Di Bangka Belitung, ada sebuah pelajaran yang diam-diam ditanamkan di antara ombak dan angin pantai. Sebuah pelajaran yang tidak berisik, tidak diumumkan, tapi terasa di setiap sudut jalan, di setiap deretan rumah ibadah yang berdiri bersisian. Masjid, kelenteng, gereja, pura—semua tegak berdiri seperti tetangga yang saling berbisik di antara doa-doa. Doa yang berbeda bunyinya, tapi entah bagaimana, semua mengalir ke langit yang sama.
Di sini, Thong Ngin Fan Ngin Jit Jong—kesetaraan dan kebersamaan antar-etnis—adalah napas yang dihembuskan tanpa terasa. Ia tidak perlu dikumandangkan di depan, tidak perlu diteriakkan. Masyarakat Bangka Belitung sudah lama paham bahwa hidup bersama adalah sesuatu yang lebih alami daripada meributkan perbedaan. Yang sama jangan dibedakan, yang beda jangan disama-samakan—begitu mereka hidup. Ada yang berbeda, tapi perbedaan itu tak perlu dipaksakan untuk seragam. Di sini, setiap orang paham bahwa Tuhan bisa ditemui di banyak pintu.
Dan mungkin kita bisa belajar dari Bangka Belitung. Dari bagaimana etnis Tionghoa dan Melayu hidup berdampingan tanpa perlu merasa terancam oleh siapa yang lebih dulu datang atau siapa yang lebih lama bertahan. Hidup di sana berjalan seperti air yang tahu betul ke mana ia mengalir. Tidak perlu ke mana-mana, cukup di sini, mengalir, memenuhi setiap celah tanpa mengubah bentuknya.
Masjid yang mengumandangkan azan di sebelah kelenteng yang membakar dupa—ini bukan hal yang luar biasa di Bangka Belitung. Gereja yang membunyikan lonceng tak jauh dari pura yang melantunkan kidung—ini adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Rumah-rumah ibadah ini, seperti manusia yang menghuni mereka, tahu bahwa perbedaan adalah teman lama. Di sini, tidak ada yang perlu diseragamkan. Tidak ada yang perlu diubah. Doa-doa itu tetap mengalir ke Tuhan yang sama, meski mereka dilantunkan dengan cara yang berbeda.
Mungkin inilah yang dimaksud demokrasi di Indonesia yang sebenarnya. Bukan hanya tentang suara yang dihitung setiap lima tahun sekali, tapi tentang bagaimana kita menjalani kehidupan sehari-hari. Tentang bagaimana kita bisa menerima tetangga yang tidak sama dengan kita, tentang bagaimana kita bisa hidup tanpa harus terus-menerus merasa perlu mengubah satu sama lain. Demokrasi adalah tentang ruang, bukan tentang menyeragamkan isi ruang itu. Dan di Bangka Belitung, mereka paham betul bahwa ruang yang mereka tempati adalah milik bersama, meski cara mereka berjalan di dalamnya berbeda.
Di luar sana, Indonesia sedang diguncang polarisasi. Orang-orang saling curiga, saling merasa benar. Mereka takut dengan perbedaan, seolah-olah perbedaan adalah ancaman yang harus dihancurkan. Tapi lihatlah Bangka Belitung. Di sana, orang tahu bahwa perbedaan tidak perlu diusir. Mereka tahu, bahwa yang sama tidak perlu dibedakan, dan yang berbeda tidak harus disama-samakan. Mereka tahu, bahwa hidup berdampingan adalah satu-satunya cara agar rumah ini tetap tegak.
Dan mungkin, Indonesia bisa belajar dari cara Bangka Belitung merawat rumah-rumahnya. Dari cara rumah-rumah ibadah yang berdiri tenang, tak tergesa-gesa untuk meruntuhkan satu sama lain. Masyarakat di sana tahu bahwa kebersamaan tidak harus dilahirkan dari keseragaman. Bahwa rumah yang baik adalah rumah yang memberi ruang bagi semua orang untuk menjadi dirinya sendiri, tanpa harus merasa dihakimi.
Gus Dur pernah bilang, “Yang penting bukan agamamu apa, tapi bagaimana kamu bisa berbuat baik untuk sesama.” Di Bangka Belitung, kebaikan itu dijalankan tanpa banyak bicara. Kebaikan itu ada di pasar-pasar, di jalan-jalan, di rumah-rumah ibadah yang saling mendengar. Kebaikan itu adalah kebersamaan yang lahir dari kesadaran bahwa hidup tak perlu selalu sama untuk bisa berjalan berdampingan.
Di tengah-tengah riuh rendah polarisasi yang membelah bangsa ini, Bangka Belitung mengajarkan kita bahwa demokrasi tidak perlu datang dari suara yang seragam. Demokrasi, pada akhirnya, adalah tentang bagaimana kita bisa hidup bersama, bagaimana kita bisa memberi ruang bagi yang berbeda untuk tetap menjadi dirinya sendiri, tanpa merasa terasing.
Rumah-rumah ibadah di Bangka Belitung adalah simbol dari demokrasi sosial yang hidup dalam diam. Mereka saling mendengar, saling memeluk, tanpa perlu memaksa. Di dalam doa-doa mereka, tersimpan harapan yang sama—bahwa kehidupan ini bisa terus berjalan dalam kedamaian, tanpa harus meruntuhkan satu sama lain. Dan mungkin, itulah yang kita butuhkan sekarang. Sebuah kesadaran bahwa perbedaan bukanlah ancaman, melainkan jembatan menuju kebersamaan yang lebih kuat.