Terdapat tradisi lisan masyarakat Mamasa di Sulawesi Barat yang diwariskan melalui cerita/dongeng. Di kalangan masyarakat Mamasa, tradisi bercerita ini dikenal dengan istilah Toyolo atau Tiolo-olo. Kata toyolo berarti orang yang hidup pada masa lampau.
Dalam praktiknya, toyolo merupakan sebuah sesi di mana para pendongeng, sering kali merupakan anggota tua dari komunitas, berkumpul dan membagikan cerita-cerita yang telah diwariskan secara turun-temurun. Ini adalah momen penting dalam kehidupan sosial masyarakat Mamasa, di mana cerita-cerita tersebut dibagikan secara lisan.
Cerita toyolo sering kali dituturkan pada malam hari. Dalam kepercayaan masyarakat setempat, tidak boleh berlangsung pada siang hari, sebab penutur dan pendengarnya akan bungkuk. Jika terpaksa, di beberapa wilayah tertentu cerita harus didahului dengan kalimat bungku’ pata’ malolo boko’, yang artinya pematang sawah yang akan bengkok, punggung manusia tetap lurus.
Tradisi mendongeng toyolo sekadar hiburan semata, tetapi merupakan jembatan antara generasi, sebuah sarana pendidikan, dan cermin dari kearifan lokal yang mendalam. Toyolo adalah manifestasi budaya yang membuktikan bahwa cerita-cerita rakyat dapat mengajarkan banyak hal, mulai dari nilai-nilai moral hingga pemahaman tentang identitas dan sejarah komunitas.
Dari cerita toyolo, kita dapat mengenal beberapa makna, di antaranya: Pertama, mengandung banyak pesan moral. Setelah toyolo selesai diceritakan, pencerita biasanya akan menyampaikan pesan moral yang terkandung dalam cerita. Biasanya pesan-pesan itu diambil dari makna yang terkandung dalam alur cerita. Pencerita akan menyimpulkan sendiri apa pesan moral dari toyolo yang diceritakan. Satu cerita bisa mengandung banyak pesan.
Kedua, mengandung makna kesetaraan. Toyolo biasanya disampaikan oleh orang tua yang bercerita kepada anaknya. Namun anak-anak juga tidak dibatasi untuk bercerita. Mereka bisa bercerita bagi orang tua, ataupun sebaya mereka. Di sini, kita belajar tentang kesetaraan. Siapa saja boleh bercerita, yang terpenting adalah alur dan pesan cerita tersampaikan dengan baik.
Ketiga, sebagai sarana untuk menceritakan/mewariskan tradisi. Kadang-kadang dalam toyolo terdapat alur cerita yang menggambarkan tradisi orang terdahulu. Selain itu, sering juga disampaikan dengan bahasa tradisional dengan makna yang dalam. Keempat, memperhatikan waktu produktif. Bercerita toyolo dilakukan untuk mendidik dan menghibur anak-anak. Cerita tersebut disampaikan pada waktu malam supaya tidak mengganggu waktu bekerja saat siang hari. Siang hari dipakai untuk bekerja di sawah dan kebun, malam hari untuk mengajar dan menghibur anak-anak.
Kelima, mengandung makna teologis. Tidak sedikit cerita toyolo yang bercerita tentang hubungan manusia dengan yang Ilahi, Dewata. Biasanya kehadiran Dewata dalam toyolo digambarkan dalam wujud pohon, hewan, batu, dan lain sebagainya. Unsur ini mengajarkan kita tentang perjumpaan dengan Yang Maha Kuasa. Kita dapat berjumpa di mana saja, kapan saja dan dalam bentuk apa pun.
Keenam, mengajarkan untuk menjaga kelestarian alam. Cerita dalam toyolo yang berkaitan dengan hutan, gunung, atau sungai sering kali mengajarkan tentang pentingnya melestarikan lingkungan dan menghormati kekuatan alam.
Ketujuh, melatih daya ingat. Tradisi lisan merupakan tradisi yang diterima dan disampaikan secara langsung. Untuk menyambung cerita dari generasi ke generasi, diperlukan daya ingat dan memori yang memadai untuk menghafal dan menguasai semua unsur-unsur (nama, tempat, waktu, peristiwa, dll) yang ada dalam cerita. Melalui cerita toyolo, daya ingat kita akan terlatih untuk menyimpan banyak hal yang sesuai dengan isi cerita.
Kedelapan, sebagai hiburan. Menceritakan toyolo tidak selalu dengan suasana tegang dan serius. Bagi beberapa pendongeng, kadang-kadang juga diisi dengan cerita humor sebagai improvisasi agar pendengarnya tidak merasa jenuh. Demikianlah toloyo, tradisi ini masih dijaga turun temurun di Mamasa hingga sekarang, sebab mempunyai nilai-nilai luhur yang sangat kental.