Konsekuensi

Ketika saya lulus SMP di tahun 1987, saya berkonsultasi kepada Bapak tentang SMA yang saya incar. Saya ingin masuk SMA Negeri 8 Jakarta yang saat itu menjadi sekolah favorit dan terkenal susah untuk dimasuki.

Saya galau karena SMA ini cukup jauh dari rumah kami di Jagakarsa, ujung selatan kota Jakarta. Artinya, untuk masuk pukul 7 pagi, saya harus berangkat selepas subuh dengan tiga kali ganti angkutan kota (angkot). Kalau dapat kelas siang, saya harus siap sampai rumah pukul 9 malam.

Alih-alih memberi pandangan alternatif yang menurutnya terbaik, Gus Dur hanya menjawab pendek bahwa setiap keputusan ada konsekuensinya. Percakapan pendek ini menatahkan prinsip konsekuensi dalam perjalanan kehidupan saya selanjutnya. Di belakang hari saya melengkapinya dengan pemahaman bahwa kadang kita ikut menanggung konsekuensi dari pilihan orang lain, dan sebaliknya, kadang pilihan kita menyebabkan orang lain ikut menanggung konsekuensi.

Prinsip aksi-reaksi barangkali adalah salah satu hukum fisika dasar sekaligus hukum kehidupan yang paling terkenal. Setiap aksi menghasilkan reaksi, lalu pada gilirannya, reaksi pertama menimbulkan reaksi berikutnya. Mahaguru System Thinking, Peter Senge, bahkan menggunakan prinsip ini untuk memahami sistem yang kompleks, dengan model reinforcing dan balancingfeedback loop untuk melihat hubungan antarfaktor atau elemen sistem.

Dengan lebih sederhana, Stephen Covey memperkenalkan prinsip The Other End of the Stick. Covey mengingatkan apabila kita mengangkat satu ujung tongkat cukup tinggi, maka ujung lainnya pasti akan ikut terangkat. Itulah konsekuensi. Kita bisa memilih akan mengangkat ujung pertama atau tidak, tapi kita tidak bisa memilih konsekuensinya.

Covey mengamati orang-orang dengan capaian di atas rata-rata akan selalu mengukur konsekuensi sebelum mengambil pilihan mengangkat ujung pertama tongkat. Ia memasukkan prinsip sebagai penanda sikap reaktif atau responsif. Orang yang responsif akan menyempatkan untuk mencerna konsekuensi apa yang akan muncul dari keputusannya. Sementara orang yang reaktif biasanya terjebak pada pilihan sesaat tanpa berpikir panjang.

Dalam konteks personal, pilihan reaktif atau responsif tampak tidak berpengaruh signifikan. Toh, dampak ditanggung sendiri, dan mungkin tidak berdampak besar pada orang lain. Menjadi berbeda bila kita bicara tentang kehidupan bersama. Keputusan yang diambil seorang pemimpin untuk organisasinya pasti akan berdampak pada keseluruhan organisasi. Keputusan orangtua akan berdampak kepada anak-anaknya, dan seterusnya.

Apalagi keputusan yang diambil oleh para pejabat publik dan birokrat, serta aktor politik; karena akan berdampak langsung pada kehidupan bersama bangsa ini. Walaupun mereka mengambil keputusan untuk diri sendiri, konsekuensinya diterima oleh seluruh rakyat.

Contoh konkret yang bisa kita lihat adalah pusaran uang amplop dan hadiah material bagi rakyat sepanjang Pemilu 2024. Kelompok masyarakat dengan nalar kritis menyuarakan kegelisahan atas perubahan sikap dan perilaku rakyat berkenaan dengan ekspektasi amplop dan materi. Beberapa saluran berita mewartakan bagaimana warga mengukur kampanye dan kehadiran para calon (peserta pemilu) dari seberapa besar uang yang diterimanya saat bertemu dengan sang calon atau timnya.

Sikap rakyat tidak datang ujug-ujug. Ada proses yang terjadi sebelumnya, di mana peserta pemilu mengejar dukungan dengan memberikan iming-iming imbalan dukungan. Tersesat dengan keinginan sesaat, para calon ini membagikan barang dan uang kepada rakyat. Mulai dari bazar murah sampai berkembang menjadi amplop tebal. Konyolnya, Undang-Undang Pemilu pun sudah dibuat sedemikian rupa sehingga akan kesulitan untuk menjerat politik uang sehingga kasus-kasus seperti saat seorang tokoh publik membagikan uang pun lolos dari proses.

Mereka tidak pernah memedulikan bahwa pilihan mereka pada akhirnya akan membunuh mereka sendiri, selain merusak moralitas bangsa. Konsekuensi yang tidak pernah mereka pikirkan, karena mereka hanya bertindak untuk kepentingan saat itu. Konsekuensinya, hari ini mereka pun menderita karena biaya kampanye yang begitu besar, itu pun tidak menjamin hasil sesuai tebaran dana. Entah dengan cara apa dan bagaimana kita akan bisa menyembuhkan rakyat dari budaya ini.

Demikian juga keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90 Tahun 2023 yang fenomenal dan mengubah lanskap kebangsaan Indonesia. Walaupun banyak pihak yang memberi justifikasi kepada keputusan ini, publik bernalar kritis secara gamblang melihat bahwa keputusan ini dibuat tanpa memperhatikan konsekuensi jangka panjang ataupun konsekuensi sistemik. Dalam sejarah Indonesia, keputusan ini akan dikenang sebagai salah satu titik terpenting kehidupan bangsa ketika cita-cita reformasi untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme digadaikan.

Begitu pun indikasi pemanfaatan bansos sebagai alat kampanye yang dikumandangkan dengan gagah oleh para menteri sekaligus politisi partai, sebagaimana kita lihat dalam berbagai video yang beredar. Kebijakan ini membuat anggaran program prioritas pemerintah juga harus disesuaikan. Namun, konsekuensinya pun baru muncul belakangan, yaitu beras menjadi lebih sulit didapatkan warga di pasar umum, yang memicu harga beras yang meroket.

Berbagai problem ini muncul dalam zona khas kejar target yang biasa disebut zona the rule is no rule alias halalkan segala cara, yang penting target bisa dicapai. Konsekuensialisme utilitarian-lah yang muncul, dengan mengabaikan konsekuensi sistemik untuk perjalanan hidup bangsa.

Konsekuensi. Urusan sederhana, tapi berdampak besar. Entah bagaimana kita akan mengajari para aktor bangsa ini untuk memahami prinsip ujung tongkat. Bahwa ujung tongkat yang mereka ambil tidak berada di tangan mereka, tetapi menjadi beban di punggung bangsa.


_______________

Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 3 Maret 2024

Koordinator Jaringan GUSDURian Nasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *