YOGYAKARTA – Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian menggelar Seminar Indonesia Rumah Bersama dengan mengambil tajuk “Tantangan & Masa Depan Demokrasi-Toleransi di Indonesia” di Ruang Auditorium Mandiri Gedung BB Lt. 4, FISIPOL Universitas Gadjah Mada pada Kamis, 18 Januari 2024.
Acara yang diselenggarakan dalam rangka Haul Gus Dur ke-14 ini merupakan hasil kerja sama Jaringan GUSDURian dengan PolGov FISIPOL UGM, Komunitas GUSDURian Jogja, Gardu Pemilu, dan Ditjen Polpum Kementerian Dalam Negeri.
Beberapa narasumber dihadirkan untuk mengisi diskusi yang berlangsung pada pukul 08.30-12.00 WIB tersebut, di antaranya Jay Akhmad (Koordinator Gardu Pemilu Jaringan GUSDURian), Okky Madasari (Sastrawan-Akademisi), Amalinda Savirani (Kepala PolGov FISIPOL UGM), dan dimoderatori oleh Sarah Monica (Penulis).
Dalam pemaparannya, Jay Akhmad menyebut bawah demokrasi Indonesia hari ini adalah demokrasi yang minus literasi. Demokrasi Indonesia juga dipenuhi dengan gimmick. Jay mengingatkan bahwa jangan sampai demokrasi kita berjalan mundur setelah perjuangan reformasi yang pernah diraih negara ini.
“Jangan sampai reformasi yang telah didorong pada 1998, pada akhirnya punya peluang untuk balik arah. Bahwa kita sedang mengalami proses demokratisasi iya, bahwa demokrasi kita penuh celah iya. Tapi situasi demokrasi kita harus terus didorong agar semakin kuat,” ungkap Jay.
Tidak hanya kurangnya literasi demokrasi, faktor-faktor lainnya juga turut memperlemah demokrasi kita seperti maraknya politik transaksional, mayoritarianisme, oligarki dan dinasti politik, hingga vote minus voice. Padahal, menurut Jay, kekuatan demokrasi kita ada di partisipasi masyarakatnya karena pemegang kedaulatan ada di tangan rakyat. Sebagai elemen masyarakat sipil, Jaringan GUSDURian juga melakukan upaya demokratisasi melalui gerakan Gardu Pemilu dan membuat platform gardu.net.
“Gardu Pemilu adalah bagian dari gerakan Jaringan GUSDURian untuk memperkuat demokrasi. Ini menjadi ruang terbuka bagi siapa pun untuk melakukan edukasi publik terkait politik dan demokrasi dalam Pemilu 2024. Fungsi Gardu Pemilu GUSDURian adalah untuk edukasi publik terkait pemilu dan demokrasi, membangun jejaring dan advokasi dengan penyelenggara dan pengawas pemilu maupun tokoh agama dan masyarakat, serta monitoring (pemantauan) penyelenggaraan pemilu,” paparnya.
Senada dengan itu, Amalinda Savirani menjelaskan bahwa Indonesia memiliki tantangan sekaligus peluang dalam demokrasi. Terkait tantangan, para ahli telah banyak bersepakat bahwa demokrasi Indonesia hari ini terus mengalami penurunan.
“Nyatanya, kondisi demokrasi Indonesia hari ini oleh banyak ahli disebut mengalami regresi, mengalami penurunan. Cirinya ada tiga. Pertama, kebebasan sipil terus menurun. Kedua, adanya peningkatan polarisasi ideologi. Ketiga, penggunaan sistem hukum sebagai instrumen untuk menurunkan demokrasi dan menekan kelompok kritis,” paparnya.
Amalinda melanjutkan, indeks demokrasi yang menurun membuat tingkat kepercayaan global pada Indonesia juga menurun. Hal ini dikarenakan rule of law-nya berubah-ubah. Menurutnya, meski upah buruh ditekan, serikat buruh ditekan, tapi investasi tetap sulit masuk.
Sedangkan di sisi peluang, dirinya menyebut bahwa masyarakat sipil kita mempunyai keuletan untuk memperjuangkan demokrasi, di samping dukungan pemanfaatan teknologi dan medsos serta budaya pop yang digerakkan kelompok muda.
“Peluangnya bisa dilihat dari masyarakat sipil kita yang resilience, seperti Jaringan GUSDURian. Ini yang kemudian disebut resilience democracy. Cirinya ada tiga. Pertama, tingkat adaptasinya tinggi (adaptability). Kedua, selalu dapat menjadi rujukan (resourcefulness). Dan ketiga, ulet/lenting (resilience). Ada 400 ribu masyarakat sipil yang tercatat dalam data Kementerian Dalam Negeri, dan kebanyakan terpusat di Jawa. Ini jadi peluang kolaborasi kita. Aktornya adalah kita semua. Peluang itu ada, tersedia, dan terus bisa kita gali,” pungkas Amalinda.
Terakhir, Okky Madasari mengomentari masalah ekonomi di masyarakat. Menurutnya, mustahil membicarakan toleransi dan demokrasi tanpa membicarakan ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan ekonomi.
“Ketimpangan ekonomi adalah gap antara yang miskin dan yang kaya. Ketika ini terjadi, kita tidak bisa bicara soal toleransi dan demokrasi. Tidak mungkin kita membangun toleransi tanpa adanya keadilan ekonomi. Tidak mungkin pula semua ini terlaksana kalau korupsi masih terjadi,” terangnya.
Di sisi lain, Okky juga menyayangkan persekusi yang masih dilakukan oleh aparat negara. Menurutnya, ketika polisi mendatangi masyarakat sipil untuk mengintimidasi atau menakut-nakuti, ini seolah-olah sah, padahal sebenarnya adalah bentuk persekusi oleh negara. Berkaitan dengan toleransi, Okky mencontohkan kasus penembakan oleh aparat di kilometer 50.
“Jangan sampai atas nama toleransi, toleransi malah dijadikan tameng. Katakanlah kasus penembakan di KM 50. Negara tidak bisa menjadikan ini sebagai alasan bahwa korban adalah kelompok yang mengancam toleransi dan demokrasi kita. Termasuk juga upaya memperlemah KPK dengan tuduhan disusupi Taliban. Ini namanya memakai tameng toleransi,” ujarnya.
Acara ini dihadiri oleh sekitar 200 peserta dari berbagai elemen, seperti mahasiswa hingga jejaring lembaga. Diskusi dalam rangka Haul Gus Dur ke-14 ini juga disiarkan secara langsung melalui akun Youtube GUSDURian TV.