Manusia hidup di alam semesta bukan hanya terbatas pada menyambung hidup melalui makan, minum, dan melakukan perkawinan. Manusia dijadikan makhluk yang memiliki akal atas karunia Tuhan Sang Penciptanya. Dengan demikian, manusia memiliki strata tinggi jika dibandingkan dengan penghuni lainnya seperti tumbuhan dan hewan. Melalui akal ini, manusia bisa “mengendalikan” kehidupan makhluk di bumi ini, dalam jarang Islam manusia dikenal sebagai khalifatullah.
Namun sayang, privilese yang dimiliki oleh manusia itu tidak selamanya memberikan kebaikan dan tidak selamanya bisa mengayomi semua makhluk yang ada di bumi. Perilaku dan tindakan manusia sudah sejak lama membawa kerusakan yang kemudian hasilnya tidak jarang membawa korban berupa kerusakan tumbuhan, kematian hewan, bahkan mengorbankan sesama manusia itu sendiri. Tentu ini dapat dinilai sebagai “pengkhianatan” atas amanat Tuhan yang diberikan kepada manusia. Pengkhianatan itu selalu dilakukan oleh manusia melalui produksi sampah non-organik, penebangan pohon secara brutal, eksploitasi sumber daya mineral, dan masih banyak lagi.
Tanpa bermaksud menyinggung dan mendiskreditkan suatu keyakinan, bahwa ajaran-ajaran Adhi lebih pandai dalam menyikapi hal ini. Khususnya masyarakat Jawa dan Sunda memiliki pedoman atau ajaran leluhurnya yang kita kenal Hamemayu Hayuning Bawono, Sangkan Paraning Dumadi lan Manunggaling Kawula Gusti. Kita tafsirkan dalam ajaran Hindu sebagai Tri Hita Karana yang berisi Palemahan, Pawongan dan Parahiyangan atau dalam ajaran Islam disebut sebagai Habluminalalam, Habluminannas dan Habluminallah.
Hememayu Hayuning Bawono adalah ajaran leluhur Jawa dan Sunda yang secara harfiah dapat diartikan sebagai mempercantik atau memperindah alam semesta. Melalui pepatah atau ajaran ini, orang Jawa dan orang Sunda yang masih memegang teguh ajaran leluhurnya dapat berhati-hati dalam berhubungan dengan alam semesta. Sebagai contoh kecil, mereka tidak akan sembarangan menebang pohon. Jika dalam hal kecil saja mereka sangat berhati-hati, maka hal-hal besar mereka akan lebih berhati-hati.
Ajaran-ajaran leluhur yang telah muncul dan lestari selama berabad-abad sekarang tinggal sebagian kecil yang masih bertahan. Penyebabnya tidak lain adalah modernisasi yang memang sudah tidak bisa, bahkan mustahil untuk dibendung apalagi oleh negara yang menginginkan kemajuan. Namun, perlu menjadi perhatian adalah bagaimana sikap terhadap lingkungan ini dapat beradaptasi dengan kemajuan dan modernisasi karena ajaran apa pun jika tidak mampu beradaptasi maka akan hilang tergerus oleh zaman.
Benar adanya, suatu kemajuan teknologi mau tidak mau atau suka tidak suka sedikit memengaruhi keberlangsungan kehidupan flora dan fauna. Hal ini wajar, tetapi walau demikian manusia harus juga bisa bertindak secara proporsional.
Pertambangan sumber energi mineral memang sangat diperlukan untuk menunjang keberlangsungan kehidupan manusia dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Baik penambangan emas, minyak, batu bara, nikel, dan lainnya memang sangat diperlukan. Misal penambangan minyak bumi untuk dijadikan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor. Namun, penambangan itu harus bisa memperhatikan lingkungan sekitar. Setidaknya kalau tidak bisa menjaga keberlangsungan seluruh flora dan fauna di Indonesia, minimal kita harus bisa menjaga sebagiannya.
Jika biasanya hari peringatan itu dihiasi dengan momentum yang berkesan positif, namun tidak demikian di Hari Lingkungan Hidup pada 5 Juni 2025 lalu. Peringatan Hari Lingkungan Hidup tahun ini memang dihiasi dengan berbagai tagar seperti #SaveRajaAmpat atau #PapuaBukanTanahKosong dan tagar lainnya yang menggambarkan lingkungan hidup di Indonesia memang sedang tidak baik-baik saja, atau bahkan dari dulu memang belum baik-baik saja. Raja Ampat yang kita kenal memiliki alam yang indah ternyata sedang tidak baik-baik saja. Tempat yang menjadi pelindung keberlangsungan flora dan fauna itu sedang ada dalam ancaman kelompok orang yang mabuk akan kekayaan tanpa memperhatikan keberlangsungan lingkungan tempat makhluk lain berada.
Raja Ampat telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai global geopark tempat yang memiliki kekayaan flora dan fauna baik di darat maupun di lautnya. Menurut catatan Greenpeace (lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang lingkungan hidup), Raja Ampat menjadi kawasan baru yang terancam oleh tambang nikel. Eksploitasi yang dilakukan PT Gag Nikel itu telah merusak lebih dari 500 hektar dan vegetasi alami khas yang akan berdampak pada kerusakan karang sebagai ekosistem perairan di sana.
Mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang ada, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, pasal 23 ayat (2) mengatur bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan itu untuk kepentingan konservasi; pendidikan dan pelatihan; penelitian dan pengembangan; budidaya laut; pariwisata; usaha perikanan dan kelautan serta industri kelautan secara lestari; pertanian organik; peternakan dan pertahanan dan keamanan.
Pada ayat (3) mengatur lebih lanjut terkait pengecualian dari konservasi; pendidikan dan pelatihan; penelitian dan pengembangan harus memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan, memperhatikan kemampuan dan kelestarian sistem tata air setempat; dan menggunakan lingkungan teknologi yang ramah lingkungan. Berdasarkan peraturan yang tertera dalam pasal di atas, tidak ada industri pertambangan tercantum sebagai prioritas. Jangankan industri pertambangan yang bukan prioritas, yang masih prioritas saja perlu memenuhi syarat untuk menjaga kelestarian perairan dengan teknologi yang ramah lingkungan. Maka secara normatifnya, perlu ketegasan pemerintah, yang dalam hal ini menteri terkait supaya bertindak dengan mencabut izin dari suatu perusahaan sebagaimana yang diatur dalam pasal 51 ayat (1).
Kembali lagi kepada ajaran Hamemayu Hayuning Bawono, konsep ajaran yang memperhatikan keseimbangan keselarasan antara manusia dan alam semesta. Melalui ajaran ini, masyarakat dibentuk untuk menjaga keharmonisan dalam sosial, melindungi lingkungan keberlanjutan, dan memastikan keberlanjutan generasi mendatang. Mereka meyakini bahwa manusia dan alam semesta harus berhubungan baik karena bagaimanapun juga alam semesta ini telah memberikan segalanya untuk manusia. Jika manusia memperlakukannya secara jahat, maka alam semesta akan membalas dengan jahat pula.
Terkadang peraturan dalam bentuk tertulis seperti undang-undang tidak begitu dipatuhi daripada ajaran adat yang memang melekat pada diri setiap masyarakat yang tidak hanya mementingkan kecerdasan intelektual tetapi juga kecerdasan spiritual tentang pentingnya membina hubungan baik dengan alam semesta.