KABUPATEN GORONTALO – Komunitas GUSDURian Kabupaten Gorontalo bersama Presma Dulahu menggelar Forum Demokrasi. Diskusi Publik tersebut mengambil tajuk “Menyoal Kekerasan Seksual: Pemenuhan Hak Korban, Persepsi Masyarakat, dan Pemberitaan di Media” di Foodcourt Universitas Muhammadiyah pada Kamis (23/5/2024).
Setiap tahun, kekerasan seksual masih sering terjadi. Kasus yang kerap kali menjadikan perempuan sebagai korban ini, kerap tak pandang bulu terjadi di tempat umum, lembaga pendidikan, bahkan di rumah. Kenyataan ini memperlihatkan hampir tak ada ruang aman bagi perempuan.
Seperti belakangan ini yang terjadi di salah satu perguruan tinggi di Gorontalo, yaitu viralnya kasus kekerasan seksual yang justru dilakukan oleh oknum petinggi kampus. Kasus ini mencerminkan, tempat yang memiliki habitus orang-orang yang mempunyai wawasan dan pengetahuan, tidak menjadi jaminan ruang aman dari para predator seksual. Sekali lagi, tidak ada jaminan ruang aman. Hal inilah yang kemudian direspons melalui Forum Demokrasi.
Diskusi tersebut dihadiri oleh tiga narasumber yaitu, Dr. Hijrah Lahaling, M.H (Direktur Law and Gender Research Institute Gorontalo), Kusmawati Matara, M.A (Direktur Women Institute Research and Empowerment Gorontalo), dan Debby Mano (Kepala LKBN Biro ANTARA Gorontalo). Forum Demokrasi ini turut dihadiri pula oleh organisasi mahasiswa, organisasi lintas iman, hingga akademisi.
Pada pemaparannya, Hijrah Lahaling menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan upaya preventif atau pencegahan kekerasan seksual, dengan selalu menggaungkan kesadaran tersebut agar masyarakat luas menjadi paham bentuk-bentuk kekerasan seksual.
Menurut Hijrah, jangan sampai sesuatu yang kadang dianggap bercandaan justru itulah bentuk kekerasan seksual. Sementara dalam pemenuhan hak korban di Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), selain perlindungan dan pendampingan kepada korban, yang perlu masyarakat ketahui adalah hak restitusi atau ganti rugi oleh negara terhadap korban, di mana pemenuhan hak restitusi ini menjadi tanggung jawab Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
“Dan selama ini ketika ada kasus kekerasan seksual hampir tidak pernah terpikirkan terkait dengan pemenuhan hak restitusi itu, sementara banyak korban menerima kerugian baik materil dan immateril. Kerugian immateriil inilah yang tidak bisa diukur karena terkait dengan konodisi psikis, traumatik, dan fobia terhadap sekitar,” tuturnya.
Dirinya menambahkan, penting dan wajib pemenuhan hak korban oleh pihak-pihak terkait karena itu juga diatur dalam Undang-Undang TPKS. Lebih lanjut, upaya-upaya yang bisa kita lakukan terhadap korban adalah perlindungan, pendampingan, pemulihan, dan penting untuk tidak mengabaikan hak-hak korban sampai restitusi itu bisa dipenuhi.
Di sisi lain, Kusmawati Matara menjelaskan, kekerasan seksual kerap kali terjadi karena adanya budaya patriarki yang memang sudah mengakar kuat dalam konstruksi sosial-budaya kita. Misalnya ketika perempuan mengalami kekerasan seksual, justru kadang mereka mengalami dua kali kekerasan karena dijauhi dan di-bully. Yang harus menjadi persepsi publik baik terhadap laki-laki maupun perempuan yang sedang mengalami kekerasan seksual.
Sementara Debby Mano menekankan kepada audiens, penyebutan korban harus diganti menjadi penyintas (orang yang sedang berjuang keluar dari masalah), agar penyebutan ini juga menjadi penyemangat bagi para korban. Dalam pemberitaan media kadang malah justru menjadikan kekerasan kedua yang dialami penyintas.
“Oleh karena itu, saya tekankan dalam pemberitaan media sangat penting dalam memperhatikan penggunaan bahasa, juga upaya tetap menjaga privasi korban, juga perlu di underline bahwa peran media tidak menentukan keamanan terhadap korban,” pungkasnya.