Kedai Tuli dan Hak Disabilitas di Indonesia

Dua bulan lalu, aku pernah mengunggah postingan di akun Instagramku @fhadju98 yang berjudul ‘Kedai Tuli (Disabilitas juga punya hak)’. Postingan ini menyuguhkan foto yang aku ambil pada momen sore hari di sebuah kedai yang bernama Kedai Tuli. Senyum cerah ceria para pelaku usaha yang mayoritas kaum disabilitas menghiasi jualan-jualan mereka.

“Mungkin ini adalah (kedai disabilitas) satu-satunya di Indonesia,” ucap Pembina Yayasan Putra Mandiri. Yayasan yang menaungi para penyandang disabilitas yang berjualan di pinggir Jalan Drs. H. Ahmad Arbie, Kecamatan Sipatana, Kota Gorontalo itu.

Aku tidak bisa serta merta membenarkan yang dikatakan Pak Raden Sahi, Pembina Yayasan Putra Mandiri Gorontalo. Namun, jika melihat realita yang ada, teman-teman kita yang disabilitas masih sangat jauh dari pemenuhan hak-hak mereka.

Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang menetapkan hak-hak penyandang disabilitas di antaranya; hak untuk hidup, bebas dari stigma, privasi, keadilan perlindungan hukum, pendidikan, pekerjaan, kesehatan dan lainnya. Namun kenyataannya tak seperti itu.

Di jalanan saja kita bisa lihat, Indonesia yang masih menjadi negara berkembang ini belum mengurus hal-hal seperti hak pejalan kaki, apalagi hak bagi disabilitas. Sering kali guiding block sebagai penunjuk jalan bagi penyandang disabilitas masih sangat minim ditemukan, bahkan di ibukota provinsi yang ada di Indonesia. Contohnya di Gorontalo. Daerah yang telah dewasa menjadi provinsi sejak tahun 2000 ini, masih belum memikirkan hak pejalan kaki, alih-alih penyandang disabilitas.

Aku sendiri masih sulit untuk berjalan kaki di jantung Kota Gorontalo. Fasilitas bagi pejalan kaki masih minim, seperti pedestrian yang ada masih sangat sempit. Bahkan, beberapa pengguna jalan tak malu-malu memakainya untuk parkiran motor.

Balik lagi ke persoalan penyandang disabilitas. Di Kedai Tuli ada berbagai jenis jualan yang dijajakan. Mulai dari makanan hingga minuman. Harganya sangat-sangat terjangkau, mulai dari lima ribuan dan lainnya. Maklum, kedai seperti ini sangat langka di Indonesia. Kedai yang dimiliki sendiri oleh penyandang disabilitas. Sehingga, mereka memasang harga merakyat.

“Yah, memang ini bisa jadi yang pertama di Indonesia. Sering kali mereka (penyandang disabilitas) hanya sekedar diberdayakan sebagai pekerja di kedai-kedai, sangat jarang ada sebagai owner,” tukas Pak Raden. Mempertegas bahwa, hak-hak penyandang disabilitas memang dipenuhi, tapi mungkin hanya sekedar sebagai formalitas penggugur kewajiban untuk memperhatikan mereka.

Di Indonesia, jumlah penyandang disabilitas tahun 2022 mencapai 22,5 juta orang berdasarkan Survei Badan Pusat Statistik (BPS). Jumlah itu meningkat dari tahun 2021 sebesar 16,5 juta orang. Perlu juga diketahui akses dan fasilitas umum ramah penyandang disabilitas itu seperti alat bantu naik turun dari dan ke sarana transportasi, pintu aman dan mudah diakses, lift prioritas, informasi berupa audio/visual mudah diakses, informasi layanan khusus & tersedia tombol papan braille, personel terlatih siap layani, ruang tunggu, kursi prioritas & toilet khusus, fasilitas bantu mudah akses, hingga kursi roda siap pakai.

Masih banyak hak-hak penyandang disabilitas yang belum terpenuhi. Melansir kompas.com (2023), akses layanan kesehatan seperti jaminan kesehatan hanya mencakupi 73,2 persen penyandang disabilitas. Sering kali layanan dan alat bantu kesehatan menjadi kebutuhan penting bagi mereka. Menurut WHO (2022), kesulitan akses tersebut membuat penduduk difabel rentan terhadap penurunan kualitas kesehatan.

Pada 2021 (masih melansir kompas.com), Bank Dunia menemukan hampir 30 persen anak difabel di Indonesia tidak memiliki akses pendidikan. Dari 2,2 juta anak penyandang disabilitas, sebanyak 660.000 di antaranya belum mengenyam pendidikan. Begitupun dengan angkatan kerjanya, Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2020 mencatat hanya 9 persen dari 8 juta angkatan kerja penyandang disabilitas yang tersebar sebagai tenaga kerja.

Dalam beragama pun demikian. Di Kota Gorontalo ini, aku belum menemukan masjid yang ramah disabilitas. Ketersediaan kursi roda, pintu aman, informasi khusus baik berupa papan braille atau audio visual tidak hanya di masjid tapi juga rumah-rumah ibadah lainnya sangat jarang aku temui. Yang ada biasanya, para penyandang disabilitas membawa kursi bantu sendiri untuk shalat. Sering juga ada anggota keluarga yang memapah mereka. Bagaimana dengan mereka yang tidak ditemani keluarga dan tidak memiliki alat bantu duduk?

Memang keberadaan Kedai Tuli masih menumpang di trotoar jalan, yang gunanya untuk pejalan kaki. Kita dan sejumlah pemangku kepentingan harus saling bantu dan memperhatikan hak-hak penyandang disabilitas. Sebab kita semua telah berkomitmen sebagai warga negara yang baik untuk mewujudkan ‘Kesejahteraan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia’.

Kembali lagi pada suasana sore itu. Pak Raden selalu memperhatikan mereka yang jualan di Kedai Tuli. Mereka mulai berjualan di tempat itu dari pukul 16.00 WITA sampai larut malam. Di tengah-tengah kedai juga sengaja ditaruh karaoke, yang siapa saja bisa menyanyi sepuas hati di situ. Kata Pak Raden hal itu sengaja dilakukan, biar tempat itu menjadi lebih menarik bagi masyarakat. Sehingga usaha-usaha yang ada di kedai semakin laku dan berkembang.

Penggerak Komunitas GUSDURian Gorontalo.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *