Kapan Lelucon Menjadi Tidak Lagi Lucu?

Siapa yang tidak suka mendengar pendakwah yang bisa membuat tawa pecah di tengah ceramah? Atau seorang “so-called” Gus yang menggunakan humor untuk menyampaikan nilai-nilai kemanusiaan?

Mungkin kamu pernah mendengar humor Gus Dur dengan Mahfud MD tentang orang Madura yang banyak akal dan cerdik.

Begini ceritanya: Seorang tukang becak asal Madura kepergok oleh polisi ketika memasuki kawasan bertanda “Becak Dilarang Masuk”. Polisi itu segera menghentikan tukang becak yang dianggap melanggar aturan.

“Apa kamu tidak melihat tanda itu? Becak tidak boleh masuk jalan ini!” kata polisi dengan nada keras.

“Oh, saya lihat, Pak. Tapi itu kan gambarnya becak kosong, tidak ada orangnya. Becak saya kan ada orangnya, jadi boleh masuk,” jawab tukang becak dengan santai.

Polisi yang kesal langsung membentak, “Bodoh! Apa kamu tidak bisa baca? Di bawah gambar itu jelas ada tulisan ‘Becak Dilarang Masuk’!”

Dengan wajah polos, tukang becak itu tersenyum kecil dan berkata, “Tidak, Pak. Saya memang tidak bisa baca. Kalau saya bisa baca, ya saya pasti jadi polisi seperti sampeyan, bukan jadi tukang becak begini.”

Mungkin kamu akan tertawa membaca humor di atas, sebab pesan moralnya yang lucu namun menggugah. Humor seperti ini memberi ruang untuk siapa saja mengartikannya, bahkan mengaitkannya dengan peristiwa di sekitar kita.

Misalnya, dengan tragedi penembakan Kasat Reskrim AKP Ulil Ryanto Anshari oleh AKP Dadang Iskandar pada 22 November 2024, atau insiden penembakan Gamma Rizkynata Oktafandy oleh Aipda RZ di Semarang pada 24 November 2024.

Humor memang bisa mencairkan suasana dan mendekatkan hati pendengar. Namun, di balik tawa itu, terdapat tanggung jawab besar. Bagaimana kita memastikan humor yang kita sampaikan tidak hanya menghibur, tetapi juga mendidik dan menginspirasi? 

Sayangnya, tidak sedikit orang yang menganggap humor sebagai alasan untuk menyampaikan hal-hal yang tidak bijak. Termasuk, tidak sedikit seseorang so-called kiai, gus, atau ustaz yang, dengan dalih humor dan candaan dalam ceramahnya, justru menyampaikan hal-hal yang menyakitkan saat didengar.

Contohnya adalah pengalaman Suharji, atau Pakde, mantan tukang kayu yang kini berjualan es teh. Alih-alih memilih menjadi presiden, ia bekerja keras sebagai penjual es teh bakul untuk menyekolahkan kedua anaknya dan menafkahi keluarganya.

Namun, dalam sebuah pengajian di pondok pesantren di Magelang, Gus Miftah—yang kini menjabat sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan—melontarkan candaan yang bisa saja dianggapnya humor, tetapi sama sekali tidak elok.

Awalnya, ia bertanya pada Pakde dalam bahasa Jawa, “Es tehmu seh okeh ra? (Es tehmu masih banyak?) Masih? Yo kono didol goblok (Ya sana dijual, bodoh),” yang disambut gelak tawa dari para hadirin.

Lalu, Gus Miftah melanjutkan, “Dolen disek, ngko lak durung payu, wes, takdir (Jual dulu, kalau belum laku, ya sudah, takdir).”

Menggoblok-goblokkan orang di depan umum, meskipun dengan dalih humor, adalah perbuatan yang mengerikan. Terlebih lagi, setelah kata-kata menghina itu diucapkan, para jamaah dan beberapa orang yang mendampinginya di atas mimbar justru terbahak-bahak, seolah-olah mereka setuju dengan penghinaan tersebut.

Apa yang ada dalam pikiran orang yang menganggap penghinaan sebagai bahan humor? Apakah kita akan menerima itu sebagai sesuatu yang lucu, terlebih di depan umum, di dalam majelis pengajian yang disiarkan di berbagai media?

Saya tidak tahu bagaimana rasanya bagi Pakde, yang wajahnya tampak masam dalam video yang saya lihat. Namun, saya mengerti betul bagaimana rasanya menjadi pedagang keliling.

Ya, saya pernah menjalani hidup sebagai pedagang serbet keliling di Pulau Bangka saat menyelesaikan penelitian skripsi. Waktu itu pandemi Covid-19 melanda, dan provinsi Kepulauan Bangka Belitung terisolasi, baik lewat laut maupun udara. Saya pun terjebak di sana selama berbulan-bulan.

Sama seperti Pakde dalam cerita Gus Miftah, atau tukang becak dalam humor Gus Dur, omzet kami kadang hanya menyentuh Rp10.000 per hari. Rasanya seperti bertahan di tepi jurang, hanya mengandalkan semangat dan doa semata.

Last but not least, humor memang memiliki daya tarik tersendiri. Ia bisa membuat kita tertawa, mengurangi ketegangan, bahkan mendekatkan kita satu sama lain. Itu sebabnya Gus Dur sering kali menggunakan humor untuk mengkritik dan mendidik, mengemas pesan-pesan penting dengan cara yang ringan namun tajam.

Saya sendiri tidak yakin bahwa apa yang dialami Pakde itu bisa disebut humor; itu lebih tepat disebut sebagai umpatan. 

Namun yang jelas, orang-orang mustadh’afin seperti Pakde, yang hidup dalam kesederhanaan dan ketulusan, doanya mudah diterima oleh Tuhan yang Maha Lembut. Sebaliknya, seseorang yang mengaku wakil Tuhan atau ulama, namun berbicara dengan kata-kata kasar, seharusnya kita pertanyakan kredibilitasnya.

Sebab itu, dalam setiap tawa yang tercipta, kita harus mengingat esensi kemanusiaan, bahwa setiap individu berhak dihargai dengan penuh martabat. Sekali lagi, humor seharusnya menjadi sarana untuk menyatukan, mengangkat, dan menguatkan, bukan sebaliknya merendahkan kemanusiaan.

Meskipun demikian, ada banyak hal dalam kehidupan kita yang patut kita tertawakan. Seperti kata Charlie Chaplin, “Life is a tragedy when seen in close-up, but a comedy in long-shot.”

Penggerak Komunitas GUSDURian Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *