KABUPATEN GORONTALO – Komunitas GUSDURian Kabupaten Gorontalo bersama Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gorontalo (FISIPOL UNIGO) menggelar Forum Demokrasi: Ngobrol Pemilu dengan mengusung tema “Menciptakan Ruang Publik Kritis, Membendung Narasi Kampanye Hitam, Politik Uang dan Politik Identitas” di Foodbus Universitas Gorontalo pada Kamis (18/1/2024).
Diskusi ini menghadirkan empat narasumber, yaitu Suaib Napir, S.Ip., M.Si selaku Kaprodi Ilmu Pemerintahan Universitas Gorontalo, Eka Putra B Santoso, M. Sos selaku Akademisi Politik IAIN Gorontalo, Dr. Lismawy Ibrahim, S.Pd., M.Pd selaku Komisioner Bawaslu Provinsi Gorontalo, dan Kusmawaty Matara, M.A selaku WIRE Gorontalo. Forum Demokrasi ini diikuti oleh organisasi mahasiswa, organisasi lintas iman, dan akademisi.
Sejak dimulainya masa kampanye yang berlangsung 28 November 2023 sampai 10 Februari 2024, membuat partai politik, Calon Legislatif (Caleg) dan kelompok tertentu gencar melakukan hal yang memengaruhi khalayak umum yang akan menggiring pada adanya politik uang dan politik identitas. Hal ini kemudian direspons melalui Forum Demokrasi. Forum ini merupakan bagian dari Gardu Pemilu yang dibentuk oleh GUSDURian yang merupakan amanat rapat kerja nasional Tahun 2024 di Depok Jawa Barat sebagai upaya pengawalan demokrasi dengan menciptakan pemilu jujur, adil, damai, dan bermartabat.
Dalam pemaparannya, Suaib Napir menjelaskan bahwa jika sistem pemilu masih ada politik uang, pasti demokrasi akan terus dikorupsi. Ia juga turut menyampaikan soal penganggaran partai politik harus diatur dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
“Kita harus melihat negara maju, bahwa sistem keuangan partai politik itu diatur dalam APBN, itu salah satu cara yang hari ini diwacanakan untuk diatur, sehingga sistem keuangan partai politik tidak lagi dikorupsi. Dalam pemilu, 70 persen yang menjadi persoalan adalah politik uang. Maka kalau kita bicara soal politik uang itu tidak cukup soal pendidikan politik. Tidak mungkin Bawaslu, KPU yang hanya 5 orang, 800 rb pemilih di provinsi Gorontalo bisa dilakukan,” terang Suaib.
Kata Suaib, perdebatan politik uang yang terus dibahas, menurutnya, keterlibatan partai politik dalam mencegah praktik politik uang sangat dibutuhkan. Peran dari Bawaslu pun bagi Suaib harus mempunyai integritas dalam menangani kasus-kasus politik uang.
“Berdebat soal politik uang, tidak akan selesai. Karena masih ada partai-partai politik yang tidak menjalankan perannya menjaga politik uang sebagai bentuk pelanggaran dalam demokrasi, karena pelaku adalah aktor ketika pemilu terjadi. Bawaslu harus berani mengambil keputusan. Pada pemilu tahun ini, persoalan dinamika terkait dengan pengawasan pemilu, integritas Bawaslu itu kan dipertanyakan. Seluruh temuan-temuannya hanya sekadar rekomendasi, yang kemudian ia tidak mampu mengambil keputusan. Tahun 2024 para pegiat demokrasi mendorong sehingga kewenangan itu diperkuat, kalau boleh seperti polisi, setiap ada pelanggaran itu hukumnya ada di Bawaslu,” tegas Suaib.
Lebih lanjut, Suaib juga menyinggung soal peran kampus yang seharusnya menjadi ruang produktivitas untuk mengedukasi persoalan politik dan demokrasi.
“Coba bayangkan aktivis banyak yang berpolitik praktis, banyak yang berafiliasi dengan partai politik, hampir tidak ada lagi yang netral. Kampus menjadi tempat dan ruang untuk mengingatkan terkait persoalan demokrasi hari ini. Tapi kan semua bicaranya hanya ke 1, 2, 3 terus nilai untuk negara apa?” tanya Suaib dalam paparannya.
Di sisi lain, Eka B Santoso kembali mengulas hasil Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2019, yakni permasalahan tertinggi adalah politik uang. Hal ini pun mempunyai kesamaan dengan tema yang diusung oleh GUSDURian Kabupaten Gorontalo.
Eka menjelaskan, dalam konstruksi demokrasi, pemilih dibagi menjadi tiga, yaitu pemilih yang rasional. Itu ada di kalangan kelas menengah, kalangan kampus. Kedua pemilih yang sifatnya sangat psikologis seperti kader partai politik. Dan terakhir, pemilih pragmatis bahkan oportunistik.
Ia juga mengulas hasil Centre for Strategic and International Studies (CSIS), soal pemilih muda yang menyikapi pemberian-pemberian saat kampanye.
“Produk daripada politik identitas dan uang, itu menyasar pada klasifikasi pemilih itu. Yang sangat disayangkan misalnya dalam perspektif data, 23 persen pemilih muda kita masih permisif dengan pemberian saat kampanye. Itu hasil CSIS, bisa teman-teman unduh itu riset paling baru terkait posisi pemilih dan klasifikasi pemilih, juga bagaimana model daripada pemilih,” papar Eka pada Forum Diskusi.
Terkait politik identitas, Eka menjelaskan bahwa positivistik politik identitas terjadi pada social movement, bukan dalam perspektif mencari perbedaan dan dijadikan satu pilihan rasional dalam memilih suatu pemimpin.
“Dalam konteks politik identitas dalam struktur data yang ada, sebenarnya politik identitas itu dilihat secara teoritis. Misalnya dalam awal kemerdekaan itu positif, karena kita dibangun dalam sebuah semangat kebersamaan terjajah oleh suatu bangsa. Juga misalnya di Amerika mengidentifikasi politiknya karena dia punya satu kesamaan warna kulit yang terdiskriminasi oleh negara. Walaupun dalam konteks struktur manusia, identitas itu bekerja dalam ruang-ruang yang sangat privat,” terangnya.
Lismawy Ibrahim, sebagai narasumber ketiga, mengakui bahwa politik uang sering terjadi di setiap menjelang pemilu. Menurutnya, politik uang mencederai proses berjalannya demokrasi di Indonesia. Terlebih pada Pemilu 2024, terdapat pemilihan DPR, DPD, dan presiden, jelas akan muncul berbagai macam strategi yang akan dilakukan oleh peserta pemilu untuk memengaruhi pemilih.
“Nah sekarang sudah masuk kampanye. Tidak lama lagi kita akan masuk pada tanggal 14 Februari. Tentunya waktu yang semakin dekat ini segala strategi akan dilakukan untuk memengaruhi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Yang menjadi tugas penting adalah bagaimana mengedukasi kaum muda untuk menjadi pemilih yang cerdas. Artinya tanpa ada iming-iming dan rayuan dengan sesuatu. Dan mencegah maraknya politik uang,” ungkap Lismawy.
Selaku Komisioner Bawaslu, Lismawy menyampaikan urgensi dari partisipasi mahasiswa dan masyarakat. Hal yang dimaksud adalah kesadaran untuk sama-sama mengawasi pemilu. Hal ini sangat dibutuhkan untuk menjaga kestabilan situasi pemilu.
“Proses demokrasi sangat krusial, tentu sangat membutuhkan peran mahasiswa untuk berpartisipasi menjadi pemilih dan juga pengawas,” pinta Lismawy.
Lismawy juga menyampaikan perlunya edukasi kepada pemilih pemula untuk menggunakan hak pilihnya secara bebas dan cerdas, tanpa ada pengaruh politik uang.
“Pemilih terbanyak ini adalah generasi Z. Nah mereka ini adalah usia yang baru akan menggunakan hak politiknya, tentunya ini salah satu sasaran. Ini perlu kita berikan edukasi kepada masyarakat dan kaum muda untuk bisa mengaktualisasikan dirinya pada proses-proses demokrasi,” kata Lismawy.
Selain masalah politik uang dan politik identitas, narasumber keempat Kusmawaty Matara mengaitkan pembahasan persoalan yang dialami perempuan. Menurutnya, masalah politik uang sangat beririsan dengan perempuan. Berdasarkan observasinya bersama WIRE Gorontalo, perempuan mudah terpengaruh dengan politik uang.
“Irisannya adalah pada ketahan ekonomi lemah. Kalau observasi yang kami lakukan bagi perempuan, ketika sudah diimingi akan dapat satu paket, pasti mau. Dan ini menurut saya, literasi berpolitik dan pemilu bagi perempuan itu harus dikuatkan,” kata Kusmawaty.
Ia juga mengatakan, secara kelembagaan (WIRE-G) fokus pada memengaruhi kebijakan pemerintah, baik di tingkat desa/kabupaten/provinsi. Kemudian isu-isu rencana penganggaran responsif gender itu harus terintegrasi dalam kebijakan dan keuangan di desa.
“Yang dimaksud, desa bisa memberikan program yang berperspektif pada kebutuhan dan keberpihakan pada perempuan. Pemilu harusnya menjadi angin segar bagi perempuan, karena kami akan melihat pemimpin yang mampu berjuang bersama kami (perempuan). Jadi memang literasi itu sangat perlu, sehingga yang kita diskusikan soal politik uang bisa terhindarkan,” jelasnya.
“Yang paling penting adalah kita sebagai perempuan menggunakan hak suara kita untuk memilih siapa yang ingin dipilih tanpa terikat dari politik uang,” sambungnya.