Target pemerintah Indonesia untuk menjadi salah satu negara maju di tahun 2045 tentu bukan hal yang remeh-temeh, mengingat tantangan globalisasi yang semakin maju ditandai dengan perkembangan pasar dunia sudah mulai merambah pada bidang digitalisasi. Mengapa digitalisasi menjadi topik yang santer dibicarakan? Hal ini bukan tanpa alasan, sebab perkembangan teknologi niscaya akan terus bergerak maju mencapai potensi terbaiknya dalam melayani kebutuhan hak-hak komunal, terbukti pada berbagai aspek kehidupan hari ini yang mulai serba-teknologi.
Lantas bagaimana peluang Indonesia bersaing di kancah global? Apakah bonus demografi kita akan mampu menjawab tantangan itu? Berdasarkan data Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), jumlah penduduk Indonesia di tahun 2022 mencapai 275 juta lebih jiwa. Jumlah ini akan berpotensi bertambah mengingat angka kelahiran terus bergerak. Hal yang patut dicatat adalah sebanyak 69,3% penduduk Indonesia adalah usia produktif yang tentunya harus disiapkan dengan matang oleh pemerintah dengan public policy yang baik.
Tantangan pertama, menurut penulis, yang mesti dituntaskan oleh pemerintah yakni angka kesenjangan ekonomi yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, khususnya mungkin Papua. Pemilu 2024 akan menjadi salah satu momentum yang akan menentukan arah kebijakan negara terutama pada capres-cawapres yang harus mampu memanfaatkan SDM anak muda ini untuk mencapai target 2045 nantinya.
Hasil riset katadata.co tahun 2023 menunjukkan usia remaja hingga pemuda mendominasi struktur penduduk miskin di Indonesia, sehingga ini menjadi PR besar bagi pemerintah. Pemilu 2024 yang didominasi oleh generasi milenial dan Gen-Z tentu akan menjadi lahan empuk bagi para peserta pemilu, khususnya potensi money politic. Kurang pahamnya politik pada anak-anak muda menjadikan mereka sangat rentan untuk dimanfaatkan, sehingga mereka akan terbawa pada kontestasi “dagang sapi”, dalam artian bagaimana anak muda ini mampu memenuhi taraf hidup yang baik melalui pendekatan politik pragmatis.
Penguatan demokrasi harus matang dari akar rumputnya dan harus mampu menemukan identitas terbaiknya, sebab sejak merdeka tahun 1945 negara ini masih mencari identitas yang cocok untuk menggambarkan demokrasinya. Demokrasi yang diajarkan oleh Gus Dur sejatinya bukanlah demokrasi yang melulu soal keberanian yang ujungnya melahirkan gertakan pada rakyat, sehingga yang muncul adalah rasa ketakutan sebagaimana yang dilakukan oleh Orde Baru.
Demokrasi yang baik adalah yang mampu merangkum ragam jenis perbedaan, baik dari sisi budaya, pandangan politik, agama, suku, bahasa, dan sebagainya. Penguatan demokrasi harus membaur dengan kebijaksanaan yang menyentuh lapisan dasar kenegaraan, yakni rakyat. Pemilu tahun 2024 yang nantinya diikuti oleh 18 partai politik tentu punya pandangan politik yang berbeda-beda terhadap pembangunan bangsa ini, namun dalam hal perwujudan legitimasi rakyat direct democration harus sama di mata hukum terlepas mereka dukung-mendukung apa dan siapa, sebab kesatuan negara adalah kehendak undang-undang dan falsafah negara, yakni Pancasila.
Keberadaan pemuda yang mendominasi tentu harus cerdas dalam menyikapi dinamika politik dan tentunya harus dibarengi oleh kesadaran diri masing-masing individu, baik itu dalam hal kontestasi pemilu maupun dalam hal pelaksanaan ketatanegaraan. Pemuda sebagai kelompok middle class tentu harus mengambil peran strategis bukan hanya dalam hal pemilu, tetapi bagaimana mengawal apa yang telah menjadi kehendak rakyat lewat amanat undang-undang yang dilaksanakan oleh para politisi.
Demokrasi bukan hanya soal pemilu, tetapi juga tentang pelayanan publik yang terjangkau dan inklusif, pemerataan ekonomi, pendidikan gratis, kesehatan gratis, khususnya mungkin bagi rakyat ekonomi menengah ke bawah. Dan hal ini kontrol terbaiknya adalah para pemuda, agar kekuasaan dapat terus berjalan sesuai regulasi yang ada.
Penguatan demokrasi harus terus digaungkan oleh para kaum muda. Pendidikan politik tidak hanya berhenti pada tataran partai politik, tetapi setiap leading sector terkait harus mengambil peran, utamanya adalah instansi pendidikan, mulai dari tingkatan bawah hingga tingkatan perguruan tinggi. Kesetaraan dalam demokrasi adalah hal yang mutlak dan ini telah dilegitimasi oleh Pancasila sebagai staat fundamental norm negara kita, sehingga dalam setiap peristiwa demokrasi harus mengandung lima nilai dasar negara agar keadilan dan perdamaian dapat tercapai.
Menyentuh lapisan paling dasar demokrasi adalah penting, sebab penyangga demokrasi adalah rakyat. Pemuda harus mampu menjadi penyeimbang, baik berada dalam kultur maupun super-struktur sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Gus Dur. Apa yang telah diwariskan oleh Presiden ke-4 RI ini, meminjam kata Abi S Nugroho, adalah “Demokrasi Gus Dur ibarat melodi yang membahana, menyentuh setiap lapisan jiwa masyarakat”. Mari kita tegakkan demokrasi yang adem untuk Indonesia yang lebih baik.