Saat pemilu serentak dilaksanakan tahun 2019 lalu, salah satu hal yang sangat menarik adalah ketika cawapres Mahfud MD tiba-tiba digantikan oleh Ma’ruf Amin di detik-detik terakhir. Padahal Pak Mahfud telah menyiapkan segalanya, bahkan baju yang beliau pakai terpaksa ditanggalkan akibat perubahan peta suara yang seolah-olah menjadi milik Pak Prabowo waktu itu.
Benar saja, Pak Jokowi akhirnya memenangi pilpres dengan selisih suara yang tidak seberapa, bahkan mungkin bisa dihitung jari. Banyak yang menduga bahwa yang memenangkan Jokowi-Ma’ruf waktu itu adalah Jawa Timur alias Ma’ruf Amin, atau lebih gamblangnya adalah Nahdlatul Ulama. Benarkah demikian? Menarik untuk menilik cawapres pilpres kali ini, sebab dua di antara tiga cawapres sangat kental mewakili wajah Nahdlatul Ulama.
Seberapa pentingkah suara NU ini, sehingga begitu diperebutkan oleh para aktor politik tanah air tak terkecuali oleh para capres dan cawapres kali ini? Saya teringat dengan sebuah judul buku yang ditulis oleh Arif Pranoto, yakni Peran Asimetris dan Skema Penjajahan Gaya Baru. Isi buku ini menggambarkan kondisi negara kita ibarat kue (cake) yang begitu manis dan diperebutkan oleh beberapa elite politik dengan sistem smart power. Nah, dalam salah satu fragmen tulisan tersebut terdapat kalimat yang agak menggelitik namun bisa jadi benar adanya. Kalimatnya kurang lebih seperti ini: “Kalau ingin menguasai dunia, maka kuasai Indonesia. Jika ingin menguasai Indonesia, maka kuasai tanah Jawa. Jika ingin menguasai Jawa, maka kuasailah Jawa Timur, dan jika ingin menaklukkan Jawa Timur kuasailah tanah Madura”.
Penggalan kalimat di atas bukan tanpa alasan, sebab jika melihat percaturan politik Indonesia, pulau Jawa menjadi sentrum inti untuk mendapatkan struktur politik tertinggi di negara ini. Survei Alvara Research Institute pada tahun 2016 mencatat sebanyak 50,3% penduduk Muslim Indonesia “mengaku NU”. Artinya separuh penduduk Muslim negara ini terafiliasi dengan NU, baik secara struktural maupun kultural (Katadata.id/2023).
Populasi jumlah pemilih jika dikristalisasi berdasarkan daerah, maka Jawa Barat menjadi wilayah yang memiliki jumlah pemilih tertinggi yakni sebanyak 35,7 juta pemilih atau 17% secara nasional. Disusul Jawa Timur yakni 31,4 juta pemilih atau 15% secara nasional. Dan ini akan terus bertambah mengingat kita punya bonus demografi yang sangat banyak.
Nah, berdasarkan data ini tentu para peserta pemilu akan berusaha meraup suara sebanyak mungkin, terutama Jatim. Lantas apakah hal ini tidak menimbulkan efek domino politik? Penegakan demokrasi sebagaimana yang dicita-citakan oleh Gus Dur bukan pada kontestasi suara terbanyak, tetapi bagaimana kedaulatan rakyat mampu didudukkan baik di level akar rumput sampai pada tataran pemangku kebijakan atau public policy.
Penegakan dan penguatan demokrasi tidak akan terjadi jika akarnya tidak terjaga dengan baik. Hari ini banyak masyarakat sudah melihat demokrasi hanya pada tataran pesta demokrasi atau pemilu sehingga potensi politik uang dan sebagainya gampang terjadi akibat muncul narasi “mari kita ambil uangnya tapi jangan coblos orangnya sebab ujung-ujungnya kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan kelak jika mereka terpilih”.
Pemahaman terkait demokrasi yang baik kepada masyarakat tentu akan memberikan edukasi dan mengubah mindset rakyat terkait apa itu demokrasi. Di mana penegakan dan penguatan demokrasi memiliki beberapa indikator seperti pelayanan publik yang inklusif, pendidikan yang memerdekakan, kebebasan beragama, akses publik yang ramah kelompok rentan, serta perlindungan perempuan dan anak.
Apa yang telah dijalankan oleh Gus Dur terkait praktik demokrasi adalah menilik sisi substansialnya, bukan pada kekuasaan dan jabatan. Setiap pemangku kebijakan harus mampu melihat kondisi riil di masyarakat terkait apa yang dibutuhkan, sebab kesenjangan ekonomi dan lainnya tidak terlaksana karena tidak hadirnya keadilan di sana. Banyak masyarakat yang tidak terpenuhi haknya hanya karena akses yang tidak memihak.
Salah satu bukti penegakan demokrasi yang Gus Dur ajarkan adalah bahwa kekuasaan tidaklah lebih tinggi dari keberadaan rakyat, di mana beliau lebih memilih mundur dari jabatannya sebagai presiden ketimbang harus memperjuangkan jabatan tapi pada akhirnya rakyat yang menjadi korban. Artinya Gus Dur mendahulukan legitimasi one man one vote atau suara rakyat yang telah diwakilkan dan jika tidak mampu dilaksanakan lebih baik untuk meninggalkan daripada menimbulkan abuse of power untuk kepentingan pribadi dan golongan.
Siapa pun yang memenangi pilpres nantinya tentu harus mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik, terutama perbaikan kualitas demokrasi kita yang menurun. Terlepas dari latar belakang apa mereka terpilih, kesejahteraan bangsa dan negara harus menjadi nomor satu sebagaimana Gus Dur sering mengutip salah satu kaidah fikih yang berbunyi “tashorroful imami alarraiyyati manuutun bil maslahah” bahwa kebijakan dan kebijaksanaan pemerintah haruslah mendahulukan kesejahteraan rakyat dan ini sudah termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945.