Social Media

Mengenali Asumsi, Menyadari Realitas

Sebelum terlalu jauh memaparkan hasil bacaan saya terhadap pemikiran Stephen Covey, terlebih dahulu saya ingin menyampaikan apresiasi dan ucapan terima kasih kepada rekan-rekan saya di Seknas Jaringan GUSDURian, karena lewat merekalah saya mengenal pemikiran Stephen R. Covey lewat karyanya berjudul The Seven Habits of Highly Effective People (Tujuh Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif). Karya bergizi ini, tentu tidak hanya menunjang kerja-kerja sosial yang saya geluti selama ini, tetapi juga memperluas cakrawala pemikiran saya, khususnya dalam melihat dan membangun interaksi dengan orang lain.

Selain itu, narasi buku tersebut juga sangat mudah dipahami, sehingga memudahkan menyadari betapa pentingnya segera berbenah diri sembari memahami dunia orang lain. Apalagi selama ini, saya sering kali memaksakan pandangan pada orang lain, tak terkecuali pada anak-anak saya dengan harapan mereka berubah sebagaimana yang saya inginkan. 

Lantas apa hasilnya? Ternyata bukan perubahan yang saya dapatkan, justru sebaliknya, mereka melakukan perlawanan dengan cara menjauh. Akibatnya, hubungan kami pun renggang. Sikap semacam ini, tentu saja meninggalkan kesan buruk. Apalagi sikap otoriter sebagai seorang ayah yang kerap mengintimidasi gagasan dan pilihan anak-anaknya.

Karena itu, setelah membaca teori Covey, saya kadang malu terhadap diri sendiri, sebab tidak jarang saya merasa percaya diri dalam segala hal, termasuk menasihati orang lain, namun lupa untuk menasihati diri sendiri. Karena itu, saya pun berkesimpulan bahwa tidak semua pengetahuan yang didapat bisa segera mendorong manusia untuk sampai pada level kesadaran, sebab selain butuh proses, juga momen kesadaran terkadang datang terlambat. 

Kesadaran Diri

Jauh sebelum mengenal gagasan Covey, saya lama terjebak dalam cara pandang superior; saya begitu gampang menganggap remeh pilihan dan pandangan orang lain dengan cara menjadikan pengalaman pribadi dan asumsi yang terbangun di kepala saya sebagai tolok ukur. Dengan sikap itu, hampir tidak ada ruang bagi orang terdekat saya untuk bertumbuh secara alami sesuai karakter dan identitasnya; apalagi memberi jalan untuk menemukan dan menjadi dirinya sendiri.

Hingga suatu ketika, saya membaca teori “paradigma” yang diulas secara apik oleh Covey dalam bukunya itu. Teori ini menjelaskan bahwasanya paradigma adalah cara seseorang melihat dunia; realitas atau orang lain. Makna melihat tentu bukan hanya sekadar menggunakan indera penglihatan, tetapi juga melibatkan perasaan atau lebih tepatnya merasakan, mengerti, dan menafsirkan. 

Menurut Covey, paradigma bisa diibaratkan peta yang menjelaskan beberapa aspek tentang sebuah wilayah. Jika peta (cara pandang) kita salah, maka besar kemungkinan kita akan salah dalam menilai dan melihat orang lain sebagai sebuah realitas (wilayah).

Karena paradigma adalah peta, bukan wilayah sesungguhnya, maka tentu sangat ceroboh jika saya begitu gampang menyalahkan, menghakimi pilihan dan pandangan orang lain. Apalagi jika hanya berdasarkan asumsi.

Karena itu, menurut saya, penting untuk mengenali dan mengevaluasi setiap asumsi yang terbangun di kepala, sebab bisa jadi asumsi itu, punya keterbatasan dalam memahami realitas secara utuh. Apalagi jika ada kecenderungan lebih mudah melihat kesalahan orang lain ketimbang kesalahan diri sendiri. 

Karena setiap manusia punya pilihan, maka tentu dia juga punya alasan akan pilihannya itu. Pada konteks inilah, saya kemudian menyadari betapa pentingnya membangun cara pandang terbuka untuk memahami setiap persoalan dan pilihan orang lain

Membuka pikiran tentu tidak hanya sekadar membaca buku, tetapi juga dibuktikan dengan adanya kemauan keras untuk mempertanyakan asumsi atau pengalaman yang selama ini kita yakini benar (Dewi, 2019). Karena itu, paradigma menjadi sangat penting sebab ia menjadi titik awal kita dalam melihat, menilai, dan memahami sesuatu. Jika pandangan dalam kepala kita penuh kebencian dan ketidakadilan, maka besar kemungkinan kita tidak akan pernah jujur dan adil dalam menilai sesuatu. 

Pada akhirnya, adil sejak dalam pikiran hanya mungkin bisa tercipta jika kita mengedepankan dua prinsip kehidupan ini: “lihatlah apa yang diucapkan” dan “bencilah perilakunya, jangan pernah membenci manusianya”; bukan sebaliknya, kita malah melihat siapa yang mengucapkan dan membenci pribadi seseorang alih-alih perilakunya. Sebab jika ini yang terjadi, maka kita tidak akan pernah adil dan jujur dalam menilai seseorang.

Presidium Jaringan GUSDURian Sulampapua (Sulawesi, Maluku, Papua). Tinggal di Makassar. Aktif menulis di media cetak maupun daring.

1 Comment

  1. Muhamat Boinauw
    April 5, 2024

    Sangat luar biasa abg ku

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *