Perdebatan apakah Konfusianisme dapat digolongkan sebagai “agama” ataukah “filsafat” ataupun “etik” dapat dikatakan masih menjadi bahan diskusi yang “hangat” di kalangan akademisi dalam disiplin religious studies (studi agama) ataupun comparative religions (perbandingan agama). Sebagai contoh dalam karya klasik Historical Atlas of the Religions of the World (1974) yang diedit oleh Ismail Raji al-Faruqi dan David E. Sopher ada bab khusus mengenai Konfusianisme dan Taoisme yang ditulis oleh Charles Wei-hsun Fu. Fu sendiri ialah akademisi Taiwan yang mengajar di Universitas Temple. Selain juga ia mengajar di Universitas Nasional Taiwan dan Universitas Ohio. Dalam karya tersebut, Fu cenderung meyakini Konfusianisme sulit untuk dipahami sebagai agama jika kriteria agama merujuk pada tradisi Judeo-Kristiani ataupun Islam yang cenderung monoteistik.
Fu beralasan bahwa dalam tradisi Judeo-Kristiani ataupun Islam yang monoteistik ada dimensi kuat metafisika (metafisika dapat didefinisikan sebagai science of being/ilmu tentang wujud sebagai wujud; Dalam skema Aristotelian, metafisika ini juga memusatkan perhatian pada Tuhan sebagai wujud murni) di dalamnya, khususnya pembahasan mengenai hakikat Tuhan serta kaitan Tuhan dengan dunia. Sementara bagi Fu, tradisi keagamaan di Cina -termasuk Taoisme- cenderung menekankan pada dimensi non-metafisik atau lebih tepat disebut praktis (sebagaimana dipahami dalam kerangka Aristotelian yang membedakan ilmu teoritis dan ilmu praktis) sehingga dimensi etika menjadi sangat kuat menjadi penciri tradisi keagamaan di Cina. Sebagai informasi etika mestilah didefinisikan sebagai jembatan untuk mentransformasi manusia dari keadaannya yang tidak ideal kepada yang ideal. Dengan kata lain ada kecenderungan kuat pada “manusia” dan “dunia ini” dibandingkan kepada sesuatu yang “melampaui dunia ini” dan juga entitas adikodrati yang “melampaui dunia ini.”
Kuatnya dimensi praktis dibandingkan metafisik (teoritik) inilah yang menurut Fu salah satunya tercermin pada perkembangan Buddhisme di Cina. Awalnya Buddhisme memiliki kecenderungan metafisik yang kuat sebagaimana agama monoteistik dan juga adanya pembahasan yang kuat tentang nirvana (dimensi realitas yang melampaui dunia ini). Namun sejak masuknya Buddhisme di Cina terjadi proses “cina-isasi” Buddhisme sehingga dimensi metafisik yang tadinya sangat kuat melekat padanya mengalami pelunturan sedemikian rupa. Sebagai contoh, konsep nirvana tidak lagi dipahami sebagai suatu yang “melampaui” dunia ini tetapi nirvana dipahami mengada “saat ini” dan “di sini” yang mengimplikasikan ia bukan suatu alam (realm) yang terpisah dari dunia ini.
Lebih jauh menurut Fu, berbeda dengan agama monoteistik semacam Judeo-Kristiani dan Islam yang memiliki institusi keagamaan yang terinstitusionalisasi yang bahkan memiliki kapasitas sama atau lebih besar dari negara, tradisi keagamaan di Cina tidak memiliki jejak semacam itu. Tidak mengherankan menurut Fu dalam kosakata Cina tidak terdapat konsep agama yang ekuivalen dalam konsep agama di Barat yang dipengaruhi Judeo-Kristiani misalnya. Agama dalam arti monoteistik itu dalam kosataka Cina disebut sebagai “clan” (klan), “sect” (sekte), “devotion” (devosi) atau “origin” (asal-usul). Sedangkan agama dalam pengertian tradisi Cina lebih diimajinasikan sebagai “teaching” (ajaran) dan “doctrine” (doktrin).
Dikarenakan lemahnya institusi keagamaan yang eksis dalam tradisi keagamaan di Cina selain juga identifikasi agama sebagai etik (way/art of life) maka ada kecenderungan bagi masyarakat Cina untuk menganggap agama sebagai jalan (ingat bahwa etika dibayangkan sebagai jembatan) yang sama-sama akan mengantarkan manusia kepada kondisinya yang ideal. Maka dalam konteks Cina ada upaya mengidentifikasikan Buddhisme, Taoisme, dan Konfusianisme sebagai jalan/jembatan yang saling melengkapi dan setara dalam memastikan manusia dalam menjalani hidupnya dengan baik di dunia ini.
Menurut Fu, dalam definisinya yang khas semacam itu maka tradisi keagamaan Cina akan sulit untuk dikategorisasikan sebagai agama jika mengacu pada kriteria monoteisme dan lebih dekat kepada “filsafat” atau “etika”. Tetapi ia bisa diposisikan sebagai agama jika mendasarkan pada kriterianya sendiri yang memiliki kecenderungan khas yang berbeda bahkan misalnya dengan wilayah “tetangganya” yakni India yang dianggap lebih bercorak metafisik sebagaimana agama Yahudi, Kristen, ataupun Islam.
Walau perlu disampaikan pula bahwa Fu merasa bahwa meskipun penekanan tradisi keagamaan Cina yang kuat pada dimensi “praktis-etik” dan bukannya “teoritik-metafisik” bukan berarti tidak ada dimensi metafisik dalam tradisi keagamaan Cina seperti Konfusianisme. Fu misal menyebut bahwa ada praktik “penyembahan” pada nenek moyang dan juga langit yang menjadi penanda dari tradisi masyarakat Cina. Maka menurut Fu, perlu juga untuk memahami secara kritis eksistensi dimensi spiritual (metafisik) ini berbasis pada kajian sejarah, termasuk untuk mengidentifikasi bagaimana dimensi metafisik ini dimaknai dan dipraktikkan oleh dua kalangan yang berbeda yakni kalangan cerdik pandai (filsuf) yang disebut sebagai the great tradition (tradisi besar) dan juga kalangan masyarakat kebanyakan yang disebut sebagai the little tradition (tradisi kecil).
Pada intinya Fu menyatakan bahwa pada era filsuf Konfusius, dimensi metafisik ini belum terlalu dielaborasi secara mendalam. Namun dalam perkembangannya, para pemikir Konfusian dan neo-Konfusian merasa perlu untuk merenungkan dan mendiskusikan dimensi metafisik ini secara lebih intens akibat masuknya pengaruh Buddha ataupun perkembangan Taoisme yang juga sama-sama menunjukkan perkembangan ke arah metafisik. Ada berbagai interpretasi mengenai doktrin metafisik ini dalam perkembangannya yang bisa “berkontradiksi” satu sama lain (misal ada pemikir yang melihat alam sebagai alam saja dan tidak ada yang melampauinya sementara ada pemikir yang melihat bahwa ada realitas di balik alam tersebut). Ini adalah perkembangan yang terjadi dalam tradisi besar.
Namun dalam tradisi kecil, yakni yang dipraktikkan oleh kebanyakan masyarakat, munculnya dimensi metafisik seperti “penyembahan” kepada nenek moyang dan langit itu karena sifat dari tradisi kecil yang cenderung “eklektik” sehingga ia bisa menyerap berbagai tradisi yang berkembang di Cina (misal Animisme, Shamanisme dipadukan dengan Buddhisme, Taoisme, dan etika Konfusian) yang dikatakan Fu menghasilkan praktik “penyembahan” pada dewa-dewa, roh, dan tokoh yang diagungkan.
Tidak mengherankan ada kosakata Cina untuk membedakan dua tradisi tersebut menurut Fu yakni Ju-Chia untuk menyebut tradisi besar dan K’ung-chiao untuk menyebut tradisi kecil. Uniknya tidak hanya Konfusius saja yang memiliki kosakata semacam ini tetapi juga berlaku bagi Buddhisme dan Taoisme. Tradisi besar Buddhisme disebut Fo-hsueh sementara tradisi kecil Buddhisme disebut Fo-chiao. Sedangkan tradisi besar Taoisme disebut Tao-chia sedangkan tradisi kecil disebut Tao-chiao.
Debat mengenai apakah Konfusianisme bisa dikategorisasikan sebagai “agama” atau “etika” dan “filsafat” dalam dunia akademik bisa dikatakan justru menghasilkan debat yang kaya dan produktif sebagaimana tercermin dari penjelasan Fu di atas. Namun yang menjadi problem ialah pendefinisian atau pengkateorisasikan Konfusianisme sering kali tidak berada dalam “ruang hampa” atau pembahasan akademik yang “steril” dari konteks sosial politik yang melingkupinya. Dalam kasus Indonesia misalnya, pendefinisian atau pengkategorisasian Konfusianisme sebagai “agama” atau “bukan” bisa dikatakan dipengaruhi dan mempengaruhi konteks sosial-politik yang lebih besar.
Sebagai contoh di era Orde Baru, pasca-tragedi ‘65 ada kecurigaan dari pemerintah yang berkuasa bahwa masyarakat Tionghoa dianggap “dekat” (ini adalah klaim tentunya) dengan gerakan komunis di Indonesia. Kecurigaan ini kemudian menjadi basis bagi negara untuk melakukan upaya “pembonsaian” atau “mereduksi” ekspresi publik dari masyarakat Tionghoa termasuk dalam kaitannya dengan tradisi dan agama. Jika Konfusianisme dapat didefinisikan “bukan agama” maka pemerintah Orde Baru memiliki legitimasi untuk semakin mereduksi kekuatan masyarakat Tionghoa di Indonesia berikut ekspresi keagamaannya. Dalam konteks inilah pendefinisian “agama” atau “bukan agama” menjadi semacam strategi politik dan bukan lagi murni diskusi akademik karena terkait rekayasa sosial masyarakat oleh negara.
Tidak hanya kasus Orde Baru, di masa Kolonial Belanda tercatat upaya untuk mendefinisikan Konfusianisme sebagai “bukan agama” juga diupayakan khususnya oleh sejumlah misionaris Kristen Belanda dalam upaya untuk membuka ruang bagi misi Kristen di kalangan masyarakat Tionghoa. Menurut Andrew J. Abalahin dalam artikelnya “A Sixth Religion? Confucianism and the Negotiation of Indonesian-Chinese Identity under Pancasila State” -yang diterbitkan dalam buku Spirited Politic: religion and Public Life in Contemporary Southeast Asia (2005)- gerakan Konfusianis di Indonesia yang dinamakan THHK (Tiong Hoa Hwee Koan/Chinese Meeting Hall) menyanggah kritik ini dengan menyatakan bahwa Konfusianisme adalah agama yang mengikuti ajaran Nabi Konfusius.
Lebih jauh menurut THHK, Konfusianisme yang telah “dipurifikasi” dari ajaran Taoisme dan Buddha yang dianggap sebagai agama “indigenous” Cina memiliki dimensi rasional yang tinggi bahkan “lebih rasional” dan lebih “update” dibandingkan Kristen. Tentu kita perlu maknai statement yang keras ini sebagai reaksi terhadap kritik sejumlah misionaris Kristen yang menyebut Konfusianisme tidak layak disebut sebagai “agama.” Sebagai respons THHK, seakan mendekonstruksi pembicaraan dengan menyatakan bahwa Konfusianisme lebih “rasional” dan “up to date” (dengan era modern) dibandingkan Kristen sehingga implikasinya jika Kristen layak disebut agama maka mengapa tidak dengan Konfusianisme?
Bahkan kita bisa katakan upaya konstruksi dan re-konstruksi makna Konfusianisme sebagai “agama” atau “bukan agama” tidak hanya terjadi pada kasus Indonesia. Gus Dur misalnya percaya bahwa pemerintah RRC (Republik Rakyat Cina) tidak mengkategorisasikan Konfusianisme sebagai agama resmi negara tersebut sebagai upaya untuk melunturkan pengaruh agama secara umum dalam kehidupan masyarakat. Langkah ini dimotori oleh keinginan membentuk masyarakat secara baru berbasis pada doktrin materialisme dialektika yang notabene “sekuler” dan bahkan “materialistik” dan tidak mengakui “spiritualitas” apapun yang dianggap sebagai ilusi. Pandangan Gus Dur ini juga diafirmasi oleh Profesor Fu yang menyatakan bahwa di era modern, pemerintah komunis RRC berupaya untuk mendefinisikan ulang Konfusianisme berbasis pada spirit materialisme-dialektika.
Tulisan ini menyadari bahwa dalam kasus Gus Dur, ia juga merupakan aktivis (dan juga pejabat negara) selain dari seorang akademisi. Sehingga ketika ia mencoba menafsir apakah Konfusianisme itu “agama” atau “bukan” maka apa yang ia lakukan bukan merupakan diskusi akademik “murni” tetapi juga berimplikasi pada aktivismenya dan juga kebijakan yang ia buat ketika ia menjabat sebagai presiden. Salah satunya ialah ia menetapkan Konfusianisme sebagai agama resmi negara dan menjadikan Imlek misalnya sebagai hari raya agama Konfusianisme sehingga menjadi hari libur nasional yang diakui.
Tulisan ini tidak berpretensi untuk mengelaborasi implikasi sosial-politik-budaya dari interpretasi Gus Dur akan Konfusianisme, akan tetapi lebih pada upaya menganalisis argumen yang digunakan Gus Dur dalam menginterpretasikan Konfusianisme sehingga sampai pada kesimpulan bahwa itu adalah sebuah agama. Lebih jauh, apakah makna agama yang dipakai Gus Dur dalam konteks ini paralel dengan definisi agama yang dipakai oleh Profesor Fu misalnya, inilah yang coba ditelusuri. Sedangkan mengenai implikasi sosial-politik-dan budaya sehingga Gus Dur misalnya dijuluki sebagai “bapak Tionghoa Indonesia” tidak masuk dalam cakupan pembahasan tulisan ini karena tulisan tentang ini relatif melimpah. Tulisan ini sendiri akan mendasarkan pada dua artikel yang ditulis Gus Dur yakni “Paham Konghuchu dan Agama” yang diterbitkan dalam Buku Kumpulan Kolom dan Artikel KH. Abdurrahman Wahid Selama Era Lengser (2002) dan “Ras dan Diskriminasi di Negara ini” yang diterbitkan dalam buku Islamku Islam Anda Islam Kita (2005).
Gus Dur pertama-tama berupaya mengidentifikasi makna Konfusianisme. Menurut Gus Dur dalam bahasa Cina, tradisi ini disebut sebagai Rujiao, yakni agamanya orang-orang yang lembut hati, terpelajar, dan berbudi luhur. Dari definisi semacam ini kita bisa katakan bahwa Gus Dur mencoba menjelaskan pada para pembaca bahwa Konfusianisme merupakan agama yang erat kaitannya dengan dimensi “etik” yang tercermin dari pada pengikutnya yang beretika tinggi. Pada titik kita bisa tempatkan penjelasan Gus Dur paralel dengan penjelasan Profesor Fu bahwa konfusianisme lebih ditandai dengan dimensi etiknya.
Kemudian Gus Dur melanjutkan pembahasan dengan mencoba mengidentifikasi sosok Konfusius yang dianggap sebagai figur sentral dalam tradisi Konfusianisme. Bagi Gus Dur, Konfusius bukan orang pertama yang menyampaikan agama tersebut. Apa yang ia lakukan hanyalah menyempurnakan ajaran agama yang sudah eksis jauh sebelum keberadaan dirinya. Dalam membangun argumen semacam ini Gus Dur menukil statement dari Konfusius sendiri yang menyatakan bahwa dirinya bukanlah pencipta agama tersebut tetapi dirinya merupakan penyambung mata rantai dari “ajaran kuno” tersebut. Dalam konteks ini Gus Dur tidak menyebut Konfusius sebagai “nabi” atau semacamnya, tetapi ia yakin bahwa Konfusius bukanlah “pencipta” tetapi sebagai “penyampai” agama tersebut dalam konteks kontemporer Cina -kontemporer di masa Konfusius maksudnya-.
Gus Dur kemudian menyampaikan penilaiannya yang khas mengenai Konfusianisme. Ia menyatakan, banyak orang mengira bahwa Konfusianisme hanya merupakan ajaran moral atau filsafat etika semata. Padahal menurut Gus Dur jika seorang mau mendalami ajaran Konfusianisme secara mendalam ia akan menyadari bahwa dimensi etik memang eksis, tetapi dimensi etika bukan satu-satunya. Gus Dur berupaya menjelaskan ada dimensi spiritual (metafisik) yang kuat dalam tradisi Konfusian sehingga ia layak dikategorisasikan sebagai agama.
Gus Dur misalnya menyebut bahwa ada ritual yang wajib dijalankan oleh para penganut Konfusian. Perlu diketahui, bagi Gus Dur keberadaan ritual adalah salah satu petunjuk bahwa Konfusianisme adalah agama. Gus Dur juga menyebut bahwa dalam doktrin Konfusianisme selain dikenal konsep “Ren Dao” yang memiliki makna ajaran tentang hubungan antarsesama manusia, juga dikenal konsep “Tian Dao” yang mengatur bagaimana hubungan antara manusia dengan sang khalik yang disebut “Tian” atau “Shang Di” -atau bermakna langit/heaven-. Dengan kata lain Gus Dur teryakinkan bahwa dimensi ritual dan pengakuan akan adanya relasi manusia dengan langit yang ideal merupakan bukti bahwa Konfusianisme bukan sekedar filosofi moral belaka tetapi juga merupakan agama. Pada titik ini kita bisa juga melihat kesamaan pemikiran Gus Dur dengan Profesor Fu yang mencoba menghadirkan dimensi “teoritik-metafisik” di samping “praktis-etik” dari Konfusianisme.
Selain menegaskan dimensi “metafisik” (ritual dan kepercayaan pada langit yang dimaknai secara spiritual) yang eksis dalam Konfusianisme, Gus Dur juga berupaya membuktikan bahwa Konfusianisme adalah sebuah agama dari kajian historisnya mengenai kedatangan komunitas Tionghoa dari daratan Cina ke Indonesia. Gus Dur membagi arus kedatangan komunitas Tionghoa ke Indonesia menjadi dua gelombang. Gelombang pertama diasosiasikan dengan para pelaut Tionghoa beragama Islam yang telah lalu lalang di wilayah Indonesia sejak abad ke-13 dan mencapai puncaknya pada abad ke-16 di bawah armada Laksamana Macengko (Ma Zhenghe).
Para pelaut Tionghoa Muslim itu menurut Gus Dur sebagian bermukim di wilayah Indonesia dan berhasil mengakumulasi kapital. Perkembangan tersebut menurut Gus Dur -setidaknya dari bacaannya terhadap buku berjudul Buku 1942 dalam bahasa Prancis- membuat menteri peperangan Cina saat itu yang menjabat sebagai wakil raja merasa khawatir. Gus Dur menyatakan bahwa sang menteri yang beragama Konfusius itu khawatir para pedagang Muslim Tionghoa yang kembali ke daratan Cina tersebut dapat mengubah situasi sosial-politik akibat kapital yang mereka miliki. Maka kemudian sang menteri membuat kebijakan untuk menarik semua kapal-kapal Cina dari perantauan dan membakarnya di Pantai Hainan untuk mencegah lalu lalang perdagangan dari Cina ke (dan) Indonesia.
Situasi tersebut menyebabkan para pedagang Tionghoa tidak bisa kembali ke tanah airnya dan akhirnya berasimilasi dengan penduduk lokal dan meninggalkan kampung-kampung Cina yang mereka bangun sebelumnya. Menurut Gus Dur, kampung yang ditinggalkan termasuk juga masjid-masjid yang sebelumnya mereka bangun seperti Masjid Sam Po Toalang inilah yang kemudian dirombak oleh pelayar Tionghoa yang datang pada gelombang kedua. Pelayar Tionghoa pada gelombang kedua ini menurut Gus Dur beragama Buddha ataupun Konfusius. Menariknya bagi Gus Dur ketika mereka menempati kampung-kampung dan tempat ibadah yang ditinggalkan kemudian mereka misalnya mengubahnya menjadi kuil. Masjid Sam Po Tualang misalnya diubah menjadi Kuil Sam Po Toalang.
Perubahan semacam ini bagi Gus Dur merupakan indikasi kuat bahwa di mata pelayar Tionghoa yang datang ke Indonesia pada gelombang kedua, Konfusianisme dianggap sebagai agama. Maka tidak mengherankan mereka merenovasi masjid yang telah ditinggalkan menjadi kuil misalnya. Sehingga tidak tepat untuk menyatakan bahwa Konfusianisme sekedar etik tetapi juga memiliki dimensi ritual yang kuat sebagaimana agama Islam yang menjadi identitas pelayar Tionghoa pada gelombang pertama. Lebih jauh Gus Dur juga menyoroti masalah perkawinan dan pembagian hak waris yang menurutnya juga memiliki aturannya sendiri dalam tradisi Konfusianisme. Bagi Gus Dur sekali lagi ini menunjukkan bahwa Konfusianisme lekat dengan ritual dan juga hukum (tidak sekedar etika dalam arti sempit) sebagaimana juga menjadi penanda agama Islam misalnya yang memiliki aturan khusus mengenai hukum pernikahan dan pembagian waris.
Apa yang ingin ditekankan oleh Gus Dur dalam konteks ini ialah melalui penelusuran sejarah ia ingin merekonstruksi bagaimana pemeluk Konfusianisme mendefinisikan dirinya sendiri. Ternyata bagi Gus Dur mereka menganggap Konfusianisme itu sebagai agama dan bukan sekedar filsafat moral belaka. Jadi menurut Gus Dur dengan mendasarkan pada pemaknaan para pemeluknya sendiri maka kita bisa sampai pada kesimpulan bahwa ia merupakan agama. Jika kita bandingkan analisis ini dengan analisis yang dilakukan Profesor Fu, kita bisa menyatakan Gus Dur sedang menekankan bagaimana living religion (agama yang hidup/tradisi yang hidup) ini dimaknai khususnya oleh masyarakat kebanyakan (tradisi kecil).
Gus Dur kemudian memberikan satu statement yang kuat, di mana menurutnya kita mesti menilai sebuah tradisi berdasar keyakinan pemeluknya sendiri -dalam konteks Gus Dur ia menggalinya lewat studi historis- dan bukan oleh kalangan yang tidak menganutnya, baik itu dalam konteks Indonesia ataupun internasional. Dalam konteks RRC (Republik Rakyat Cina) misalnya Gus Dur menyebut pemerintah Komunis yang tidak menganggap Konfusianisme sebagai agama lebih didasari oleh kepentingan politik mereka untuk mengabaikan hukum waris dan juga pernikahan yang dianut oleh tradisi Konfusianisme. Sedangkan dalam konteks Indonesia khususnya di masa Orde Baru, Gus Dur menilai BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara) misalnya menghendaki konversi agama dari komunitas Tionghoa jika Konfusianisme tidak dapat dikategorisasikan sebagai agama resmi negara. Dengan kata lain motivasi BAKIN juga adalah motivasi politik dan bukan ilmiah.
Dari penjelasan di atas, kita bisa simpulkan bahwa di mata Gus Dur Konfusianisme dapat dikategorisasikan sebagai agama dengan sejumlah alasan rasional, di mana pertama tradisi ini bukan murni dihasilkan dari oleh pemikiran Konfusius, tetapi ia merupakan tradisi keagamaan yang jauh lebih tua usianya dari Konfusius. Kedua, dalam tradisi Konfusius juga ditemukan dimensi ritual dan metafisik yang kuat, di mana misal tercermin dari adanya ajaran yang mengatur relasi manusia dengan langit (yang dipahami secara spiritual). Ketiga, berbasis telaah historis, Gus Dur melihat bahwa kalangan Konfusianis Indonesia memaknai tradisi tersebut sebagai agama, di mana mencakup aspek ritual dan juga hukum dan tidak sekedar etika dalam arti sempit.
Jika kita bandingkan argumen Gus Dur ini dengan Profesor Gu, kita akan temukan paralelitasnya di mana Profesor Fu juga berupaya menegaskan dimensi “metafisik” yang eksis baik dalam tradisi besar ataupun tradisi kecil dalam tradisi Konfusianisme. Letak perbedaannya ialah Gus Dur tidak menukik pada definisi agama itu sendiri. Sedangkan Profesor Fu mendasari pembahasannya dengan mengajak pembaca untuk memaknai ulang definisi agama yang selama ini dilekati oleh parameter agama monoteistik ataupun tradisi keagamaan non-Cina seperti Buddhisme yang mengembangkan dimensi metafisik secara kuat. Padahal tradisi semacam ini “kurang dianggap sentral” di Cina dibandingkan dengan dimensi praktis-etis yang lebih kuat menjadi penanda tradisi keagamaan di Cina. Walau sebagaimana pembahasan Profesor Fu, sejatinya terjadi pula dinamisme dalam sejarah tradisi keagamaan Cina akibat pergumulannya dengan tradisi dari luar Cina seperti Buddhisme.
Sebagai penutup, statement Gus Dur bahwa untuk mendefinisikan apakah Konfusianisme itu “agama” atau “bukan” mestilah dikembalikan kepada penganutnya dan bukan oleh pihak di luar komunitas tersebut adalah satu statement yang kini dijadikan maksim dalam studi agama-agama. Maksim ini dapat dikatakan telah dijunjung tinggi sejak zaman Al-Biruni, di mana menurut Al-Biruni dalam melakukan studi terhadap agama tertentu biarkanlah agama dan para penganutnya tersebut yang berbicara untuk mencegah bias. Bukan maksud dari Al-Biruni seseorang tidak boleh melakukan analisis dan penilaian pribadi, tetapi sebelum melakukan analisis dan penilaian pribadi tersebut ia harus membangunanya di atas fakta dan bukan sekedar prejudice terhadap komunitas keagamaan tertentu. Dalam konteks Al-Biruni, maksim ini ia aplikasikan dengan berusaha mencari referensi autentik tentang Hinduisme, pergi ke India dan berdiskusi dengan para pemuka agama Hindu, termasuk pengamatan empiris atas berbagai praktik yang dijalankan oleh para penganut agama tersebut di tataran masyarakat luas. Dengan kata lain bagi Al-Biruni pendekatan yang obyektif didukung oleh seperangkat metodologi yang khas inilah yang mestinya menjadi pedoman seseorang untuk menilai misalnya apakah Konfusianisme itu merupakan “agama” atau filsafat” atau gabungan keduanya.
Sebagaimana Biruni, kita bisa katakan Gus Dur adalah akademisi yang juga menjunjung tinggi maksim tersebut sehingga membuatnya melakukan penilaian berbasis pada telaah historis dan juga telaah doktrin yang eksis dalam Konfusianisme itu sendiri dan tidak membiarkan penilaiannya diwarnai oleh sikap politik yang diambil oleh rezim Komunis Cina ataupun posisi BAKIN misalnya pada zaman Orde Baru. Sikap ilmiah dengan kata lain menjadi kunci bagi seorang Gus Dur untuk membangun posisinya terhadap Konfusiansime. Sikap ilmiah semacam inilah yang mestinya dijunjung oleh setiap pihak, khususnya akademisi studi agama dan perbandingan agama, sehingga dalam menghasilkan penilaian terhadap komunitas apa pun tidak berbasis pada “like” dan “dislike” tetapi didasarkan akan fakta yang kokoh.