Kemarin sore (9/1) seakan saya tertampar oleh seorang penjual gorengan yang biasa berjualan di samping musala Baitus Salam, area pesantren yang saya kelola. Pak Sobirin namanya. Kala itu ada pesanan wajan penggoreng yang masuk di hape istri saya. Lalu, dia meminta saya untuk menemaninya, mengantar ke rumah Pak Sobirin.
Sudah setahun lebih tidak pernah terlihat jualan. Setiap menjelang maghrib, wajah bertopi itu selalu rutin menjajakan dagangannya di sekitar pesantren. Motor bebek dan alat perangnya (kompor, tabung gas, dan bumbu olahan) ditaruh di bagian belakang motornya. Itulah perangkat yang biasa dibawa Pak Sobirin ke mana-mana untuk menghidupi keluarganya.
“Saya sakit sudah lama mas, kaki saya diamputasi, karena terkena diabet akut,” terangnya.
Mata saya pun langsung melotot melihat area kaki yang tertutup selimut. “Oh iya, beneran. Ternyata beliau selama ini sakit, sudah lama. Pantas saja tidak pernah kelihatan jualan,” gumam saya.
Sebelum datang ke rumah beliau—istri saya sempat mengajak beliau COD-an. Namun Pak Sobirin menolak, menyuruh istri langsung ke rumah saja. Karena kami tidak tahu kondisi yang terjadi.
“Mas Ali orang Josari sudah ke sini, mas,” jelasnya. Mas Ali adalah warga desa kami yang juga penyandang disabilitas. Ia terbiasa merangkul para kaum difabel dan menjadi penggerak di kalangan disabilitas. Seperti ketika ada pekan olahraga untuk kalangan disabilitas, beliau yang menyediakan tempat untuk latihan.
Ketika melihat kondisi Pak Sobirin, hati saya bergemuruh, betapa nikmatnya saya yang masih diberi organ tubuh sempurna. Saat itu tersadarkan, bahwa kesehatan sangat mahal. Akan tetapi seseorang baru menyadari ketika ia jatuh sakit.
Orang-orang seperti Pak Sobirin pasti tidaklah sedikit, lalu bagaimana dengan kehadiran negara untuk kehidupan warga penyandang disabilitas ini? Mengingat difabel itu tidak melulu sejak lahir.
Dalam sebuah diskusi kecil-kecilan bersama komunitas Santri Gus Dur sekitar tahun 2016, Slamet Thohari (aktivis difabel) menyatakan bahwa kita yang saat ini sedang sehat, dalam arti punya organ tubuh sempurna beserta fungsinya, berpotensi menjadi disabilitas. Bisa jadi karena terserang penyakit atau jatuh karena kecelakaan. Kita tidak tahu.
Saya belum bertanya banyak hal kepada Pak Sobirin. Bagaimana daya juangnya untuk menghidupi keluarga selama ini, mengingat sebelumnya ia berjualan, lalu siapa yang saat ini menggantikan posisinya menafkahi keluarga?
Dan yang paling menohok lagi adalah beliau memesan alat penggorengan untuk kembali berjualan. Tidak tahu apakah dijajakan lewat online atau dengan cara lain, lewat pelanggan tetap, misalnya. Dari situ saya tertegun, iba, dan mengapresiasi cara dia untuk tetap survive di tengah segala keterbatasannya.
Terlibat dalam Jurnal GUSDURian
Ketika berkunjung ke rumah Pak Sobirin, saya jadi teringat dengan Jurnal GUSDURian edisi Yang Patah Tumbuh yang Hilang Intoleransi. Perlu pembaca ketahui, bahwa Jurnal GUSDURian ini sudah terbit dua edisi. Jurnal ini berbeda dengan jurnal akademik yang menggunakan bahasa melangit, penuh kredo catatan kaki, dan terindeks scopus.
Jurnal ini semacam cerita komunitas selama mereka melakukan pendampingan atau advokasi. Ada banyak isu, tergantung fokus masing-masing komunitas. Ada yang menulis tentang refleksi kegiatan keberagaman, sekolah alam, pendampingan kaum marginal, hingga pemberdayaan kepada penyandang disabilitas.
Kebetulan beberapa bulan yang lalu, saya diminta menjadi salah satu pendamping penulis-penulis dari komunitas GUSDURian. Salah satunya, Nurul Hanivah (penggerak GUSDURian Kebumen), yang membahas tentang Rumah Inklusif yang mendampingi dan memberdayakan para penyandang difabel di daerah Kebumen, Jawa Tengah.
Nurul bercerita, bahwa di daerahnya itu, pemerintah kabupatennya pernah mendeklarasikan diri sebagai kota inklusi. Bahkan pernah mendapatkan penghargaan nasional sebagai kabupaten terbaik dalam Penilaian dan Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pelayanan Publik (PEKPPP) (hlm. 57), namun realitasnya jauh dari penghargaan yang didapatkan. Misalnya, banyak tempat-tempat umum yang tidak ada toilet khusus difabel, dan juga layanan umum belum sepenuhnya memprioritaskan warga disabilitas.
Kegelisahan saya tentang kelompok disabilitas supaya mendapatkan ‘perhatian lebih’ oleh negara atau pemerintah sepertinya masih jauh. Belum lagi orang-orang di sekitar yang belum aware tentang isu ini, bahkan apa yang disampaikan oleh Nurul, kehadiran Rumah Inklusi di Kebumen—yang ditulisnya, berawal dari bullying yang dialami oleh anak Pak Murtajib, Ahimsa.
Saya rasa isu ini harus terus digaungkan. Supaya warga negara memiliki hak yang setara. Terutama mendapatkan kesempatan yang sama dan penghidupan yang layak. Semoga pemerintah lebih banyak mendengar dan aware terhadap isu ini. Mengulang ucapan Slamet Thohari, setiap pejabat negara juga berpotensi menjadi disabilitas, bukan?