JEMBER – Literasi digital menjadi kebutuhan Gen Z dan Alpha yang terlahir sebagai digital native. Untuk mengedukasi orang muda dalam memahami peluang media sosial, Komunitas GUSDURian Jember melaksanakan Sharing Session Literasi Digital dengan tajuk “Asah Kemampuan Remaja melalui Media Digital” di Cafe Baca Tulis, Ajung Jember (Minggu, 14/07)
Nihayatus Zaen, kreator tiktok affiliate, menilai saat ini publik kerap membincangkan literasi digital dari perspektif dampak-dampaknya, baik bagi kesehatan, risiko hoaks, maupun risiko keamanannya. Banyak publik dan komunitas pegiat anti hoaks skeptis terhadap dunia digital.
“Padahal sebenarnya cara terbaik mempelajari hoaks adalah masuk ke sana dan mempelajari realitasnya,” tuturnya.
Untuk mengimbangi narasi negatif ini, ia menyarankan agar publik perlu diedukasi dengan mengenalkan peluang media sosial untuk pemberdayaan ekonomi dan penguatan literasi.
Dari pengamatannya, banyak netizen yang belum memiliki literasi digital yang baik. Tidak hanya malas baca, namun juga malas mendengarkan konten.
Menurutnya, idealisme dan materialisme bisa dikompromikan. Karena selain menggali pendapatan dari konten-kontennya, pegiat kreator Tiktok affiliate yang juga aktif di komunitas gender dan kesetaraan ini menyatakan, saat membuat konten selalu berusaha menghindari kata-kata yang bias gender dan mendiskreditkan perempuan dan kaum marjinal.
“Itulah yang menjadi spiritku,” tambahnya.
Dalam beberapa kontennya ia juga mengaku telah mengedukasi viewer-nya untuk mengarusutamakan pemberdayaan perempuan. Selain itu, dirinya juga membuat kelas-kelas affiliate gratis. Dengan membuat kelas-kelas literasi digital ini, Zaen mengusung misi mendorong perempuan agar dapat mandiri secara ekonomi, berdaya, dan memberdayakan keluarganya.
Sementara, Ahmad Jamil, seorang seniman standup comedy dan konten kreator di akun instagram @jamil_faiz1, yang menjadi narasumber kedua, menyatakan bahwa di media sosial, penilaian baik dan buruknya kembali pada penafsiran para penonton kontennya.
Menurutnya, ia kerap mengangkat fenomena kontroversial, yang menurut sebagian orang dinilai buruk. Konten-konten kontroversial di-review dan dikritik dengan pendekatan humor justru berpotensi menjadi peluang untuk mendatangkan viewer dan keuntungan finansial. Namun, tak hanya membuat konten negatif, ia mengaku juga membuat konten positif untuk memenuhi idealismenya.
Fatia Inast Tsuroya, moderator acara menggarisbawahi bahwa, pengalaman yang dibagi oleh para narasumber merefleksikan nilai-nilai yang diperjuangkan Gus Dur.
“Selain kesetaraan, juga merefleksikan nilai kemanusiaan, pembebasan, dan persaudaraan,” tutupnya.