Apakah Kita Sedang Hidup di “Animal Farm”?

Pernahkah kamu membaca kisah tentang sekelompok hewan yang memberontak melawan manusia, mendirikan negara mereka sendiri, dan kemudian perlahan-lahan melihat cita-cita luhur mereka terkikis oleh ambisi para pemimpinnya?

Kisah dalam novel Animal Farm atau Republik Binatang karya George Orwell itu seakan menjadi cerminan dari banyak peristiwa bersejarah.

Dalam Republik Binatang, kita diajak menyaksikan mimpi besar sekelompok hewan yang ingin hidup bebas dari penindasan manusia. Dua sosok babi cerdas, Snowball dan Napoleon, muncul sebagai pemimpin revolusi ini, membawa harapan baru bagi para penghuni binatang lainnya.

Setelah revolusi sukses, para binatang menyusun “tujuh hukum dasar republik”, atau kita sebut saja sebagai Saptasila. Sila-sila ini menjadi “konstitusi” dan pedoman hidup mereka, sebuah janji akan masa depan yang lebih baik.

Namun, seiring berjalannya waktu, semangat awal itu mulai memudar. Satu per satu, Saptasila yang dulu suci mulai diubah. Yang dulunya tegas dan tak tergoyahkan kini menjadi fleksibel, bahkan berubah makna sesuai keinginan sang pemimpin, Napoleon.

Sila pertama mereka itu sederhana: kaki dua (manusia) adalah musuh. Namun, Napoleon, diam-diam mulai berteman dengan manusia. Dia berbisnis dengan seorang manusia bernama Mr. Whymper. Jadi, meskipun manusia dianggap musuh, mereka tetap menjalin hubungan untuk urusan bisnis.

Hukum lain yang dilanggar adalah mengenai tidur di kasur. Dalam sila keempat, hewan dilarang tidur di kasur. Namun, Napoleon mengubah aturan tersebut dengan menambahkan frasa, “asal jangan pakai sprei”.

Yang paling parah, Napoleon juga mengubah hukum yang menyatakan bahwa semua hewan itu sama. Dia membuat aturan baru yang menyiratkan bahwa dia dan teman-teman babinya, keluarganya, lebih penting daripada hewan lainnya.

Dari Saptasila ke Pancasila

Dalam konteks Republik Indonesia saat ini, kita mungkin dapat menarik garis paralel yang memiliki banyak kemiripan dengan Republik Binatang.

Jika di negara binatang ada Saptasila yang sering diubah-ubah, di negara kita ada Pancasila. Sama seperti Saptasila, Pancasila juga bisa dijadikan alat untuk membenarkan apa pun yang dilakukan oleh pihak yang berkuasa. 

Jika ada bagian atau sila dari Pancasila yang tidak sesuai dengan keinginan mereka, maka aturannya bisa saja diubah sesuai kebutuhan, baik dengan menambah frasa atau menafsirkan Pancasila seenak jidatnya.

George Orwell, dalam novel Republik Binatang, menggambarkan bagaimana rezim otoriter seperti Tuan Jones berhasil digulingkan. Namun, ironisnya, muncul sosok pemimpin baru yang tidak kalah buruk, bahkan lebih menjijikkan.

Jika Tuan Jones merepresentasikan rezim militeristik yang represif seperti rezim Orde Baru Soeharto, maka Napoleon adalah simbol dari korupsi kekuasaan yang lebih halus namun sama merusaknya, layaknya rezim Jokowi.

Rezim “Napoleon” Jokowi sering mengubah aturan yang menghalangi kekuasaannya, seperti melalui Omnibus Law. Aturan konstitusi dirombak secara brutal, merusak mekanisme demokrasi, dan menjadikan hukum, partai politik, serta organisasi sipil—misalnya dengan memberikan konsesi tambang—sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan.

Pada akhir 2023, MK mengubah batas usia capres-cawapres, membuka peluang bagi anak sulungnya, Gibran Rakabuming Raka. Keputusan ini menunjukkan bagaimana rezim Jokowi dan kroni-kroninya melanggengkan politik “Napoleon”.

Namun, ketika aturan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 20 Agustus 2024 dengan nomor 60/PUU-XXII/2024 “tidak sesuai keinginan Napoleon”, Jokowi mengarahkan kuda, sapi, kambing, bebek, ayam, musang, hingga burung yang tergabung dalam Baleg DPR untuk membahas Revisi UU Pilkada pada 21 Agustus 2024 di forum Rapat Paripurna.

Snowball, si babi terstruktur, membuat banyak rencana untuk Republik Binatang. Namun, Napoleon, yang merasa terganggu dengan pengaturan Snowball, akhirnya menyingkirkan dan membuangnya dengan kekuatan “reshuffle kabinet”.

Kesenjangan antara babi dan hewan lain semakin nyata ketika para babi mulai tidur di rumah Tuan Jones. Napoleon, yang tidak belajar dari kesalahannya, menyebabkan lebih banyak korban. 

Salah satunya adalah Darwin Mangudut Simanjuntak, seorang pengemudi ojek daring di Medan, yang meninggal karena kelaparan pada 11 Agustus 2024, beberapa hari sebelum HUT Republik Indonesia ke-79.

Pada Munas Golkar ke-11 di Jakarta, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia terpilih sebagai Ketua Umum DPP Golkar periode 2024-2029 secara aklamasi sebagai calon tunggal. Dalam pidato perdananya, Bahlil memperingatkan kader Golkar agar tidak bermain-main dengan ‘Raja Jawa’ jika tidak ingin celaka.

Meskipun tidak menyebutkan nama secara langsung, publik merujuk ‘Raja Jawa’ yang dimaksud sebagai Napoleon.

Napoleon Adalah Kita… atau Begitulah Harapannya

Pernyataan Gus Dur, “Tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian”, tetap relevan hingga kini.

Periode kepemimpinan Gus Dur memang sangat singkat, tidak sempat membangun IKN atau menitipkan Alissa Wahid sebagai cawapres. Namun, Gus Dur meninggalkan nilai-nilai kekesatriaan. Dengan nilai-nilai tersebut, bangsa ini tidak terpecah belah hanya karena ambisi pribadi.

Hari ini, Kamis, 22 Agustus 2024, masyarakat mulai gerah pada Napoleon, mirip dengan ketidakpuasan yang dirasakan Napoleon terhadap Tuan Jones. 

Pada 2014 lalu, muncul berbagai kampanye seperti “Napoleon adalah Kita”, namun ironisnya, seiring berjalannya waktu, Napoleon malah berperilaku seperti Tuan Jones dan bahkan tinggal di rumah Tuan Jones itu sendiri.

Lantas, apakah ketika aksi massa hari ini berhasil akan melahirkan Napoleon yang baru? Jangan ya dek ya!

Penggerak Komunitas GUSDURian Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *