Aku tengah duduk menunggu istri melakukan tes kesehatan di salah satu rumah sakit di Gorontalo. Dari jarak sekitar 2 meter, para bapak-bapak dan ibu-ibu tengah berbincang membahas satu hal. Di sudut ruang tunggu itu, satu hal menangkap pandanganku. Sebuah pojok baca digital, menyuguhkan buku yang bisa dibaca bebas di tempat oleh pengunjung rumah sakit.
Salah satu dari buku yang berbaris di rak itu menarik perhatianku. Buku yang berjudul Muhammad Al-Fatih dan Pembebasan Konstantinopel, yang ditulis oleh Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi, itulah bukunya. Buku itu mengisahkan latar belakang keluarga, kekaisaran, pendidikan, dan strategi perang dari Sultan Muhammad II hingga mampu menaklukan pendudukan non-Muslim di Konstantinopel, hingga beliau mendapat julukan Al-Fatih (Sang Penakluk).
Salah satu bab yang menarik perhatianku adalah latar belakang pendidikan sang sultan. Di mana, tidak hanya diajarkan pelajaran dunia, beliau juga sangat mumpuni dalam ilmu agama, yaitu Islam. Muhammad Al-Fatih menjadi sosok yang sangat menggemari pelajaran bahasa dan sejarah, yang membuatnya mampu membuat terobosan baru dari para pendahulunya sehingga berhasil menaklukkan Konstantinopel.
Saat belajar agama, sang sultan merasa tidak cocok dengan guru agamanya. Sehingga ayahandanya, mencarikan guru yang terbaik dan ditemukanlah Syekh Al-Kaurani yang, dari desas desus masyarakat mumpuni dalam ilmu agama juga mengajar. Saat itu, Sang Syekh datang menemui Muhammad II dengan memegang tongkat di tangannya.
Syekh Kaurani berkata, “Bapakmu mengirim aku untuk mengajarimu. Dan jika kamu tidak menaati perintahku, maka aku akan memukulmu.” Mendengar hal itu, Muhammad II tertawa. Melihatnya tertawa, Syekh Al-Kaurani memukulnya di tempat itu juga dengan pukulan yang keras. Sikap tegas yang ditunjukan syekh menjadikan Pangeran Muhammad II takut kepadanya, hingga mampu mengkhatamkan Al-Qur’an dalam masa yang pendek, tulis Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi.
Bahkan Syekh Al-Kaurani tidak pernah menundukkan pandangannya terhadap Sultan Muhammad II muda. Ia memanggilnya dengan nama aslinya. Beliau tegas dalam mengajarkan ilmu agama kepada sultan, sehingga melahirkan karakter yang tegas. Hal ini juga membuat sultan mengangkat sang guru sebagai penasehatnya saat memimpin kerajaan. Peran ulama pada zaman dahulu sangat penting dalam satu pemerintahan, yaitu sebagai pelurus dari sikap pimpinan sehingga sesuai dengan ajaran agama.
Guru di Zaman Ini
Masa Sultan Muhammad Al-Fatih menaklukan Konstantinopel dengan masa kini terlampau jauh untuk dibandingkan. Namun, jika kita merenung sedikit tentang sifat dasar manusia sejak kecil, ada satu hal yang menonjol yaitu, manusia sejak kecil perlu mengenyam pendidikan yang diharapkan dapat meluruskan pikiran dan sikapnya dalam meraih cita-cita di masa depan. Tapi, ekspektasi tidak sesuai realita. Nasib guru saat ini sangat memprihatinkan.
Salah satu yang pernah aku temui di sekitarku adalah kasus pelaporan guru di salah satu madrasah di Gorontalo dengan dugaan kekerasan pada siswa. Guru tersebut dilaporkan ke pihak penegak hukum, bahkan setelah bermohon untuk menempuh jalur perdamaian secara kekeluargaan tidak dihiraukan oleh orang tua siswa.
Sebagaimana penuturan guru tersebut, para siswa tengah berkelahi dan menimbulkan kekerasan antara satu dengan yang lain. Sehingga sang guru mencoba melerai mereka. Kemudian memberikan hukuman kepada semua siswa yang terlibat. Hukuman yang menurutnya setimpal diberikan kepada murid yang dianggap nakal, yaitu memberikan pukulan kecil di betis.
Di negara ini, para guru yang mencoba menegakkan tugasnya sebagai guru memiliki berbagai rintangan. Menghukum sedikit dengan mencubit ataupun menegur sudah mendapat laporan kepada penegak hukum. Maraknya kasus pelaporan guru ini, mendapatkan respons dari pakar hukum pidana Universitas Trisakti Albert Aries, dilansir dari CNN. Pakar tersebut mengimbau kepada masyarakat dan aparat penegak hukum untuk segera meninggalkan paradigma yang menggunakan instrumen hukum pidana sebagai sarana pembalasan.
Sikap membalas dengan hukum pidana ini sesungguhnya sangat tidak pantas diberikan kepada para guru, yang masih jauh dari kata sejahtera hidupnya. Apalagi setiap yang kita perlakukan seperti itu adalah pahlawan tanpa tanda jasa.
Salah satu penelitian tentang bagaimana dampak pendisiplinan kepada murid di Kecamatan Muhoroni, Kenya yang berjudul Impact of Discipline on Academic Performance of Pupils in Public Primary Schools in Muhoroni Sub-County, Kenya memberikan kesimpulan bahwa, semakin disiplin para pengajar dalam mendidik para murid akan berdampak pada peningkatan performa akademik mereka.
Penelitian lain di Indonesia yang berjudul “Peran Guru dalam Meningkatkan Disiplin Karakter Siswa”, dengan mengambil penelitian di SD Negeri 1 Kendaga membawa kesimpulan bahwa, disiplin para siswa lahir dari individu sendiri dan juga dari luar dirinya, yaitu berasal dari para guru. Peran guru sebagai teladan yang baik juga dapat memberikan bimbingan untuk meningkatkan kedisiplinan siswa.
Peran guru melahirkan siswa yang tangguh dalam menghadapi kehidupan dan masyarakat di tengah kemajuan zaman ini sangatlah berat. Selain tugas pokoknya sesuai kurikulum yang ada untuk mendidik, guru juga bertugas untuk membentuk akhlak dan karakter yang baik bagi para siswa. Sebab siswa yang tangguh lahir dari guru yang tegas. Seperti sosok Sultan Muhammad Al-Fatih yang ditempa sangat keras oleh gurunya Syekh Al-Kaurani.
Di balik sosok yang besar itu, ada guru yang tegas. Sultan Muhammad Al-Fatih saja harus diberi ketegasan dengan pukulan sehingga menjadi pribadi yang terkenal, sosok besar yang disegani. Namun, berbagai kasus guru yang dilaporkan saat ini berbanding terbalik dengan kisah sang sultan. Jangankan menaklukkan Konstantinopel seperti sang sultan, menaklukan diri sendiri saja bagi murid zaman ini mungkin sulit. Mungkin terlampau jauh perumpamaan yang aku tarik ini, tapi karakter dasar manusia sejak Nabi Adam dan Hawa hingga kini tidak berbeda. Hanya zamannya saja yang makin canggih. Terima kasih.