Siapa pun Pemimpinnya, Ia Harus Memahami Isu Perempuan

Menjelang pemilihan umum, tentu bermacam bentuk kampanye dilakukan demi menarik suara. Para calon dari berbagai macam latar belakang mulai bermunculan. Sederet nama hadir mulai dari yang telah dikenal oleh khalayak umum maupun yang tak dikenal sama sekali sebelumnya. Dari munculnya beberapa calon ini, akhirnya membuat warga harus benar-benar mempertimbangkan siapa yang akan dipilihnya nanti.

Berbagai macam cara dilakukan agar para kontestan politik ini mendapatkan suara. Mulai dari memasang banner di jalanan dengan memaku di pohon, lempar kaos dari dalam mobil dengan posisi mobil terus berjalan, mengunjungi rumah warga sembari memberi bingkisan, melalui ceramah-ceramah keagamaan atau bahkan hanya sekadar berlalu-lalang di media sosial memanfaatkan modernitas zaman.

Makin hari makin bermacam model kampanyenya. Laki-laki dan perempuan mulai berkontestasi bersaing agar menang. Rupanya ketika telah kehilangan cara untuk menunjukkan keahlian, persaingan beralih pada bagaimana menjatuhkan kubu lawan. Hal yang mungkin bisa kita lihat nyata adalah bagaimana calon pasangan presiden dan wakil presiden saling beradu argumen pada hal-hal yang tak sepatutnya diperadukan.

Boro-boro ngobrolin pemimpin tingkat nasional, terkadang kita saja masih lupa menyentuh isu tersebut di kalangan yang jauh lebih kecil. Saya memiliki pengalaman mengikuti organisasi di lingkup daerah. Saya mengikuti prosesnya sejak awal pembentukan organisasi. Pada saat itu dilakukan pemilihan ketua dengan sistem musyawarah, ditunjuk, dan kemudian ditanya siap atau tidaknya. Yang pertama kali ditunjuk adalah laki-laki. Ia langsung mengutarakan bahwa dirinya siap sementara kawan lainnya turut menyatakan setuju kepada yang ditunjuk itu. Akhirnya si laki-laki itulah yang menjadi ketua.

Beberapa bulan setelahnya, ternyata ia sering absen ketika pertemuan organisasi. Kadang memberi kabar, kadang juga menghilang tak bisa dihubungi. Bahkan sampai di pertemuan-pertemuan penting. Di sisi lain, beberapa sosok perempuan selalu hadir menunjukkan kontribusinya. Sosok perempuan ini juga tak kalah dari segi pemikiran, kepemimpinan, dan keberanian bersuara.

Singkat cerita, forum pertemuan berikutnya diputuskan untuk memilih ketua baru karena ketua yang terpilih pada saat itu dianggap telah mengundurkan diri perlahan karena meninggalkan banyak forum penting tanpa konfirmasi dan sering menghilang tanpa kabar. Walhasil dipilihlah ketua baru dengan sistem yang sama, –tunjuk, siap, setuju, jadi. lagi-lagi yang ditunjuk pertama adalah laki-laki. Ia mengatakan siap. Namun berbeda dengan forum pemilihan ketua sebelumnya, kali ini sesosok perempuan berani menanyakan, “Mengapa tidak yang perempuan saja? Toh sudah bisa kita lihat keaktifan dan kontribusinya dari kalangan perempuan di kelompok ini.”

Akhirnya entah mengapa hampir seluruh sosok perempuan di forum itu memberi feedback dengan mengatakan bahwa dirinya tidak berani. Ada pula yang mengatakan tidak siap karena harus mengurus anak di rumah, ada juga yang katanya tidak diberi izin oleh suaminya menjadi ketua organisasi.Satu yang menarik adalah, si pemimpin forum ini mengatakan, “Jangan perempuan. Karena nanti ia tidak akan didengar. Dan juga rawan kalau menghadiri kegiatan hingga larut malam.”

Jawaban itu yang sebenarnya sudah jelas menggambarkan bahwa lingkungan kita sangat tidak ramah dengan sosok perempuan. dua hal yang seakan terlihat sepele, “tidak didengar” dan “rawan celaka” namun berimbas luar biasa untuk jangka panjang. Posisi-posisi strategis kemudian absen oleh sosok perempuan. Walhasil keputusan yang dihasilkan pun mengesampingkan kebutuhan perempuan.

Itulah mengapa siapa pun pemimpinnya, ia haruslah memahami isu perempuan. Bahwa dalam sistem demokrasi, isu perempuan tetaplah harus diselesaikan, karena hal tersebut juga merupakan isu kemanusiaan. Masyarakat haruslah mampu memilih pemimpin bangsa yang betul-betul mampu menyelesaikan masalah bangsa, terutama terkait isu-isu perempuan dan anak, serta isu gender.

Lalu bagaimana dengan porsi 30% untuk perempuan dalam parlemen? Ya, mungkin itu juga bisa dikatakan sebagai cara agar panggung demokrasi dapat diisi oleh perempuan. Namun bukan berarti berhenti di situ saja. Kita juga harus memaksimalkan bagaimana keberadaan perempuan dalam kuota 30% itu. Apakah benar sudah didengar penuh suaranya dan dipertimbangkan matang-matang pemikirannya? Atau malah keberadaannya hanya sekadar agar terlihat telah peduli terhadap perempuan?

Pentingnya peningkatan partisipasi perempuan adalah agar pengambilan keputusan politik lebih akomodatif dan substansial. Selain itu, pemimpin juga harus menguatkan demokrasi yang senantiasa memberikan gagasan terkait perundang-undangan pro-perempuan dan anak di ruang publik. Rendahnya angka keterwakilan perempuan di parlemen sedikit-banyak berpengaruh terhadap isu kebijakan terkait kesetaraan gender yang sampai saat ini belum mampu merespons berbagai macam masalah yang dihadapi oleh perempuan. Dalam masa periode 2019-2024 saja, hanya 120 orang perempuan yang mampu menduduki kursi DPR RI dari total 560 orang. Angka yang tidak mencapai 30%.

Sementara, ketika dipertanyakan mengapa perempuan di bangku parlemen bahkan tidak mencapai 30%, dijawab dengan alasan bahwa laki-laki lebih berpengalaman dan memiliki track record bagus daripada perempuan. Kalau yang dilihat adalah track record-nya sementara kesempatan tidak pernah diberikan kepada perempuan, lalu bagaimana perempuan bisa memiliki track record yang dimaksud?

Lebih dari perkara “berapa banyaknya sosok perempuan yang dilibatkan”, yang lebih bahaya adalah “bagaimana pola pikirnya”. Kita hidup beratus tahun dalam rahim androsentrisme, praktik –yang secara sadar atau tidak– menempatkan sudut pandang maskulin sebagai pusat pandangan dunia, budaya, dan sejarah seseorang, sehingga secara budaya meminggirkan feminitas.

Tak jarang kita menemui sosok perempuan yang menjatuhkan kawan perempuannya sendiri atau sosok perempuan yang selalu mengunggulkan laki-laki, lebih-lebih perempuan tersebut melanggengkan konstruk-konstruk sosial yang memarginalkan perempuan. Victim blaming terhadap perempuan korban, proses hukum yang menggantung, penanganan psikologi yang harganya melambung tinggi, UU TPKS, Permendikbudristek 30, PMA 73 2002, yang difitnah tidak sesuai syariat hingga melegalkan zina.

Selama penegakan hukum berjalan dan persamaan perlakuan di muka undang-undang dilaksanakan serta kemerdekaan pers ditegakkan, selama itu pula kita tetap demokratis, begitulah kata Gus Dur.

Penggerak Komunitas GUSDURian Mojokerto, Jawa Timur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *