MANADO – Dalam rangka memperingati Haul Gus Dur ke-15, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado bersama Komunitas GUSDURian Manado menggelar seminar kolaboratif bertajuk “Eco-Harmoni dalam Semangat Deklarasi Istiqlal: Pengalaman dan Aksi Umat Beragama di Sulawesi Utara” di Aula Gedung Rektorat IAIN Manado, Kota Manado, Sulawesi Utara, pada Senin (9/12).
Deklarasi Istiqlal yang menjadi tema ini merupakan deklarasi yang ditandatangani oleh Sri Paus dan Imam Besar Masjid Istiqlal dan disaksikan oleh pemimpin agama-agama di Indonesia untuk mencoba menjawab keraguan akan peran agama-agama terhadap masa depan planet bumi. Lewat Deklarasi Istiqlal dibangun kesamaan rasa dan kesadaran akan krisis tersebut dan diserukan semangat bersama agama-agama dalam menghadapi krisis global tersebut.
Seminar ini dibuka oleh sambutan Rektor IAIN Manado Ahmad Rajafi dan menghadirkan beberapa narasumber dari berbagai latar belakang, yaitu Pemerhati Lingkungan Deeby Momongan, Ketua Tanfidziyah PCNU Manado Rikson N. Hasanati, Dewan Pakar Matakin Indonesia Wenshi S. Jimmy Yosadi, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia I Dewa Gianyar, Ketua Vihara Arama Kebun Kesadaran Kolongan Herdy Munayang, Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng Evaristus Angwarmase, dan dua orang Penghayat Kepercayaan LAROMA Iswan Sual serta Paul Tirajoh. Acara ini dipandu oleh Ali Amin sebagai moderator.
Dalam sambutannya, Ahmad Rajafi mengungkapkan bahwa kegiatan seminar kolaboratif dengan tema besar Eco-Harmoni ini mengupayakan tokoh agama, penghayat kepercayaan, hingga pemerhati lingkungan, agar dapat memberikan gagasan-gagasan terkait dengan isu lingkungan yang akhir-akhir ini menjadi polemik di dunia.
“Selain itu juga menjadi konsolidasi awal untuk terus memperhatikan isu lingkungan, baik di tingkat komunitas maupun seluruh masyarakat.” terang tuan rumah IAIN Manado tersebut.
Memasuki sesi talkshow, Deeby Momongan menyebut bahwa polemik terkait dengan isu lingkungan ini memang menjadi masalah serius dan perhatian khusus, bukan hanya pada komunitas-komunitas keagamaan tetapi juga kepada seluruh masyarakat. Isu lingkungan ini terjadi karena kuatnya sistem kapitalisme yang mengakibatkan eksploitasi besar-besaran terhadap alam.
“Hal ini menjadi tanggung jawab kita bersama, di antaranya adalah mandiri soal pangan dan pengurangan tindakan konsumtif,” papar Deeby.
Sejalan dengan itu, Rikson N. Hasanati mengatakan bahwa NU (Nahdlatul Ulama) sebagai salah satu organisasi Islam di Indonesia lebih khususnya NU di Manado, sampai hari ini selalu melakukan partisipasi aktif dalam melakukan kerja sosial maupun lingkungan.
“Contohnya ketika terjadi banjir di Manado, teman-teman NU Manado sigap membantu para masyarakat yang terkena dampak banjir, juga bersama dengan IPNU dan IPPNU melakukan aksi menanam pohon di Gunung Soputan. Upaya-upaya tersebut dilakukan sebagai semangat untuk menjaga lingkungan,” ungkapnya.
Sementara itu, Wenshi S. Jimmy Yosadi mengungkapkan bahwa dalam agama Konghucu, konsep lingkungan hidup berkaitan dengan etika dan kebajikan, atau yang dikenal dengan istilah “Ren”. “Umat Konghucu percaya bahwa alam semesta dan bumi adalah tempat hidup manusia dan makhluk hidup lainnya, sehingga manusia wajib menjaga kelestarian alam,” terangnya. Wenshi Yosadi juga mengapresiasi serta turut mendorong terus kegiatan diskusi semacam ini, memunculkan gagasan-gagasan baru tentang ekologi.
Di sisi lain, Herdy Munayang menyebut bahwa dalam ajaran Buddha menekakan kepada manusia agar menjadikan alam sebagai mitra, bukan musuh karena merupakan bagian dari kehidupan manusia. Karena alam memiliki sifat tidak kekal (anicca), penderitaan (dukkha), dan tidak ada yang abadi (anatta).
“Hal yang selalu dilakukan dalam menjaga lingkungan dalam ajaran Budha, di antaranya menghemat energi, kurangi penggunaan kertas, serta selalu melakukan penghijauan kembali. Beberapa organisasi Buddhis sering menyelenggarakan kegiatan untuk lingkungan, seperti gerakan Buddha Tzu Chi yang mendaur ulang sampah dan melestarikan alam,” jelas Herdy.
Evaristus Angwarmase mengatakan bahwa dalam iman Katolik, menjaga lingkungan merupakan bagian dari iman dan tugas manusia sebagai ciptaan Allah.
“Umat Katolik selalu percaya bahwa menjaga lingkungan adalah bentuk kepedulian terhadap bumi dan merupakan wujud cinta, hormat, dan iman kepada sang pencipta. Hal tersebut juga ditekankan oleh Paus Fransiskus ketika datang ke Indonesia, untuk selalu memperhatikan dan menjaga lingkungan,” ungkap pria yang akrab disapa Pastor Evaristus tersebut.
Terakhir, Iswan Sual dari perwakilan Penghayat Kepercayaan LAROMA menjelaskan bahwa para leluhur terdahulu selalu berupaya untuk menjadi bagian dari alam itu sendiri, karena manusia hidup dari alam dan juga akan kembali ke alam.
“Sehingga sepatutnya kita menjaga alam ini untuk anak-cucu kita ke depan nanti,” ungkap Iswan.
Acara ini dibuka dengan doa untuk meminta izin dan mengharapkan petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa agar kegiatan yang dilaksanakan berjalan dengan lancar dan menghasilkan gagasan-gagasan baru tentang ekologi dan diakhiri dengan doa.
Pengunjung yang berjumlah 40 orang juga terlihat antusias mengikuti sesi diskusi dalam acara ini. Selain sebagai peringatan Haul Gus Dur ke-15, diskusi ini juga diadakan dalam rangka menyambut acara Bali Interfaith Movement pada tanggal 14 dan 15 mendatang, di mana Jaringan GUSDURian menjadi salah satu penyelenggara di dalamnya.
Harapannya, seminar kolaboratif ini dapat memberi sumbangsih pemikiran dan komitmen pada terciptanya harmoni manusia dan alam, serta menjadi ruang saling bertukar inspirasi para akademisi, aktivis, dan pemuka agama di Sulawesi Utara.