Ketuk Palu di Persimpangan Demokrasi: Pertanda Apa?

Beberapa hari belakangan ini, publik dikejutkan oleh ketuk palu DPR yang dinilai sebagai tindakan melawan konstitusi. Ketukan itu bermakna bahwa DPR berusaha mengkorupsi hukum tertinggi di negeri ini. Setelahnya, linimasa jagat media sosial dipenuhi oleh gambar Garuda Indonesia berlatar biru dengan tulisan “Peringatan Darurat”, jalan-jalan kota disesaki oleh suara-suara ketidakpercayaan, suara kemarahan, suara menuntut, juga suara menolak tumbangnya konstitusi. Pertanyaannya, apa kabar gerangan? Apakah ini pertanda buruk atau justru pertanda baik bagi masa depan demokrasi kita di Indonesia?

Memang benar bahwa demokrasi oleh sebagian pemikir dinilai sebagai sistem paling lemah, tetapi paling baik daripada sistem-sistem lainnya sebagai jembatan stabilitas politik dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebuah negara dimungkinkan dapat mengalami demokrasi apabila negara tersebut telah menjunjung tinggi supremasi hukum, konstitusi, memiliki kesadaran pluralitas, serta memiliki aspek keterwakilan. Keadaan mengalami atau menjalani proses demokrasi (demokratisasi) dalam bernegara merupakan usaha yang berlangsung terus-menerus dengan selalu dalam proses penyempurnaan, karenanya demokratisasi tidak memiliki titik akhir atau kondisi final.

Kondisi Indonesia saat ini telah berada pada tahap proses demokratisasi tersebut, tapi belum dapat dikatakan telah demokratis karena aspek-aspeknya masih jauh dari kata terpenuhi. Kita coba cek ya! Kita mulai dari aspek keterwakilan. Apakah aspek ini telah hadir dan terasa dalam atmosfer politik kita?

Mungkin sebagian dari kita akan mengatakan bahwa aspek ini telah terpenuhi dengan adanya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Aspek keterwakilan dalam kaitannya dengan demokratisasi memiliki ruang lingkup yang sangat luas dan hal ini juga berkaitan erat dengan kebudayaan berbangsa. Jadi, dengan hadirnya DPR belumlah menjadi indikator bahwa kita telah demokratis, bahkan aspek keterwakilan itu dapat dikebiri dengan tidak berjalannya tupoksi dari lembaga ini.

Tegak dan berlakunya konstitusi yang juga menjadi aspek demokratisasi dalam konteks keindonesiaan hari ini juga masih rapuh dan rentan mengalami penistaan dan pembegalan. Deretan kasus pelanggaran konstitusi banyak mengisi rapor merah kita, hingga saat ini pena yang mencatat pelanggaran itu belum diangkat.

Dengan fenomena ketuk palu DPR yang mencoba menganulir putusan MK terkait ambang batas pencalonan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati yang terjadi belum lama ini, terang bahwa konstitusi masih rentan dibajak oleh segolongan orang, juga keterwakilan rakyat luput dalam ketukan itu, jelas pula bahwa kesadaran pluralitas absen.

Kehadiran lembaga negara sebagai instrumen demokratisasi tidaklah menjamin bahwa sepenuhnya negara telah dapat dikatakan demokratis. Di sinilah pentingnya memaknai perbedaan demokrasi struktural dan demokrasi kultural, demokrasi yang diperjuangkan hanya melalui struktur-struktur negara, tentu berbeda dengan demokrasi yang benar-benar dihidupi dan hadir dalam napas budaya bernegara. Sebagaimana yang telah diteladankan oleh Gus Dur, bahwa demokrasi bukanlah sesuatu yang menggantung pada hal-hal struktural tetapi sebagai dialektika kebudayaan yang hadir dan dihayati.

Penulis sengaja menarik konteks yang lebih luas daripada kasus kita yang tidak terwakili oleh DPR dan parade pembajakan konstitusi yang terjadi saat ini. Kesengajaan ini dimaksudkan untuk menyadarkan bahwa demokratisasi di Indonesia merupakan perjalanan bersifat esensial yang tiada henti. Dengan hadirnya tagar “Peringatan Darurat” dan berbagai selebaran serta aksi massa di berbagai daerah juga merupakan aktualisasi dari ide tersebut. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kabar demokrasi kita masih panas-dingin.

Tidak dapat dikatakan bahwa fenomena “ketuk palu DPR” sebagai sesuatu yang sepenuhnya buruk karena dari kejadian tersebut kesadaran pluralitas dan kesadaran konstitusional kita yang tidur menjadi terhentak. Kesadaran yang kemudian diartikulasikan dengan cara sehat dan kreatif. Ada yang turun ke jalan, ada yang menjahit kelompok-kelompok yang peduli demokrasi, dan ada juga yang membentuk solidaritas di media sosial. Juga tidak dapat kita simpulkan bahwa fenomena aksi massa dan seliweran “Peringatan Darurat” ini sepenuhnya kabar baik, karena penjahat atas nama demokrasi dapat menyembunyikan niat dan muslihat busuknya demi kepentingan golongannya.

Koordinator Komunitas GUSDURian Barru, Sulawesi Selatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *