Ekonomi Indonesia di Era Gus Dur

Ketika perayaan Haul Gus Dur Ke-15 di Pondok Pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan, putri kedua KH Abdurrahman Wahid, Hj Zannuba Ariffah Chafsoh, yang akrab disapa dengan panggilan Yenny Wahid mengatakan: “Jika Gus Dur masih ada, saya yakin beliau akan berdiri bersama rakyat kecil dan mengatakan, ‘Hentikan rencana ini. Prioritaskan kesejahteraan rakyat, bukan hanya angka-angka di atas kertas!’”.

Yenny Wahid mengingatkan kepada kita semua tentang warisan Gus Dur sebagai pemimpin yang berpegang pada prinsip “Tasharruf al-Imam ala ar-ra’iyyah manuthun bi al-maslahah”, artinya, kebijakan pemerintah atas rakyatnya harus didasarkan pada kemaslahatan. Prinsip tersebut yang menjadikan Gus Dur sebagai pemimpin yang mengutamakan masyarakat, bukan untuk melayani dirinya sendiri.

Pernyataan tersebut tidak lain dan tidak bukan merupakan respons keluarga Gus Dur atas kebijakan pemerintah yang hendak menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% di awal tahun 2025 di tengah kondisi daya beli yang melemah, sedangkan harga kebutuhan pokok semakin meningkat dan tidak sedikit kelas menengah kehilangan posisinya.

Hingga akhirnya, di penghujung tahun 2024, kita mendengar langsung keputusan presiden Prabowo Subianto yang mengatakan bahwa PPN 12% hanya untuk barang dan jasa mewah saja.

Dari ungkapan dan berita tersebut, saya jadi penasaran alias ‘kepo’ dengan bagaimana kondisi perekonomian Indonesia ketika dipimpin oleh presiden ke-4, dan saya pun menemukan satu bunga rampai yang berjudul “Gus Dur and the Indonesian Economy” yang diterbitkan oleh Institute of Southeast Asia Studies (ISEAS), Singapore, yang akan sedikit saya ulas pada tulisan singkat ini.

Kebijakan Kontroversi

Lain pemimpin, lain pula agenda serta kebijakannya. Begitu juga kebijakan selama 20 Oktober 1999 sampai 23 Juli 2001 di tangan sosok Gus Dur yang terkenal kontroversial, sehingga melahirkan kebijakan yang sama kontroversialnya.

Berdasarkan laman Indonesiabaik.id, Gus Dur mengeluarkan sejumlah kebijakan kontroversial, seperti upaya mengubah independensi BI melalui amandemen UU BI, penetapan bea masuk impor mobil mewah untuk KTT G-15 sebesar 5% yang seharusnya 75%, serta otonomi daerah yang memungkinkan pengajuan pinjaman luar negeri. Hal-hal tersebut lantas memicu protes publik di tengah situasi ekonomi yang memburuk pasca-pemerintahan BJ Habibie.

Kemudian, nilai tukar Rupiah melemah dari Rp7.500 per Dollar AS (1999) menjadi Rp9.800 (2001), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun dari 580 ke 458, dan pertumbuhan ekonomi melambat dari 5% (2000) menjadi 3,6% (2001), sementara inflasi melonjak dari 2% (1999) menjadi 12,6% (2001), yang semakin menambah keresahan masyarakat dan investor.

Meski demikian, pemerintahan kabinet Persatuan Nasional tetap memiliki sejumlah pencapaian, seperti kebijakan desentralisasi fiskal, upaya mengurangi tingkat kemiskinan melalui program pengembangan kecamatan. Tak hanya itu, berbagai proyek pedesaan juga dijalankan, seperti pembangunan infrastruktur berupa jalan, jembatan, saluran irigasi, dan sanitasi, serta pemberian bantuan Kredit Usaha Mikro.

Melalui reformasi ekonomi dan desentralisasi, Gus Dur mendorong pelaksanaan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan anggaran dan pembangunan ekonomi lokal. Meskipun pada saat itu pelaksanaannya bermasalah, kebijakan ini menjadi pondasi penting bagi kebijakan otonomi daerah di Indonesia pada pemerintahan selanjutnya.

Pemerataan Ekonomi

Berbeda dengan Orde Baru atau pemerintahan setelahnya, presiden ke-4 Republik Indonesia lebih menekankan pada pemerataan ekonomi (economic equality) dibanding peningkatan ekonomi (economic growth). Pertumbuhan ekonomi merujuk pada peningkatan jumlah barang dan jasa yang diproduksi dalam periode tertentu, yang biasanya diukur melalui Produk Domestik Bruto (PDB). PDB mencatat nilai total semua barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara dalam satu waktu tertentu.

Pertumbuhan ekonomi yang akan mendorong investasi, inovasi, dan efisiensi dalam produksi, di satu sisi, memiliki dampak positif seperti menciptakan peluang ekonomi baru, meningkatkan pendapatan per kapita, dan menurunkan tingkat pengangguran. Namun di sisi lain, perhitungan PDB dalam pertumbuhan ekonomi sering kali tidak mencerminkan distribusi pendapatan, kualitas hidup, atau kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

PDB mengabaikan kontribusi ekonomi informal, kerja sukarela, dan pekerjaan rumah tangga, serta tidak memperhitungkan dampak lingkungan atau kualitas barang dan jasa. Selain itu, PDB juga tidak mencerminkan aspek sosial seperti kebahagiaan atau keamanan, dan perbandingannya antarnegara sering kurang akurat tanpa penyesuaian tertentu.

Sedangkan, kesetaraan ekonomi berkaitan dengan distribusi pendapatan dan kekayaan di masyarakat. Pasalnya, ketimpangan ekonomi yang terjadi karena kekayaan terkonsentrasi hanya pada sebagian kecil populasi dapat memicu kesenjangan sosial. Dengan pemerataan ekonomi, masyarakat akan memiliki akses yang lebih merata terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan peluang kerja. Hal ini tidak hanya meningkatkan kesejahteraan sosial secara keseluruhan, tetapi juga mengurangi risiko konflik sosial dalam masyarakat.

Akhirul Kalam

Secara keseluruhan, perekonomian Indonesia di era Gus Dur tidak dapat dinilai baik secara umum karena tantangan makro ekonomi yang signifikan, kebijakan yang kontroversial, dan ketidakstabilan politik yang mendalam pasca rezim Orde Baru. Namun, beberapa kebijakan, seperti desentralisasi, memberikan warisan penting bagi pembangunan ekonomi jangka panjang. Kritik terhadap kinerja ekonomi Gus Dur sering kali dipengaruhi oleh konteks politik yang tidak stabil, yang turut memperumit penilaian objektif terhadap prestasi ekonominya.

Wa Allahu A’lam.

Penggerak GUSDURian Bogor & Pengajar di Pesantren Ekologi Misykat Al Anwar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *