menjulukinya sebagai Acharn (guru) dan secara terbuka menyatakan bahwa sosok Sivaraksa adalah gurunya (guru Gus Dur). Bagi Gus Dur sang guru telah mengajarkan kepada dirinya dan juga publik global untuk terus memperjuangkan demokrasi dan juga berkata yang benar terhadap kekuasaan meski keamanan dirinya menjadi taruhannya. Namun sang guru juga mengajarkan kepada publik global bahwa menyuarakan kebenaran dan memperjuangkan transformasi sosial bukan artinya mengafirmasi kekerasan. Ia merupakan contoh sosok yang berkomitmen pada perjuangan non-kekerasan.

Dapat dikatakan aktivismenya yang penuh semangat dan dilandasi oleh keinginan tulus memperjuangkan kemanusiaan inilah yang melekat di hati Gus Dur yang menjulukinya sebagai pejuang Asia yang gigih. Dengan kata lain Sivaraksa bukan hanya guru bagi rakyat Thailand tetapi juga bagi dirinya dan -harapannya- bagi publik Indonesia pula baik generasi saat ini ataupun generasi mendatang. Satu pujian yang sekiranya menunjukkan bahwa di mata Gus Dur, Sivaraksa adalah figur yang amat ia hormati meskipun ia memiliki pandangan yang cukup “skeptis” terhadap gagasan pembangunan alternatif Sivaraksa.

Sebagai penutup, kita bisa belajar dari sosok Gus Dur di mana ia dapat memadukan dimensi kritis dan penghormatan sekaligus. Sikap semacam ini sering kali sulit untuk didapatkan pada situasi kontemporer saat ini. Ketika kita kritis kepada seseorang (bahkan sering kali bukan kritis tetapi sekedar disline) maka kita cenderung menutup mata pada dimensi-dimensi lain dari sosok tersebut yang dapat diteladani. Di sisi lain penghormatan kepada seseorang sering kali menjurus pada “kultus” sehingga apapun yang ada pada diri orang tersebut tidak bisa dianggap keliru.

Sikap Gus Dur ini mengingatkan kita pada sosok Aristoteles yang meskipun menyatakan rasa hormatnya yang mendalam pada sang guru Plato -bahkan menyatakan bahwa gurunya lebih ia cintai dari orang tuanya- namun ketika ia merasa ada yang keliru dari ajaran gurunya maka tidak segan ia mengkritiknya. Komitmen pada kebenaran membuat Aristoteles berani untuk meninggalkan pandangan gurunya dan menyatakan pandangan lain yang dinilainya benar. Namun komitmen pada kebenaran inilah yang juga membuat Aristoteles begitu mencintai Plato karena gurunya adalah sosok yang berkomitmen dan membantunya untuk mengenali kebenaran. Sikap inilah yang sepertinya terpatri pada diri Gus Dur yang menganggap Sivaraksa -sebagaimana Plato di mata Aristoteles- sebagai gurunya.

Peserta program Kader Pemikir Islam Indonesia (KPII) Angkatan ke-2 yang diselenggarakan oleh LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat) dan Universitas Paramadina.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *