Seminggu lagi, kita akan menggenapi 79 tahun Indonesia merdeka sebagai negara bangsa. Perjalanan yang cukup panjang, dalam konteks negara-negara. Beberapa negara bahkan telah berubah secara drastis. Ada yang hilang dari peta dunia, seperti Uni Soviet dan Yugoslavia yang mengalami balkanisasi. Ada yang pecah seperti Cekoslowakia dan Sudan. Ada yang mengalami perubahan struktural dan kultural, seperti Jerman dan Afrika Selatan. Bersyukur, Indonesia tetap dapat mempertahankan kesatuannya.
Negara Indonesia pun telah mengalami berbagai tantangan dan perubahan besar. Dalam istilah Gus Dur: telah mengalami banyak belokan, bahkan terkadang belokan yang salah dan membawa Indonesia pada fase gelap, seperti pada tragedi 1965. Beragam jenis demokrasi pun telah dijalani untuk mencari bentuk terbaiknya. Yang terakhir, perubahan dari sistem yang sentralistik dan otoritarian pada masa Orde Baru menjadi sistem desentralistik dan demokratik setelah era Reformasi.
Lalu bagaimana dengan bangsa Indonesia, yang sejatinya menjadi motor perjalanan negara? Sejauh mana kita tumbuh sebagai bangsa? Masihkah selaras dengan analisis yang dilontarkan oleh Mochtar Lubis dalam pidato kebudayaannya pada 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta? Sejauh mana manusia Indonesia telah berjalan, dan ke arah mana kita sedang menuju?
Lubis menjabarkan enam kecenderungan manusia Indonesia, yakni munafik atau hipokrit, enggan dan segan bertanggung jawab atas perbuatannya, berperilaku dan bersikap feodal, percaya takhayul, artistik, dan berkarakter lemah. Sayangnya, kita belum memiliki pengukuran ciri sikap pembanding yang sahih secara psikometri untuk membandingkan dengan situasi saat ini.
Pengukuran nilai-nilai bangsa termutakhir dengan jumlah responden yang cukup signifikan adalah Nenilai. Inisiatif yang digawangi beberapa organisasi ini menggunakan kerangka pengukuran Barrett Value Models.
Di Indonesia, Nenilai telah melakukan pengukuran pada tahun 2020 dan 2023 secara digital. Tahun 2020 melibatkan 50.000 responden, tahun 2023 melibatkan 10.000 responden.
Pengukuran dilakukan pada tiga dimensi, yakni nilai-nilai pribadi, nilai-nilai budaya bangsa yang hidup saat ini, serta nilai-nilai yang diperlukan agar Indonesia bisa mencapai kemajuan.
Tahun 2020, Nenilai menemukan 10 nilai yang terbanyak dipilih sebagai nilai pribadi warga Indonesia, yakni bertanggung jawab, hidup sederhana/bersahaja, dipercaya/memercayai, adil/keadilan, disiplin, ikhlas, humor, integritas/kejujuran, menghormati orangtua, dan antusias/bersemangat.
Dalam dimensi lain, yaitu nilai-nilai budaya bangsa saat ini, Nenilai (2020) menemukan nilai-nilai gotong royong, birokrasi/aturan berbelit-belit, berpegang pada aturan agama, korupsi, keberagaman/kebinekaan, demokrasi, diskriminasi SARA, dominasi kaum elite/golongan atas, berpikir jangka pendek, dan hak asasi manusia.
Hasil riset tahun 2023 belum resmi diumumkan. Namun, secara khusus ditemukan terjadinya pergeseran nilai yang cukup menarik. Dalam nilai-nilai pribadi, nilai integritas dan menghormati orangtua tidak lagi masuk dalam 10 nilai teratas. Dua nilai ini digantikan oleh nilai memiliki ambisi dan empati.
Dalam nilai-nilai budaya bangsa saat ini, tahun 2023 Nenilai juga mencatatkan dua nilai tergeser dari 10 nilai paling dominan, yakni fanatisme agama dan hak asasi manusia. Keduanya digantikan oleh nilai berpikir jangka panjang dan bertanggung jawab. Hilangnya hak asasi manusia tentunya menimbulkan pertanyaan atas dampaknya bagi bangsa.
Hasil penelitian Nenilai ini mampu menunjukkan pergeseran norma nilai masyarakat. Kita dapat memanfaatkannya untuk melakukan rekayasa sosial yang mendorong ke arah kemajuan bagi bangsa. Sejatinya, konsep Revolusi Mental membawa semangat perubahan ini.
Rakyat kita percaya dan patuh kepada pemimpinnya, tetapi banyak pemimpinnya yang tidak dapat dipercaya, banyak pula yang terlibat korupsi kekuasaan dan korupsi keuangan yang notabene milik rakyat.
Merujuk pada Pidato Bung Karno pada 1956 tentang revolusi mental manusia Indonesia, program Revolusi Mental diharapkan mampu memperkuat nilai etos kerja, gotong royong, dan integritas dalam masyarakat dan pada penyelenggara negara. Sayangnya, program ini belum menunjukkan dampak konkret yang signifikan dalam masyarakat, kemungkinan karena desain rekayasa sosial belum efektif.
Upaya rekayasa sosial ini cukup penting, dalam berbagai bentuknya. Apalagi, kita masih menyaksikan banyaknya paradoks dalam budaya bangsa yang menonjol saat ini.
Tanah Air kita cukup kaya, tetapi sebagian masyarakatnya masih terimpit kemiskinan, bahkan kemiskinan ekstrem. Tanah Papua, tanah dengan sumber daya alam terbesar, menjadikannya tanah paling kaya, tetapi kualitas hidup dan kualitas sumber daya manusianya tidak juga dapat diangkat oleh negara.
Rakyat kita percaya dan patuh kepada pemimpinnya, tetapi banyak pemimpinnya yang tidak dapat dipercaya, banyak pula yang terlibat korupsi kekuasaan dan korupsi keuangan yang notabene milik rakyat. Bangsa kita suka bermusyawarah, tetapi nasib bangsa ditentukan oleh segelintir orang berpengaruh, tetapi tidak benar-benar bertindak bagi rakyat di akar rumput.
Negara membuat begitu banyak aturan seperti aturan lalu lintas, tetapi sejumlah besar orang tidak menaatinya. Tingkat pendidikan yang tersedia semakin tinggi, tetapi karakter dan kemampuan literasinya masih jauh dari memuaskan.
Indonesia menjadi negara yang paling religius di dunia, tetapi perilaku melanggar aturan agama makin menjadi-jadi. Banyak pemuka agama menjelma menjadi politisi. Banyak politikus berjubah agamawan. Banyak yang rajin beribadah, tetapi banyak pula warga yang munafik dan hipokrit.
Banyak yang mengaku mengagungkan Pancasila, tetapi masih banyak yang tidak mampu menjalankannya. Bahkan, pun pemerintah dan penyelenggara negara lainnya.
Masih begitu banyak tantangan yang kita hadapi sebagai bangsa, selain berbagai kemajuan yang kita catatkan. Kita tak dapat berpuas diri karena kemajuan-kemajuan tersebut karena berpuas diri adalah musuh kemajuan.
Di bulan mulia ini, saatnya kita berefleksi lebih dalam tentang manusia Indonesia, dan mencari jalan baru untuk mewujudkan Indonesia yang sungguh-sungguh merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
_______________
Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 11 Agustus 2024