Pernah dengar ungkapan “pembangunan harus berkelanjutan”? Rasanya kalimat itu semakin relevan di tengah gencarnya pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN). Pemerintah kita memang tengah berlomba membangun infrastruktur demi meningkatkan konektivitas, pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan rakyat. Namun, di balik semua gemuruh alat berat yang menggali tanah dan memotong bukit, ada bisikan lirih dari hutan yang kian terkikis. Apa kabar deforestasi?
PSN: Antara Keperluan dan Kepentingan
PSN adalah serangkaian proyek infrastruktur berskala besar yang dirancang untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasional. Mulai dari pembangunan jalan tol, bendungan, hingga kawasan industri, semuanya bertujuan mulia: mempercepat pembangunan dan meningkatkan daya saing. Namun, yang sering terlupakan adalah bahwa sebagian besar proyek ini membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Sayangnya, sebagian lahan ini adalah hutan.
Data dari Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan bahwa selama periode 2013–2021, Indonesia kehilangan sekitar 1,47 juta hektare tutupan hutan per tahun. Bayangkan, setiap tahunnya kita kehilangan hutan setara luas pulau Bali lebih dari dua kali lipat! Deforestasi ini sebagian besar didorong oleh ekspansi industri, termasuk pembangunan infrastruktur PSN. Meski tidak semuanya “menyasar” hutan primer, dampaknya tetap signifikan terhadap ekosistem.
Ketika Hutan Menjerit
Hutan tropis di Indonesia bukan sekadar deretan pohon tinggi menjulang. Mereka adalah rumah bagi ribuan spesies flora dan fauna, termasuk yang terancam punah seperti harimau Sumatra, orangutan, dan badak Jawa. Selain itu, hutan berperan penting dalam menyerap karbon dan menjadi penyangga ekosistem global. Dengan terus meningkatnya deforestasi, kita kehilangan lebih dari sekadar pohon; kita kehilangan keseimbangan alam.
Dampak deforestasi juga sangat terasa pada masyarakat adat yang menggantungkan hidup mereka pada hutan. Banyak komunitas adat yang terpinggirkan karena tanah mereka digusur untuk proyek pembangunan. Padahal, mereka adalah penjaga hutan yang sesungguhnya. Menurut laporan dari AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), hak atas tanah adat sering kali diabaikan dalam proses pembebasan lahan untuk PSN.
Dilema Ekonomi dan Ekologi
Proyek infrastruktur memang menjanjikan multiplier effect bagi perekonomian. Jalan tol, misalnya, mampu memangkas waktu tempuh dan biaya logistik. Kawasan industri bisa menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja. Namun, apakah manfaat ekonomi ini sebanding dengan biaya ekologis yang harus dibayar?
Sebagai contoh, pembangunan jalan tol yang melintasi kawasan hutan tidak hanya menghilangkan tutupan hutan, tetapi juga membuka akses bagi perambahan liar. Hutan yang sebelumnya sulit dijangkau menjadi rentan terhadap penebangan liar dan alih fungsi lahan. Akibatnya, kerusakan hutan menjadi berlipat ganda.
Ironisnya, deforestasi justru merugikan ekonomi dalam jangka panjang. Bencana alam seperti banjir, longsor, dan kekeringan sering kali dipicu oleh hilangnya fungsi hutan sebagai penyerap air dan penjaga tanah. Kerugian akibat bencana ini sering kali jauh lebih besar dibandingkan manfaat ekonomi dari proyek yang dibangun.
Solusi: Membangun Tanpa Merusak
Apakah pembangunan infrastruktur harus selalu berbenturan dengan kelestarian lingkungan? Tentu tidak. Ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan ekologi.
Pertama, pemerintah perlu memperketat analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) sebelum memulai proyek. Jangan sampai AMDAL hanya menjadi formalitas di atas kertas. Kajian mendalam harus mencakup potensi dampak jangka panjang terhadap ekosistem dan masyarakat sekitar.
Kedua, mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam PSN. Misalnya, pembangunan infrastruktur hijau yang memanfaatkan teknologi ramah lingkungan. Jalan tol atau rel kereta api yang melintasi kawasan hutan bisa dirancang agar meminimalkan dampak pada flora dan fauna, seperti dengan membuat koridor satwa.
Ketiga, melibatkan masyarakat adat dan lokal dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek. Hak atas tanah mereka harus dihormati, dan mereka harus diberdayakan sebagai bagian dari solusi, bukan korban pembangunan.
Keempat, memperluas kawasan konservasi dan reforestasi sebagai kompensasi atas lahan yang hilang. Misalnya, untuk setiap hektare hutan yang ditebang, perusahaan wajib menanam kembali pohon di lokasi lain dengan proporsi yang lebih besar.
Menatap Masa Depan
Pembangunan memang kebutuhan, tetapi tidak boleh mengorbankan keberlanjutan. Hutan Indonesia adalah salah satu kekayaan terbesar yang kita miliki, tidak hanya untuk kita tetapi juga untuk generasi mendatang. Jika kita terus mengabaikan dampak ekologis dari PSN, kita mungkin akan mewariskan infrastruktur yang megah, tetapi dengan harga mahal: bencana ekologis yang tidak terhindarkan.
Sebagai masyarakat, kita punya peran untuk terus mengawasi dan mendorong pemerintah agar tidak hanya mengejar target pembangunan, tetapi juga memastikan bahwa pembangunan tersebut berjalan selaras dengan kelestarian lingkungan. Karena pada akhirnya, apa gunanya jalan tol yang mulus jika di kiri-kanannya hanya menyisakan tanah tandus dan jerit satwa yang kehilangan rumah?
Mari kita bangun Indonesia, tanpa harus menghancurkan alamnya. Karena di balik setiap pohon yang tumbang, ada tanggung jawab yang harus kita pikul.