“Kamu kenapa tidak melapor?”
“Nanti kasihan adik, kalau saya melapor adik bakal tidak punya ayah kalau ayahnya dipenjara,” ujar Niskala (nama samaran).
Kasus pemerkosaan terus terjadi. Kali ini menimpa Niskala, siswi SMP negeri di Kabupaten Mojokerto berusia 14 tahun yang menjadi korbannya. Ia diperkosa oleh dua sosok laki-laki, ayah tiri dan kakak ipar. Dengan modus membeli kue kesukaannya, Niskala malah dibelokkan ke rawa-rawa kemudian diperkosa. Yang lebih tidak masuk akal, ia juga diperkosa di dalam rumahnya setiap malam, dan ini sudah empat kali terjadi.
Layaknya anak kecil yang ditakut-takuti oleh orang yang lebih tua, Niskala tidak berani menceritakan itu karena pelaku melarang dia untuk menceritakan kepada siapa pun, termasuk ibunya. Niskala akhirnya berani menceritakan setelah ia menyadari siklus menstruasinya berubah. Ia sudah tidak menstruasi tiga bulan lamanya. Dari situlah ia memberanikan diri.
Keluarga mulai memutar otak dengan kondisi yang mengejutkan ini. Tawaran demi tawaran bantuan datang dari pihak keluarga tanpa terkecuali dari kakak ipar yang telah berbuat keji itu. Setelah mengerti bahwa Niskala hamil, kakak iparnya menawarkan diri untuk memeriksakan kondisi kandungan Niskala ke luar kota. Bukannya benar diperiksa, ndilalah malah diperkosa kesekian kalinya.
Niskala, anak penurut itu, dengan kondisinya yang rentan kemudian mengikuti apa pun yang diutarakan oleh ibunya. Termasuk ketika ibunya meminta ia minum obat walaupun obat itu memberi efek samping perutnya sakit berlebihan hingga ia jatuh pingsan. Sampai saat di mana ia masih berada di sekolah, efek samping obat itu tetap dirasakan. Niskala tertolong oleh pihak sekolah yang sigap mengobati saat ia jatuh pingsan. Pihak sekolah selalu bergegas menghubungi orang tuanya agar Niskala segera dijemput untuk beristirahat di rumah. Letak sekolah sebenarnya tidak jauh dari puskesmas, entah kenapa lebih memilih agar Niskala dijemput saja oleh ibunya daripada melakukan pertolongan pertama dengan membawanya ke puskesmas.
Kisah-kisah baru kini harus Niskala hadapi. Berbagai perspektif ia rasakan. Mulai dari rasa takut berlebih saat sendiri, mengalami susah tidur, maupun terbangun kaget tanpa sebab, hingga bahkan merelakan ketika tidak diperbolehkan pergi ke sekolah.
Niskala membayangkan bahwa nanti pada saat dia kelas delapan, dia sudah merencanakan ekstrakurikuler apa saja yang akan ia ikuti. Ia menceritakan bagaimana senangnya ia belajar qiroah maupun aktif pramuka dan palang merah remaja. Niskala yang bulan ini memasuki usia kehamilan kisaran enam bulan, sempat berangan-angan untuk melanjutkan sekolahnya. Namun haknya belum sempat ia perjuangkan, ia ditabrak oleh rencana pernikahannya dengan lelaki yang tidak dia kenal. Rencana pernikahan tersebut disusun karena suatu maksud yang didalangi oleh satu orang.
Beberapa orang menyimpan tanda tanya, apakah sebenarnya ada regulasi milik negara ini yang mengatur bahwasanya siswa yang hamil walaupun karena kasus pemerkosaan tidak boleh lanjut sekolah? Atau ini adalah penyakit yang menggerogoti pendidikan kita? Minimnya pendidikan seksual hingga munculnya perspektif bahwa menjadi korban adalah aib luar biasa yang harus dimusnahkan? Lucunya, hal yang menimpa Niskala ini bukanlah atas kehendaknya. Mungkin akan lebih masuk akal apabila Niskala melanggar kode etik sekolah karena telah berbuat tindak asusila dengan membawa-bawa nama sekolahnya. Tapi kembali lagi, bagaimana dengan kasus yang menimpa Niskala saat ini? Adakah sekolah dirugikan?
Atau mungkin karena anak seusianya alias teman-teman Niskala sangat tabu dengan kasus kekerasan seksual? Yang kemudian akan sangat membahayakan bagi kondisi psikologis Niskala apabila Niskala tetap bersekolah. Kalau sistem reproduksi telah diajarkan di mata pelajaran IPA, lalu di mata pelajaran apa baiknya teori-teori tentang kekerasan seksual diajarkan pada anak sekolahan? Apakah pendidikan kita telah mempersiapkan untuk itu?
Kembali pada kasus yang menimpa Niskala. Ibarat peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga. Ia yang menjadi korban pemerkosaan kemudian tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah, maka Niskala harus menyiapkan biaya pribadi untuk kembali bersekolah setelah persalinan nanti dengan mengikuti program kejar paket. Yang harus lebih dahulu ia persiapkan adalah proses persalinannya. Niskala tidak memiliki asuransi kesehatan, belum lagi kondisi janin saat ini yang didiagnosa akan membutuhkan penanganan khusus.
Beberapa orang yang peduli kepada Niskala sempat memikirkan bagaimana kondisi mentalnya. Secara umum, dengan ciri-ciri yang Niskala tunjukkan kepada orang-orang tertentu, Niskala mengalami trauma. Niskala dapat menyadari tiap kali ia merasakan kegelisahannya, Niskala juga menyadari tidurnya yang tidak pernah nyenyak. Hanya saja kurangnya kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental, Niskala tidak mengetahui harus bertindak apa hingga menepis semua yang ia rasakan dan menganggap semua itu adalah hal biasa yang tidak perlu diusahakan apa-apa. Niskala layaknya anak kecil pada umumnya, beraktivitas, menemui tamu yang datang ke rumahnya tanpa lupa melemparkan senyum walau bisa jadi sebenarnya ia masih ada trauma.
Kondisi mental orang yang sedang hamil tentu akan berpengaruh pada janinnya. Belum lagi jika Niskala ternyata mengalami gangguan psikologi pasca melahirkan yang kerap kali dirasakan hampir semua orang pasca melahirkan. Kondisi mental yang buruk dan bertumpuk tentu akan membahayakan Niskala yang baru berusia empat belas tahun ini. Niskala sejatinya anak cerdas, ia paham betul dengan apa yang ia rasakan. Namun Niskala yang masih anak-anak ini tidak memiliki kuasa penuh atas dirinya. Saat ada pihak yang menawarkan untuk memberi pendampingan psikologi, Niskala dengan yakin mengiyakan tawaran tersebut. Namun kemudian hari Niskala menjadi ragu karena menurut ibunya itu tidak perlu.
Kasus Niskala akhirnya mencuat di banyak media. Dengan pengabaran yang beragam sudut pandang. Hingga saat ini kemudian pelaku dalam proses penyidikan. Namun sialnya, karena minimnya pengawalan, Niskala tak kunjung mendapatkan haknya.