Minggu lalu, tepatnya pada tanggal 23-25 Mei 2025 saya berkesempatan mengikuti Workshop Jurnalistik Filantropi di Pondok Pesantren Miftahul Huda, Kroya, Cilacap, Jawa Tengah, yang diadakan oleh NU Online Jateng. Acara tersebut menghadirkan beberapa tokoh terkemuka NU Indonesia seperti Savic Ali, Hamzah Sahal, dan tentunya jurnalis senior Andy Flores Noya, atau yang lebih kita kenal sebagai pembawa acara pada program Kick Andy.
Menariknya dalam kegiatan tersebut, saya mengutip beberapa kata yang terucap dari jurnalis kawakan itu perihal perbedaan keyakinan, sisi emosionalnya membantu banyak orang dari latar belakang berbeda, dan menyoal nasib malangnya yang terlahir dari keluarga kurang mampu saat itu.
Selama lebih dari empat puluh tahun pengabdiannya pada dunia jurnalistik, ia tularkan saat kemarin menjadi pemateri pada kegiatan ini. Dalam pemaparan materinya, Andy F Noya menyampaikan bahwa perbedaan agama bukanlah penghalang bagi siapa pun untuk melakukan kebaikan dalam hidup.
“Disclaimer dulu, aku ini Kristen. Lebih sering disematkan nama Kristen NU lah ya. sebenarnya berulang kali juga aku jadi pembicara di forum-forum pelatihan jurnalistik NU, Muhammadiyah, atau lainnya,” candanya di hadapan para peserta. Perbedaan agama tidak lantas membuat Andy membedakan porsi untuk membantu manusia lain dalam peranannya sebagai makhluk sosial.
“Di keluargaku membicarakan agama sudah selesai. Toh ketika aku membantu orang lain, hal pertama yang aku lakukan tidak mungkin bertanya agamamu apa. Kemanusiaan itu hak paten daripada hal lainnya,” tegasnya.
Andy menceritakan masa kecilnya yang hidup dalam kesusahan, terutama saat kedua orang tuanya berpisah dan dirinya masih berusia 6 tahun, baru bertemu kembali dengan ayahnya pada usia 13 tahun. Ia juga harus hidup mandiri sejak usia sekolah dasar.
Ketika telah menikah dan memiliki penghasilan, berpikir bahwa hidupnya akan lepas dari kesulitan, dia harus menopang beberapa keponakannya karena orang tua mereka telah meninggal dunia.
“Poin yang ingin aku ceritakan ada rasa marah, marah sama Tuhan. Ketika aku sudah menikah aku berpikir Tuhan ini tidak adil, Tuhan pilih kasih,” ungkapnya.
Diceritakannya, saat sudah mulai duduk di bangku kuliah, kakaknya meninggal dunia, dan kakak yang satunya suaminya meninggalkannya sehingga dirinya harus menanggung delapan anak dari dua kakaknya. Karena itu, dirinya harus keluar dari kuliah (drop out).
Pada mulanya, dirinya disekolahkan di sekolah vokasi oleh ayahnya, dengan harapan selesai sekolah, ia langsung bisa bekerja. Namun keinginan untuk menjadi jurnalis begitu kuat sehingga dirinya berangkat ke Jakarta lalu menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Publisistik, hingga mengantarkan pada karier saat ini. Setelah sukses dirinya menyadari bahwa banyak hal yang ia rasakan sebagai penderitaan merupakan cara Tuhan menempa dirinya.
“Kadang kita tidak tahu apa rencana Tuhan. Aku bersyukur menjadi orang yang seperti sekarang. Orang yang ingin berbagi agar anak-anak di Indonesia merasakan penderitaan yang dulu aku alami,” tuturnya.
Menyoal pengalaman yang ia ceritakan dalam perjumpaan pada kegiatan tersebut, mendorong saya berpikir bahwa pengetahuan yang dibalut dengan kepercayaan mengakar, baik itu agama ataupun ritual peribadatan, justru menjadi pilar kehidupan damai dan sejahtera. Mengapa demikian? Poin penting kemanusiaan itu ia sadari betul tidak ada perbedaan secara fisik-kejasmanian.
Dalam sesi penutupan, salah seorang peserta workshop mengapresiasi langkahnya dalam memajukan jurnalistik filantropi di Indonesia dengan mengatakan, “Saya sering memutar ulang wawancara Bapak dengan Gus Dur kala itu. Obrolan yang justru menggugah saya bahwa ternyata dua manusia ini, pertama pak Andy dengan berani untuk mempertanyakan banyak hal yang jelas tujuannya mengabarkan informasi bermanfaat untuk publik, kedua Gus Dur itu sendiri yang di sini saya lihat memang tingkatan kemanusiaan serta visionernya sangat di atas rata-rata,” jelasnya.
Menyimak seluruh materi yang diberikan dan diskusi dari peserta ini, lagi-lagi saya berpikir bahwa nilai kemanusiaan yang diwariskan Gus Dur barang tentu menjadi salah satu unsur sekaligus isi penting dalam etalase besar kehidupan bermasyarakat. Oase di kala teriknya matahari gurun bergeser ke negeri yang katanya kolam susu ini. Nilai kemanusiaan Gus Dur konkret dilakukan oleh siapa saja yang mengaku manusia seutuhnya. Membantu tanpa haus validasi, meraba kepedulian dengan segudang solusi.
Sayangnya, saya tidak menyapa Andy F Noya lebih lama dengan menanyakan prinsip lebih dalam, apa sebenarnya motivasinya menyuarakan kepedulian selain dari kisah nyatanya terlahir dari keluarga yang kurang mampu secara finansial. Barangkali, salah satu jawabannya merujuk pada “kevisioneran Gus Dur” sang bapak pluralisme Indonesia.