Perempuan dalam Vernakularitas Masyarakat Adat Sulawesi Selatan

Perempuan dan masyarakat adat adalah hal yang tidak terpisahkan, khususnya ketika berbicara terkait vernakularitas masyarakat adat di Indonesia. Tentu sebagai negara yang mengamini heterogenitas dalam berbagai aspek; suku, agama, budaya, ras, gender, dan status sosial, masyarakat kita sudah mengalami dan menjalani kehidupan sehari-harinya di tengah keragaman dan perbedaan.

Sama halnya ketika kita bicara terkait peran perempuan dan laki-laki terkhusus di masyarakat Sulawesi Selatan yang masih sangat kental dan erat hubungannya dengan tradisi serta budaya lokal. Dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan yang masih kental dengan kesukuan, seperti suku Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar, peran perempuan berada pada posisi setara dan bahkan dapat melampaui posisi laki-laki.

Berbeda halnya dengan perempuan di daerah lainnya yang ada di Indonesia yang masih dianggap sebagai “the second class”, bahkan pada abad ke-18, dapat dipastikan hampir di seluruh penjuru Nusantara perempuan mengalami stereotype, berbeda halnya dengan perempuan suku Bugis-Makassar.

Hal ini dijelaskan oleh Thomas Stamford Raffles dalam buku History of Java mencatat bahwa perempuan Bugis-Makassar menempati posisi yang lebih terhormat daripada yang disangkakan, mereka tidak mengalami tindakan kekerasan, pelanggaran privasi atau dipekerjakan secara paksa yang membatasi aktivitas/kesuburan mereka.

Hal ini menyiratkan bahwa dalam kehidupan masyarakat adat di Bugis-Makassar laki-laki dan perempuan tidak memiliki perbedaan tertentu dalam struktur sosial, sehingga baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki peran, fungsi dan status sosial yang penting dalam kehidupan masyarakat.

Jika menelisik lebih jauh dalam tradisi tulis maupun lisan masyarakat Bugis-Makassar sudah cukup jelas menggambarkan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan, seperti dalam naskah lontara dan pappaseng (pappasang: riwayat, pesan, wasiat) perempuan dan laki-laki sama-sama dianjurkan untuk menjaga kehormatannya. Pada naskah Andi Palloge Petta Nabba dijelaskan, “E Makkunrai sappo’i alemu nasaba siri mu, e worowane sappoi alemu nasaba asabbarakeng” (Hai perempuan pagari dirimu demi kehormatanmu, hai pria pagari dirimu demi kesabaranmu).

Machmud (2015), menjelaskan bahwa pernyataan tersebut merupakan seruan bagi perempuan untuk menjaga kehormatannya dan laki-laki untuk menahan diri dari tindakan tercela dengan kesabarannya. Dengan demikian dapat dilihat bahwa dalam tradisi masyarakat Bugis-Makassar, baik perempuan dan laki-laki dianjurkan untuk menjaga kehormatan dan menghindari diri dari perbuatan yang tercela.

Seiring dengan semakin gencarnya globalisasi dan modernisasi serta perkembangan teknologi dan informasi yang masuk sampai ke elemen-elemen terkecil masyarakat memberikan pengaruh besar, termasuk perempuan. Di masa kini, masyarakat kurang dan bahkan tidak mampu melepaskan diri dari ketergantungan dan kecanduan terhadap hal-hal dari luar.

Bahkan dengan merebaknya budaya-budaya dari luar yang masuk ke masyarakat melalui pertukaran informasi ini mengakibatkan perempuan Bugis-Makassar semakin sedikit yang memahami makna “Siri na Pacce” sebagai falsafah hidup masyarakat kita. Ruang-ruang sosial dan kearifan lokal tidak lagi diisi oleh pemuda-pemudi masa kini, tradisi menenun yang biasanya dilakukan oleh perempuan kini kurang ada penerus. Sebagai contoh di masyarakat adat Tanah Toa Kajang dan Toraja dengan tradisi menenun yang kurang diisi oleh perempuan muda.

Sebagai unsur penting perempuan adat adalah bagian integral dari masyarakat adat, peran perempuan sangat penting dalam menjaga kelestarian budaya, tradisi, dan sumber daya alam. Seperti misalnya perempuan Toraja yang memiliki peran penting dalam upacara adat Rambu Solo, Rambu Tuka, dan Ma’nene serta kegiatan pertanian dan kerajinan lainnya. Perempuan Toraja memiliki peran yang sangat sentral dalam menjaga kelestarian budaya dan meningkatkan perekonomian keluarga dan masyarakat.

Selanjutnya terdapat juga perempuan Tanah Towa Kajang yang memiliki peran penting sebagai Angronta (pemimpin perempuan), pendamping adat, dan penjaga kehormatan. Dengan demikian, perempuan mengambil posisi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat adat di Sulawesi Selatan, tidak hanya sebagai seorang ibu tetapi juga sebagai guru, pemimpin yang kemudian darinya akan lahir masyarakat baru yang nantinya akan meneruskan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang sudah seharusnya dijaga. Dengan posisi dan peran tersebut, perempuan adat mesti mampu menjelaskan dan menarasikan posisi dirinya di tengah arus globalisasi dan modernisasi.

Olehnya perempuan dalam posisinya di masyarakat adat Sulawesi selatan yang sejak dulu hingga sekarang berada pada ruang-ruang sosial dan domestik perlu untuk dikaji kembali agar tidak tergerus ataupun termanipulasi oleh modernisasi. Sebagai bagian yang tak terhindarkan perempuan adat mesti mendapatkan akses yang setara dalam hal pendidikan, ekonomi, politik, dan sebagainya, agar dalam memproyeksikan dirinya dengan kepentingan politik dan sosial perempuan adat memiliki ruang di mana suara serta kepentingannya dapat diformulasikan dan didengar dalam pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan.

Penggerak Komunitas GUSDURian Makassar, Sulawesi Selatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *