GORONTALO – Gardu GUSDURian dan Desk Pilkada Nahdlatul Ulama Gorontalo menggelar agenda yang bertajuk “Sosialisasi Pengawasan Partisipatif dan Pencanangan Kampung Anti-Politik Uang” di Nafil Cafe & Resto, Depan Kampus 4 Universitas Negeri Gorontalo pada Rabu (20/11/2024) malam.
Hadir memberikan sambutan di antaranya Ketua PWNU Gorontalo Drs. Ibrahim T. Sore, M.Pd.I dan Staf Ahli Gubernur Bidang Pemerintahan, Hukum dan Politik Taufik Sadiki, dan Staf Ahli Bidang SDM Krisyanto Ruchban.
Agenda ini juga turut dihadiri Camat Bulotalangi dan beberapa perangkat kelurahan sekaligus menerima penghargaan sebagai Kelurahan Anti-Politik Uang. Selain pemberian penghargaan peserta dan warga Desa Bulotalangi bersama-sama menandatangani pakta integritas menolak politik uang menjelang Pilkada 2024. Agenda ini terselenggara atas kerja sama Bawaslu dan KPU Kabupaten Bone Bolango.
Dalam agenda tersebut, pemaparan materi naskah Fiqh Pilkada oleh KH. Abdullah Aniq Nawawi, LC. MA dan Pemaparan visi besar Desk Pilkada NU oleh Dr. Funco Tanipu, MA kepada peserta dan warga Bulotalangi, Kecamatan Bulango Timur sebagai sasaran pencanangan Kampung Anti-Politik Uang.
Dalam pemaparanya, Funco Tanipu mengatakan bahwa Ini merupakan agenda kedua dari sekitar sepuluh lokasi yang dipilih oleh PWNU dalam rangka partisipasi di momentum pilkada Tahun ini. Desk Pilkada ini juga merupakan badan Ad hock PWNU dalam rangka me-review, mengkaji dan meneliti dan membangun partisipasi serta mengedukasi pendidikan politik. Menurutnya setelah pelaksanaan pemilu pada tanggal 14 Februari 2024, PWNU menemukan kritik pelaksanaan pemilu di Gorontalo.
“Secara kuantitatif partisipasi politik naik dari waktu ke waktu, secara data per masing-masing TPS dominan naik 80-90%. Partisipasi dalam konteks ini adalah sejumlah orang yang datang ke TPS untuk memberikan hak suaranya. Sayangnya, kita tidak pernah benar-benar memiliki data secara detail terkait partisipasi ini. Artinya orang datang ke TPS motif dan tujuannya apa? Kita tidak tahu. Apakah sekadar menentukan pemimpin memang panggilan jiwa atau ada faktor-faktor yang lain. Temuan kami sementara, sebagian besar orang datang ke TPS karena dimobilisasi oleh uang,” ujarnya.
Kemudian ia juga menambahkan soal problem substantif dan prosedural.
“Secara prosedural semua pelaksanaan pemilu atau pemilukada berjalan dengan baik, akan tetapi secara substansi keropos. Hal ini dikarenakan demokrasi bergerak secara signifikan karena faktor uang,” tambahnya.
Berbeda dengan pemilu, kuota perempuan di pilkada tidak diatur. Hal ini bisa terjadi karena secara sosiologis sebagian besar masyarakat masih memiliki dogma perempuan tidak bisa jadi pemimpin. Dalam suatu daerah seharusnya Indeks Pemberdayaan Gender harusnya naik, sementara Indeks Kesenjangan Gender harusnya turun, tetapi di enam Kabupaten/Kota di Gorontalo terjadi Indeks Pemberdayaan Gender Turun dan Indeks Kesenjangan Gender Naik di Tiga daerah di Gorontalo.
Sementara itu, Funco Tanipu juga mengkritisi soal pemilu dan pemilukada tidak menyejahterakan.
“Partisipasi politik naik, secara prosedur berjalan dengan baik, akan tetapi kesejahteraan tidak linier yang seharusnya secara persilangan ketemu. Hal ini bisa terjadi karena banyak faktor, salah satunya karena literasi rendah yang secara langsung berhubungan dengan aktivitas dan pertumbuhan ekonomi, maka wajar angka kemiskinan Gorontalo secara persen masuk sepuluh besar di Indonesia. Sehingga pelaksanaan demokrasi baik, tetapi hasilnya belum bisa menyejahterakan. Ini yang menjadi problem dan kritik kita bersama, oleh karena itu PWNU membentuk Desk Pilkada dalam rangka membangun partisipatif yang lebih kritis,” tegasnya.
Sejalan dengan itu, Abdullah Aniq Nawawi dalam pemaparannya menjelaskan tentang politik uang (money politic). Menurutnya politik uang tidak hanya menyoal suap, akan tetapi juga soal politik patronase dan klientelisme.
“Membicarakan politik uang merupakan tema yang cukup dilematis, di satu sisi kita harus mengatakan haram dan tidak boleh, karena baik tinjauan hukum positif dan hukum agama ini tidak boleh, akan tetapi di sisi yang lain secara data masyarakat indonesia yang menolak politik uang hanya sepuluh persen,” paparnya.
Menurutnya, dalam pandangan agama Islam sangat jelas dan gamblang melarang politik uang. Ada sebuah hadis yang menjelaskan ada tiga kelompok yang dilaknat oleh Allah yakni, penyuap, yang disuap, dan pihak yang menjadi perantara. Tetapi di riwayat yang lain menjelaskan Allah tidak akan menyejahterakan sebuah bangsa ketika orang kecil tidak punya peluang sejahtera seperti orang besar.
“Ketika kita membaca politik uang tidak bisa hanya dari kacamata sogok-menyogok, tetapi harus dari kacamata patronase-klientelisme. Karena politik patronase-klientelisme adalah perbudakan politik, karena ada pihak patron (aktor politik) dan ada pihak sebagai klien (civil society). Klien dalam hal ini membutuhkan hak-haknya dipenuhi, maka karena keadaan yang memaksa ini terjadilah transaksi, hal ini yang kemudian membuat klien (civil society) tidak punya hak protes karena ada transaksi. Proses ini tidak dibenarkan sama sekali karena bertentangan dengan agama Islam, karena kekuatan seharusnya kontrol kebijakan publik adalah civil society,” ungkapnya.
Ia juga menambahkan bahwa Nahdlatul Ulama tidak bersepakat jika cara mengentaskan politik uang hanya fokus di hilir, akan tetapi hulunya tidak diperbaiki seperti kondisi sosial, kemiskinan, dan aktor politik yang memiliki kemampuan sogok-menyogok tidak ditindak.
Dalam pagelaran sosialisasi dan pencanangan Kampung Politik Uang itu juga, dua narasumber memberikan penutup, Funco Tanipu menginginkan organisasi mahasiswa dan masyarakat sipil melakukan kritik secara berkala. Kritik tidak hanya berbasis isu, akan tetapi juga harus berbasis data, terlibat di RPJMD sebagai pengontrol.
Sementara Abdullah Aniq Nawawi menyampaikan rusaknya tatanan masyarakat disebabkan karena rusaknya pemimpin, sementara rusaknya pemimpin karena rusaknya tokoh agama dan masyarakat sipil.