Haul Gus Dur ke-15, GUSDURian Wonosobo Bahas Moderasi Agama dan Krisis Iklim

WONOSOBO Puncak Peringatan Haul ke-15 Gus Dur yang diselenggarakan oleh Komunitas GUSDURian Wonosobo beserta jejaringnya berlangsung khidmat. Bertempat di Gereja Santo Paulus Wonosobo pada Sabtu siang (25/1) menjadi momentum refleksi bersama mengenai nilai-nilai Gus Dur dalam memahami keberagaman serta tanggung jawab terhadap lingkungan.

Mengambil tema “Agama untuk Kemanusiaan dan Krisis Iklim”, acara ini menghadirkan enam narasumber dari berbagai lintas iman dan satu narasumber yang berasal dari Pemerintah Kabupaten Wonosobo.

Koordinator GUSDURian Wonosobo, Nayunda Bella menyampaikan bahwa ajaran Gus Dur tentang kemanusiaan menjadi pijakan untuk membangun harmoni. “Kerukunan antarumat beragama bukan hanya soal toleransi, tetapi juga kolaborasi untuk menghadapi tantangan bersama, seperti krisis iklim,” tegasnya.

Membuka dialog, Kepala Kementerian Agama (Kemenag) Wonosobo, Panut menekankan bahwa, moderasi beragama merupakan langkah strategis dalam membina kerukunan umat. “Moderasi beragama menjadi penguat bagaimana keberagaman tidak disalahartikan, Islam yang moderat tidak condong kanan atau kiri. Menebar kebaikan, kondisi krisis iklim menjadi tanggung jawab bersama,” ujar Panut.

Sementara, Pemuka agama Hindu, I Made Kereneng Surasa menegaskan, dalam ajaran Tri Hita Karana telah banyak tertulis bagaimana hubungan harmonis dalam membina kehidupan dengan alam menjadi kunci keberhasilan memaknai kemanusiaan.

Pemuka agama Katolik, Romo Widyo menjelaskan, nilai-nilai yang diwariskan Gus Dur menjadi bukti bahwa keberagaman tidaklah salah, ia kekal dalam hiasan keyakinan masing-masing agama, “Berlaku baik dan positif telah diteladankan Gus Dur, dalam ajaran Katolik juga tertulis di Al-Kitab bagaimana sejatinya menjaga lingkungan menjadi tugas bersama. Wonosobo ini rumah kita bersama, laboratorium perbedaan yang justru implementasinya sangat manis, menghargai kami yang tentunya minoritas,” ujarnya.

Sementara pemuka agama Kristen Protestan, Pdt. Michael Leo menerangkan, ajaran di Al-Kitab yang ia yakini telah banyak memfirmankan kalam Tuhan berkenaan dengan perbedaan harus disejajarkan dengan tali kasih. Dengan kasih inilah perwujudan keberagaman lebih harmonis.

Pemuka agama Buddha, Yunanto juga menegaskan meditasi tubuh terbaik manakala dapat berpikir positif mengenai perbedaan sebuah keniscayaan. Di sisi lain, Pemuka Penghayat sekaligus Ketua Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Wonosobo, Yogo Prihationo menjelaskan, kidung-kidung untuk Gus Dur sang Bapak pluralisme Indonesia tiada berhenti, pemaknaan Iklim Kebhinekaan harus tidak padam. “Tujuannya menuju Wonosobo Memamyu Hayuning Bawana, bersinar hidup dan menghidupi,” terang Yogo.

Sementara itu, Pemuka agama Islam sekaligus Direktur Pascasarjana UNQIS Wonosobo, Lutfan Muntaqo menjelaskan bahwa kehadiran Islam menjadi Rahmatalil’alamin bagi semesta alam, tak terkecuali di Wonosobo. Menyelami pemikiran Gus Dur bagaimana bertindak dalam membela minoritas.

“GUSDURian hadir di tengah-tengah masyarakat tidak hanya berhenti pada momen dialog saja, sudah harus berani melangkah untuk audiensi dan negosiasi terhadap pihak pemerintah maupun DPRD terutama menyoal krisis iklim yang ada di Wonosobo ini,” tegasnya.

Di sisi lain, Pembina GUSDURian Wonosobo, Ahmad Baehaqi Al Anshary berharap acara ini menjadi inspirasi bagi masyarakat luas. “Sejak terbentuknya Forum Kebersamaan (Fober) di era reformasi hingga hadirnya GUSDURian Wonosobo pada 2017, semangat kerukunan ini terus kami rawat. Kami ingin Wonosobo menjadi contoh nyata harmoni keberagaman,” jelasnya.

Acara ini ditutup dengan doa lintas iman yang tentunya menjadi simbol penguat dan juga  merepresentasikan harmoni keberagaman di Wonosobo.

Penggerak Komunitas GUSDURian Wonosobo, Jawa Tengah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *