Gus Dur adalah tokoh unik yang dapat menjadi ‘bahan analisis’ karena banyak faktor pada dirinya. Salah satunya karena ia merupakan individu yang memiliki kapasitas intelektual tinggi dan ketajaman kecerdasan. Bahkan sering kali Gus Dur melampaui batasan pemikiran dan tindakan orang pada umumnya.
Selain itu, Gus Dur memiliki keberanian menghadapi resiko dari suatu kontroversi dan memiliki keahlian untuk memecahkan kesulitan yang dihadapi. Bahkan dalam situasi diskusi yang panas, Gus Dur sering menyelesaikan masalah dengan humor khasnya.
Meskipun mayoritas orang menyarankan agar Gus Dur berhati-hati dalam menyampaikan pendapat, Gus Dur tetap menjawab dengan yakin dan santai bahwa “Kami punya banyak bukti untuk menangkap mereka”.
Oleh sebab itu beberapa kiai lebih memilih untuk diam dan menghindar ketimbang menghadapi pernyataan Gus Dur. Mereka beralasan bahwa menanggapi hal yang di luar kemampuan mereka akan sangat tidak berguna. Termasuk pada pernyataan Gus Dur.
Sebagian kiai memberi pandangan bahwa pernyataan Gus Dur sering menyebabkan perdebatan politik. Menurut Kusumaatmadja, kebijakan Gus Dur sulit dipahami oleh orang umum. Sedangkan menurut Gus Im atau Hasyim Wahid, “Gus Dur itu kalau mau ngerem gak ngomong, kalo mau belok gak ngasih lampu sein, tapi entah kenapa di sini menariknya dia selalu betul akhirnya”.
Dikutip dari buku Ajaran-Ajaran Gus Dur, Syarah Sembilan Nilai Utama Gus Dur (2019) karya Nur Kholik Ridwan, untuk memahami sosok Gus Dur tidak mungkin dilakukan tanpa melihatnya sebagai sebuah proses yang bergerak. Sosok Gus Dur tidak dapat digambarkan secara langsung atau seketika.
Gus Dur dan pemikirannya adalah sebuah proses dialektika yang terus menerus dan dinamis. Bersamaan hal itu, kedalaman spiritual Gus Dur tercermin saat ia melakukan tindakan kritis, mampu menyatukan dan mengkritik, serta mengatur gerakan pembangunan masyarakat. Gus Dur terus melakukan mujahadah dalam pergerakan sosial sepanjang hayatnya.
Pandangan Para Kiai pada Sikap Politik Gus Dur
Dalam buku Perilaku Politik Kiai, Pandangan Kiai dalam Konspirasi Politik Era Gus Dur (2012), Zulfi Mubaraq menyebut beberapa orientasi kegiatan interpretasi politik para kiai yang sangat menonjol pada saat turunnya Gus Dur dari jabatan presiden dibagi menjadi beberapa kategori berikut.
Pertama, golongan kiai simpatik yang terdiri dari para pengasuh pondok pesantren. Mereka memiliki rasa simpati yang begitu tinggi pada Gus Dur. Mereka juga memfokuskan diri pada persoalan politik secara umum dan melakukan pembelaan pada Gus Dur dengan cara tertentu.
Kedua, golongan kiai moderat yang terdiri dari para pengasuh pondok pesantren yang aktif mengurusi para santri dan jamaahnya. Golongan kiai ini cenderung tidak mempersoalkan masalah yang dihadapi masyarakat, bahkan mereka tidak acuh terhadap organisasi, politik, dan kekuasaan. Mereka memfokuskan diri pada eksistensi Gus Dur sebagai seorang presiden.
Ketiga, golongan kiai antipati yang terdiri dari para pengasuh pondok pesantren yang mempunyai rasa antipati begitu mendalam. Mereka menekankan perhatiannya pada persoalan politik pada umumnya. Mereka pun tidak berupaya melakukan pembelaan khusus terhadap Gus Dur.
Sedangkan dari sudut pandang kalangan akademisi, baik dalam maupun luar negeri, sikap kiai pada politik dapat dikategorikan menjadi beberapa hal. Clifford Geertz menyatakan kontribusi para kiai dan ulama pada gerakan politik cukup minim, bersamaan dengan pandangan Deliar Noer yang menyatakan bahwa gerakan politik banyak di kalangan masyarakat adat dan priyayi.
Sedangkan Gordon menilai bahwa kelompok elite agama bersikap sangat pasif saat menentang penjajah. Mereka lebih memilih tinggal di pesantren untuk mengembangkan tarekat. Hal ini berbeda dengan pandangan Horikoshi dan Dhofier yang menyatakan bahwa para kiai mempunyai peran yang cukup signifikan pada dunia politik.
Dirdjosanjoto dan Suprapto berpandangan bahwa kiai mempunyai peran ganda sebagai seorang tokoh agama sekaligus tokoh politik. Terdapat pandangan lain yang menyatakan bahwa kiai semakin terpinggirkan. Akan tetapi hasil penelitian Suprapto menunjukkan bahwa posisi kiai di masyarakat masih sangat krusial.
Mansur saat melakukan penelitian di Madura mengklasifikasikan kiai menjadi tiga kategori: Kiai konservatif, adaptif, dan progresif. Sementara Dirjoto yang berada di daerah Muria mengklasifikasikan kiai menjadi beberapa kategori yaitu yang ada di langgar, pesantren, dan tarekat. Sedangkan di Jombang, Turmudi mengkategorikan kiai ke dalam pesantren, tarekat, politik, dan panggung.
Etika Politik ala Gus Dur
Dikutip dari artikel www.nu.or.id yang berjudul “Menghidupkan Etika Politik Gus Dur”, penulis memandang masalah utama pada politik di Indonesia hari ini yaitu berkurangnya etika dalam hal tata pola negara. Kebijakan yang seharusnya berfokus pada menciptakan kesejahteraan yang merata untuk seluruh masyarakat, malah terdistorsi oleh ambisi buta untuk memenuhi kepentingan golongan tertentu.
Standar nilai etika saat ini makin terkikis oleh pemerintah dalam pelaksanaan tugasnya. Sehingga sangat urgent untuk menitikberatkan eksistensi etika itu sendiri. Gus Dur adalah tokoh yang sangat peduli pada etika ini. Meskipun diketahui bahwa pemikiran Gus Dur banyak mendapat pengaruh dari keadaan sosial-politik di zamannya, akan tetapi konsep etika politik Gus Dur masih relevan untuk diimplementasikan saat ini.
Prinsip pertama dalam pemikiran Gus Dur tentang etika politik adalah keadilan untuk kesejahteraan bersama. Dikutip dari buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2006), Gus Dur menyebut bahwa keadilan merupakan ajaran fundamental dalam agama Islam, baik pada konteks keadilan untuk individu atau keadilan untuk kolektif.
Prinsip kedua adalah amanah. Manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi bertanggung jawab sebagai pengelola dunia yang diberikan oleh Tuhan. Tuhan memberi kebebasan untuk manusia dalam berkreativitas untuk menjaga keberlangsungan kehidupan dan harus senantiasa mengikuti pedoman Tuhan. Kebebasan yang diberikan ini kelak harus dipertanggungjawabkan sesuai amal perbuatan.
Prinsip ketiga adalah lemah lembut dan antikekerasan. Dikutip dari jurnal Etika Gus Dur, Religius-Rasional (2018), Faizatun Khasanah menulis etika tersebut direfleksikan dalam kebijakan dan strategi Gus Dur saat menangani terorisme. Gus Dur fokus pada pokok permasalahan dan melakukan advokasi dan pencerahan menggunakan dialog antarumat beragama dan lintas budaya untuk mengatasi pemahaman yang salah pada ajaran agama Islam.