Dalam perjalanan hidup kita, acapkali diperhadapkan pada realitas eksistensi pemali atau larangan atau pantangan yang selama ini masih jarang dijelaskan secara rasional, atau bahkan belum pernah. Pemali bisa berbentuk larangan sosial atau bahkan kepercayaan-kepercayaan yang diwariskan turun temurun, laiknya di kehidupan masyarakat Mandar.
Salah satu pendapat menyebutkan bahwa pemali adalah bagian dari ussul. Di mana posisinya merupakan perlakuan terbalik. Artinya, kalau ussul dijalankan dengan tindakan-tindakan positif untuk menarik-mengundang hal positif dari alam semesta, sementara pemali adalah hal negatif yang tidak boleh dilakukan karena berpotensi mengundang hal-hal yang negatif pula.
Di sisi lain, sebagian dari kita, cenderung mengandalkan kekuatan pikiran untuk menghukumi valid dan tidaknya pemali tersebut. Lebih mengandalkan kekuatan akal dalam memberikan penilaian. Dalam menjalani hidup, kita sering kali “dipaksa” untuk menyeimbangkan keduanya: mengikuti larangan yang kadang tidak bisa dijelaskan secara rasional, sementara tetap mengutamakan pikiran logis dan ilmiah. Oleh karena itu, dalam narasi ini, penulis mencoba menguraikan beberapa pendekatan yang mengerahkan pada konsep rasionalitas pemali.
Pemali dan Tradisi Orang Mandar
Bagi saya, pemali sering kali terkesan sebagai sesuatu yang datang dari luar diri, suatu bentuk kewajiban yang dibebankan oleh masyarakat atau tradisi yang lebih besar. Ketika saya mengingat masa kecil, saya teringat banyak sekali pemali yang diajarkan oleh orang tua.
Ada yang mengatakan, “Jangan tidur terlalu siang, nanti badanmu lemas,” atau, “Jangan menyapu malam-malam, nanti rezeki kamu bisa terhambat.” Pada saat itu, saya tidak pernah merasa perlu mempertanyakan mengapa hal-hal tersebut harus dipatuhi. Saya hanya tahu bahwa melanggar pemali tersebut akan membawa akibat yang tidak baik.
Hal ini membuat saya berpikir, bahwa budaya pemali ini bukan sekadar larangan yang tidak memiliki arti, melainkan lebih sebagai pengingat untuk menjaga keharmonisan dalam hidup. Pemali dalam budaya seolah mengatur ritme kehidupan agar tetap seimbang, antara diri manusia, sesama, dan alam semesta.
Pemali dalam Perspektif Agama
Pandangan agama mengenai pemali memang lebih terasa jelas. Seperti yang kita tahu, agama sering kali memberikan peraturan yang bersifat mutlak dan tidak bisa ditawar, di luar batas pemahaman rasional kita. Dalam agama saya, misalnya, terdapat berbagai larangan yang tidak selalu bisa dijelaskan dengan logika manusia: larangan untuk mengonsumsi makanan tertentu, larangan melakukan tindakan tertentu, atau perintah untuk menjalani ibadah dengan cara tertentu.
Kadang, larangan itu tidak selalu tampak hubungannya dengan kehidupan sehari-hari. Bukankah Tuhan menciptakan dunia ini dengan segala sesuatu yang bisa dijelaskan melalui akal dan nalar? Mengapa harus ada larangan yang bersifat absolut dan tidak bisa diganggu gugat?
Walaupun, pikiran saya demikian, ada sesuatu yang mendalam dalam agama yang mengajarkan untuk meyakini bahwa segala yang diperintahkan memiliki tujuan yang lebih besar, meski saya belum sepenuhnya memahaminya. Tanpa saya sadari, ada sesuatu yang lebih besar yang mempengaruhi cara hidup saya.
Di masa-masa kuliah, ada pesan dari salah seorang dosen, “Tidak usah terlalu berpikir kritis terhadap ajaran agama yang diperintahkan, boleh jadi ilmu kita belum sampai di situ. Jalankanlah, karena kalau waktunya sudah sampai, engkau akan paham”, kurang lebih ucapannya seperti itu.
Penulis sadar betul dengan apa yang disampaikan oleh dosen tersebut. Ternyata, memang dasarnya akal kita ini terbatas. Bisa saja hari ini, ada persoalan yang tidak bisa dijangkau oleh akal manusia. Bukan karena tidak masuk akalnya, melainkan karena pada saat itu akal kita yang belum masuk. Kalaupun Tuhan akan memberikan pencerahannya, suatu saat akal ini akan dibuka, dan mengakuinya secara rasional.
Demikian halnya dengan pemali. Selama ini, akal kita belum memahaminya karena terbatas, tetapi di saat memang waktunya terbuka, maka sudah pasti akan bisa dijelaskan secara ilmiah.
Rasionalitas Pemali dalam Kajian Fisika Kuantum
Refleksi saya semakin berkembang ketika saya mulai membaca tentang fisika kuantum. Di dunia fisika kuantum, saya diperhadapkan pada istilah energi, vibrasi, dan frekuensi. Setiap materi adalah energi. Energi tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan, tetapi bisa berubah bentuk. Sementara, energi memiliki gerak atau vibrasinya tersendiri.
Bahkan, pikiran dan perasaan adalah sebuah energi, di mana memiliki vibrasi dengan kadar frekuensinya tersendiri. Ketika ia bervibrasi positif, maka akan terhubung ke semesta sebagai pancaran positif. Ketika pancaran yang positif dikeluarkan, maka akan mengundang hal positif pula.
Saya mulai menyadari bahwa pemali adalah sebuah energi negatif yang harus dihindari. Ketika dilakukan, maka sama halnya kita merubah energi dalam diri menjadi vibrasi negatif yang potensial mengundang hal-hal negatif. Sebaliknya, ketika hal positif yang dipancarkan (praktik ussul), maka kemungkinan hal positif pulalah yang datang. Maka pada posisi ini, pemali sangatlah rasional karena adanya penghindaran terhadap vibrasi negatif dalam diri manusia. Dan itu artinya, berupaya ‘merayu’ semesta untuk memberikan hal-hal positif ke dalam hidup kita.
Upaya menghindari perbuatan negatif dalam pemali adalah bentuk menghindari pancaran vibrasi negatif ke alam semesta. Ini tidak lain tujuannya untuk mendapatkan respons positif kepada alam semesta. Justru sebagai manusia, kita diharuskan senantiasa mendorong vibrasi positif dalam diri, dari perasaan hingga pikiran, agar semesta memberikan respons positif. Inilah yang bisa ditemukan dalam praktik ussul.