Sesepuh

Mengawali tahun 2024, hari-hari saya diisi dengan berkah mulia melayani para sesepuh bangsa yang sedang bergeliat dan saling menyambung diri. Para tokoh bangsa ini masih berkhidmat bagi bangsa dalam berbagai bentuk, walaupun tak lagi terikat pada kerja-kerja profesional. Ini mengingatkan saya pada ucapan Stan Shih, pendiri Acer Computer: I retired from my work, but I never retire from my community–saya memang pensiun dari pekerjaan, tetapi saya tidak pernah pensiun dari komunitas saya.

Tokoh-tokoh bangsa ini telah mengalami pasang surut perjalanan bangsa, mengikuti silih bergantinya pemimpin bangsa, bahkan menjadi pelaku perubahan pada masanya. Beberapa tokoh lahir sebelum atau di masa awal kemerdekaan Republik Indonesia dan menjadi saksi sejarah pertumbuhan Republik ini. Investasi pribadi mereka bagi bangsa ini sangat besar dan karenanya terpanggil untuk ikut merawat investasi ini, terutama di masa-masa genting.

Saat ini, mereka tengah mengalami kegelisahan senada tentang keadaan bangsa yang sedang tidak baik-baik saja. Para sesepuh ini kemudian bersepakat untuk berhimpun dalam sebuah gerakan yang dinamai Gerakan Nurani Bangsa, yang menyiratkan idealisme yang mereka usung.

Gerakan ini dimulai dari Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Profesor Quraish Shihab, Kardinal Suharyo, Profesor Amin Abdullah, Kyai Mustofa Bisri, Romo Franz Magnis-Suseno, Karlina Supelli dan Lukman Hakim Saifuddin. Dan saat ini, gerakan pun meluas dengan keterlibatan Pendeta Gomar Gultom, Erry Riyana Hardjapamekas, Ibu Omi Nurcholis Madjid, Makarim Wibisono, Komarudin Hidayat, Pendeta Jacky Manuputty, dan Bhante Pannavaro serta banyak tokoh lainnya. Saya beruntung mendapat tugas menjadi tenaga teknis bersama beberapa teman muda.

Para tokoh pemrakarsa Gerakan Nurani Bangsa (GNB) adalah figur-figur yang memiliki rekam jejak solid dalam gerakan kebangsaan. Mereka bukan tokoh partisan dan konsisten menyuarakan semangat kebangsaan dalam khidmat mereka selama ini.

GNB diniatkan menjadi gerakan etis dan moral bangsa untuk memastikan perjalanan sejarah bangsa tetap mengacu pada cita-cita kemerdekaan, yaitu rakyat adil makmur sentosa dan bertumpu pada nilai-nilai luhur yang menjadi pijakan nuraninya. Para sesepuh ini meyakini upaya mewujudkan cita-cita tersebut mensyaratkan kepemimpinan bangsa yang mampu menjalankan amanah untuk menegakkan keadilan dan mewujudkan kemaslahatan bangsa.

Mereka menolak menjadikan kerangka di atas hanya sekadar jargon belaka karena mengabaikan landasan filosofis inilah yang menyebabkan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) merajalela, ketimpangan semakin besar, dan kualitas kehidupan warga bangsa tidak kunjung mencapai tingkat yang memuaskan. Karena itu, mereka memilih Nurani Bangsa sebagai nama gerakan.

Bagi para sesepuh ini, nurani bangsa menandai seperangkat nilai luhur yang akan memberi panduan berpikir, bersikap, dan bertindak secara kolektif sebagai bangsa, yaitu Pancasila. Menurut mereka, hukum dan regulasi tidak cukup untuk mengatur kehidupan bersama. Etika moral seharusnya menjadi kerangka yang lebih penting untuk melandasi hukum dan aturan yang dibuat. Bila tidak, hukum dan aturan akan menjadi instrumen belaka dari penguasa.

Dan sebagaimana kita saksikan akhir-akhir ini, hukum dan aturan bahkan dijadikan sebagai justifikasi untuk tindakan yang melanggar etika moral bangsa. Berbekal pandangan ”tidak melanggar hukum”, maka berbagai pelanggaran etika moral pun terjadi dalam Pemilu 2024. Dimulai dari tragedi Mahkamah Konstitusi, persoalan etika muncul beruntun dalam konflik kepentingan antara Presiden yang sedang berkuasa dan putranya yang menjadi cawapres, dalam indikasi netralitas penyelenggara negara dan dalam pemanfaatan sumber daya negara untuk kepentingan kontestasi.

Proses transisi kepemimpinan bangsa yang menuai banyak protes inilah yang membuat para sesepuh bangsa gelisah dan mengambil langkah strategis melalui GNB. Mereka ingin memastikan bahwa Pemilu 2024 berjalan dengan adil dan bermartabat sehingga menghasilkan pemimpin bangsa yang memiliki legitimasi.

Mereka secara sadar mengambil kepemimpinan gerakan kebangsaan ini sebagaimana peran para tetua dalam masyarakat adat, yaitu sebagai figur dengan amanat menjadi agen pelestari nilai-nilai luhur masyarakat, penjahit kerukunan masyarakat, dan pengawal tercapainya cita-cita bersama. Melalui GNB, mereka mendorong generasi yang lebih muda untuk terlibat dan diasah untuk menjalankan tugas-tugas tersebut.

GNB berencana mengajak para sesepuh bangsa seperti Presiden dan Wapres, mantan presiden-wapres, tokoh bangsa nasional dan lokal, serta para pemangku kepentingan utama seperti KPU, Bawaslu, Polri, dan TNI serta Mahkamah Konstitusi untuk kembali menjadikan nurani bangsa sebagai panduan utama untuk mengelola proses transisi kepemimpinan bangsa ini.

Indonesia beruntung karena memiliki para sesepuh yang berkomitmen tinggi untuk menjaga bangsa, bahkan bersedia untuk bekerja keras di masa mereka tak lagi memiliki keleluasaan fisik. Ini sesuatu yang langka di negara-negara modern.

Saya jadi teringat pada ujaran Kiai Soleh dari Pondok Pesantren Ngalah Pasuruan tentang peran generasi: yang tua sila, yang muda silat. Wajarnya, yang telah sepuh sudah tidak lagi aktif bergerak ke sana kemari, tetapi duduk tenang dan memusatkan energinya dalam proses mewariskan kearifannya kepada generasi penerusnya. Wajarnya, amanah mengelola kehidupan bersama jatuh ke pundak kaum muda yang penuh elan perjuangan, dengan kantung energi kinetik yang besar untuk bersilat.

Maka ketika para sesepuh ini memutuskan untuk turun gelanggang dan kembali bersilat, kita sadar bahwa keadaan bangsa ini sudah tidak lagi wajar. Akankah kita sia-siakan peringatan dan pelajaran dari para sesepuh kita?

_______________

Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 21 Januari 2024

Koordinator Jaringan GUSDURian Nasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *