Social Media

Soren Kierkegaard Menyoal Idul Adha dengan Tipologi Eksistensialisme

Beberapa malam terakhir, Ibrahim tidur tidak nyenyak. Karena pesan berantai dijejalkan ke dalam mimpi. Isinya berupa pesan supaya ia menyerahkan Ismail kepada Tuhannya.

Mimpi yang sama berulang kali menghantui Ibrahim. Sampai pada mimpi ketiga, ia tidak segan lagi menyembelih putranya. Sebab Ibrahim mengetahui bahwa mimpi itu datang dari Allah.

Sebilah pisau ia tajamkan demi persiapan kurban. Karena ketaatan Ibrahim, Tuhan pun mengganti, dari yang semula Ismail (anaknya) dengan seekor domba yang gemuk nan berisi.

Bagi orang awam, tindakan Ibrahim barangkali diterjemahkan sebagai fenomena filisida. Perilaku pembunuhan anak yang dilakukan orangtua. Kendati demikian, malah menjelma tradisi hingga hari ini (Idul Adha).

Bagi kaum tekstual, Soren Kierkegaard menyebutnya dengan massing of society. Kecenderungan rasio yang dominan dipakai dan crowd (kecenderungan) manusia dalam berbagai hal.

Artinya, massing of society adalah manusia yang selalu mengikuti tren dalam pola berpikirnya, termasuk dalam beragama.

The crowd menafikan sisi autentik dirinya dan rela terpenjara dalam anonimitas. Mereka merasa hampa, jika terdorong oleh the crowd. Muhammad menganalogikannya dengan membangun umat Islam seperti buih yang berterbangan.

Lantas bagaimanakah seorang filsuf asal Denmark, Soren Kierkegaard membaca hal ini?

Tipologi Eksistensialisme

Pada buku berjudul Either or a Fragment of Life, Soren menjelaskan, eksis adalah hidup secara sadar, bukan termekaniskan. Setiap orang tidak selamanya terjebak dalam satu tahap eksistensi, tapi mampu melompat ke kelas lainnya.

Sedikitnya, Soren menjelaskan tiga tipologi kelas eksistensi manusia. Pertama, ia menyebutnya dengan the aesthetic stage. Kelas yang mengindikasikan seorang hidup hanya untuk kesenangan sesaat.

Lazimnya, mereka yang berada di kelas ini berpikir bahwa hidup untuk sekarang, bukan selamanya. Soren mengalegorikannya dengan Don Juan sebagai orang yang hanya memenuhi hasrat sesaatnya.

Don Juan menjadikan wanita sebagai pemuas nafsunya. Tiada batas moral, apalagi pertimbangan baik buruk. Yang ada, kepuasan dan ketidakpuasan. Sehingga tidak heran jika Don Juan berada di the aesthetic stage.

Masuk di kelas berikutnya, Soren membincang ihwal the ethical stage. Seperti Socrates, tahapan ini diilustrasikan sebagai sang penganut moral absolut dan penegakannya adalah tugas yang diemban oleh filsuf.

Masyarakat dengan kelas etik sebagai bagian dari hidupnya, mempunyai pilihan melakukan tindakan baik atau buruk. Namun, pilihan tersebut tidak untuk dipilih, melainkan opsi yang memberikan masa depan lebih baik bagi pelakunya.

Kelas ketiga adalah the religious stage atau tahap eksistensi religius. Bagi mereka yang berada di tahapan ini, baik dan buruk bukanlah poin sentral dalam kehidupan, akan tetapi relasinya dengan Tuhan.

Tipologi kelas yang terakhir ini, Soren tengah mengajarkan pada kita semuanya tentang arti keikhlasan, sebab ia mentransendenkan Tuhan atau Dzat Tak Terbatas dalam bereksis.

Manusia yang berada di taraf eksistensi religius, menurutnya tidak lagi membutuhkan pengakuan. Bagi mereka, pertemuan dengan Tuhan merupakan suatu dialektika atau eksis yang sejati.

Kepercayaan dengan Tuhan merupakan satu tindakan yang dimungkinkan, karena memberi kesempatan kepada manusia untuk mengatasi dirinya dan menghadap kepada-Nya. Termasuk persoalan cinta ilahiah, pengorbanan adalah kunci.

Soren Kierkegaard.

Idul Adha dan Soren Kierkegaard

Idul Adha atau yang dalam literatur Arab berakar kata qaraba, yang berarti dekat, merupakan upaya makhluk untuk mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Sebagaimana histori Ibrahim dengan anaknya.

Melalui buku berjudul Fear and Trembling, Soren menganggap Ibrahim sebagai manusia dengan kelas eksistensi paling tinggi, the religious stage. Dengan ikhlas Ibrahim mengurbankan Ismail.

Seolah Ibrahim hidup bersama Tuhannya, ia mengetahui pesan pembunuhan yang datang di mimpinya berasal dari Allah. Atas dasar relationship, lantas Ibrahim menunaikannya.

Selain itu, Soren memberikan tanda manusia yang berada di kelas eksistensi religius. Di antaranya adalah infinite resignation, artinya tunduk secara total.

Ia mengorbankan segalanya agar bisa dekat pada Tuhan. Sebagaimana Ibrahim, diutus memenggal kepala anaknya, dan secara total menunaikannya.

Tanda yang kedua ialah Knight of Faith Delighted. Artinya, selama hidup senantiasa gembira. Tidak pernah takut apalagi bersedih hati.

Karena baginya, tiada apa pun yang dibutuhkan kecuali Tuhan, God is Everything. Sebagaimana Ibrahim, kecintaan pada Tuhannya jauh lebih besar ketimbang anaknya.

Terakhir, The Teleological Suspension of the Ethical. Pada ciri ini, manusia tidak melakukan interupsi, apalagi tawar menawar. Fokus kepada Allah. Seperti Ibrahim taat pada perintah-Nya, sebagai pengorbanan dari kacamata religius.

Berangkat dari kisah penyembelihan Ishaq (Yahudi) atau Ismail (Islam), Soren memberikan rumusan universal. Jika dirimu memberikan sesuatu pada Tuhan, ia juga akan membalas kembali, beserta cinta, dan juga keselamatan.

Membaca perjalanan Ibrahim, bapak dari seluruh agama itu mengikuti panggilan Tuhan merupakan sebuah pergulatan iman. Iman yang sesungguhnya, tanpa adanya keraguan di dalamnya.

Tidak ada ketakutan dalam diri Ibrahim. Seolah ia ingin menunjukkan bahwa hidup tidak sekadar mengoleksi ganjaran surga atau individualitas semata, namun juga diikuti dengan gerakan sholeh sosio-kolektif-religius.

Jurnalis. Penggerak Komunitas GUSDURian Jepara, Jawa Tengah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *