Keberagaman di Setiap Suapan, Toleransi di Setiap Hidangan

“Saya mau muntah di suapan ketiga (saat makan tempe),” cerita Audy Anastasya (21) dengan mata membulat, seolah masih terbayang rasa aneh yang menggelitik lidah ketika membayangkan sarapan paginya.

“Tempe yang mana? Yang manis-manis itu?” tanya saya penasaran. Audy mengangguk sambil meringis. “Oh, kering tempe,” sahut saya, tergelak kecil.

Audy juga cerita, sebelum tiba di Yogyakarta, ia sempat singgah di Surabaya dan mencoba ayam geprek. “Cabai rawitnya sangat berbeda dengan yang ada di Gorontalo,” ungkapnya. Perbedaan jenis cabai ini membuatnya sedikit terperanjat.

Istilah ‘cabai rawit’ ternyata bisa merujuk pada jenis cabai yang berbeda-beda tergantung daerahnya. Di luar Jawa, cabai rawit sering kali mengacu pada cabai kecil dan ramping. Namun, di Surabaya atau kebanyakan di Pulau Jawa, cabai rawit yang populer adalah jenis cabai yang lebih besar dan berisi. Saat masih muda, cabai ini berwarna putih, lalu berubah menjadi merah cerah ketika matang.

Langkah kaki kami beriringan di bahu Jalan Sorowajan yang mulai rengat seperti wajah Yogyakarta yang mulai penat butuh rehat. Dulu, sekitar sepuluh tahun lalu, ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di Yogyakarta, suasana di sekitar jalan ini benar-benar berbeda. 

Bentang alam hamparan sawah hijau yang luas, permai sejauh mata memindai. Udara segar pedesaan terasa menusuk paru-paru, berpadu dengan kicauan burung yang merdu.

Kiwari, tumbuh banyak bangunan gersang dan garang. Lampu-lampu jalanan mulai menyalang, menerangi wajah-wajah orang yang berlalu-lalang.

Suara kendaraan bermotor meraung-raung dan sesekali bunyi klakson yang nyaring seakan menjadi iringan lagu bagi perjalanan kami.

Yogyakarta, kota yang dikenal dengan keramahan dan budaya yang menghargai ketenangan, kini mulai kehilangan ciri khasnya. Bunyi klakson kendaraan yang semakin nyaring di beberapa ruas jalan menjadi pertanda perubahan yang cukup signifikan.

Padahal, sebagaimana yang ditulis Syamsul Arifin di Quora, citra Yogyakarta sebagai kota yang tenang telah melekat kuat di benak masyarakat. Syahdan, citra ini menjadi pemikat bagi para pelancong Barat.

Kami terus mengayunkan langkah, mengarahkan tukai ke Grha Syariah Vege Jawi tempat kami bermalam. 

****

ADA yang menarik di balik nama Grha ‘Syariah’ Vege Jawi. Pemiliknya, Agnesia Hari Kardyantini (58), yang beragama Katolik, memutuskan untuk menggunakan label ‘syariah’ pada penginapannya.

Pada kesempatan lain, saya sempat berbincang dengan Agnes. Saya mendapat cerita menarik tentang alasan di balik label ‘syariah’ pada penginapannya.

Sebelumnya, penginapannya terdaftar di aplikasi booking online dengan tarif yang terjangkau, dan sering disalahgunakan sebagai tempat berbuat maksiat oleh anak muda, baik Muslim maupun non-Muslim. “Ini kan penginapan, bukan rumah bordir,” tegas Agnes.

Berulang kali, ia memergoki pasangan muda-mudi di kamar penginapannya. Setiap kali kejadian itu terjadi, Agnes selalu mengingatkan mereka, terutama para perempuan yang Katolik dan Kristen, “Jaga kekudusanmu, tubuhmu adalah bait Allah.”

Rasa prihatin yang mendalam akhirnya mendorong Agnes untuk memutuskan kerja sama dengan berbagai aplikasi booking online.

Agnes tidak khawatir akan kehilangan penghasilan, karena ia percaya bahwa “Ada solusi rohani di setiap persoalan.” 

Bagi Agnes, setiap tamu yang menginap di tempatnya adalah tamu Allah. Dengan bijaksana, ia menambahkan, “Allah itu tak terbatas, kita manusia yang mengkotak-kotakkan diri.”

****

KERINGAT membasahi punggung saya, terasa lengket dan tidak nyaman. Cuaca Yogyakarta yang panas sama sekali berbeda dengan udara sejuk di Salatiga dan Temanggung, kota tempat saya berdomisili sementara ini.

Saya bertemu Audy, dalam pelatihan redaktur Gusdurian.net. Perjalanan sejauh 400 meter terasa singkat, namun cukup untuk kami saling mengenal lebih dekat dan bertukar nasihat.

Empat ratus meter memang jarak yang relatif dekat. Namun, ada banyak hal yang bisa saya ingat. Lamunan saya melenting ke kata-kata Gus Dur, “Yang beda jangan disama-samakan, dan yang sama jangan dibeda-bedakan.”

Ya, perbedaan itu tidak hanya dalam pilihan beragama atau berkeyakinan. Perbedaan juga hadir di ranah isi perut dan makanan.

Kita sering mendengar slogan jadul, “Orang Indonesia belum makan kalau belum makan nasi.” Kampanye ini, secara terstruktur, sistematis, dan masif digaungkan pada masa Orde Baru, telah membunuh kekayaan kuliner Indonesia.

Padahal, kekayaan Nusantara tak pelak terletak pada keberagaman pangannya. Seperti yang pernah dikatakan Gus Dur, “Indonesia ada karena keberagaman.” 

Sebab itu, kampanye ‘Orang Indonesia belum makan kalau belum makan nasi’ tidak hanya keliru, tetapi juga diskriminatif. Jika kita mengadopsi pandangan tersebut, berarti kita menyangkal status sebagai orang Indonesia bagi mereka yang mengonsumsi makanan pokok seperti sagu atau jagung. 

Apakah berarti orang Indonesia yang makanan pokoknya sagu atau jagung bukanlah orang Indonesia? Fun fact-nya, padi bukanlah tanaman asli Nusantara, alih-alih Pulau Jawa. Menurut Rifan Anshory, dalam artikelnya di Hops.id, padi justru berasal dari daratan Cina.

Bahkan, jika kita perhatikan relief Candi Borobudur dan Prasasti Talang Tuwo, kita akan menemukan bahwa jawawut, sejenis tanaman mirip gandum, merupakan makanan pokok masyarakat Jawa pada masa lampau.

Di Gorontalo, kampung halaman Audy, masyarakatnya memiliki makanan pokok yang beragam, salah satunya adalah Balabinde, nasi yang terbuat dari beras Milu.

Saya setuju bila ada yang berkelakar, ‘Jika makanan orang Indonesia seragam, maka akan mudah dibuat lapar.’ Dan ini sudah banyak terbukti. 

Contohnya, laporan Ahmad Arif dan Fransiskus Pati Herin di Kompas.id menunjukkan bahwa penyeragaman konsumsi di NTT, yang didominasi oleh beras dan terigu yang didatangkan dari luar daerah, telah meningkatkan kerentanan pangan dan gizi masyarakat.

Ketergantungan pada “komoditas impor” ini membuat masyarakat rentan terhadap fluktuasi harga dan pasokan pangan. Upaya pemerintah dalam menyeragamkan pola konsumsi, seperti proyek food estate yang gagal, justru memperparah masalah ini.

****

OBROLAN kami perlahan mereda ketika gerbang besi tua berwarna perak penginapan Grha Syariah Vege Jawi berderit nyaring. Cahaya remang-remang dari dari dalam dan sekitar bangunan itu menambah kesan mistis, sementara aroma kayu dan tanah membawa suasana yang kuno sekaligus misterius.

Pengalaman kuliner Audy hari ini menggarisbawahi bahwa keberagaman makanan Indonesia mencerminkan kekayaan selera kita yang mungkin tidak cocok untuk semua orang. Dari kekayaan kuliner atau kudapan, kita seharusnya belajar untuk saling menghargai dan mengasihi atas perbedaan. 

Sebab itu, kejadian ini harus menjadi pelajaran bagi Jaringan GUSDURian dalam berkegiatan ketika memilih kuliner dan kudapan. Jangan sampai ada yang kelaparan karena “tidak bisa makan.”

Sama seperti desain dan atmosfer penginapan ini—meski sangat syahdu serta penuh irama toleran, mungkin tidak cocok untuk mereka yang takut setan. Jika ada yang tidak kamu setujui, mari kita diskusikan!

Penggerak Komunitas GUSDURian Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *