“Ngapain ambil kuliah tentang perubahan iklim? Toh masih banyak orang yang bakar-bakar sampah juga.”
***
Perkataan itu muncul dari salah seorang teman kepada istri saya ketika mengetahui bahwa ia mengambil pendidikan master di bidang kebijakan perubahan iklim.
Bagi kami, perkataan tersebut mencerminkan karakter sebagian masyarakat kelas menengah di ibu kota saat ini. Cenderung apatis dan enggan berbicara lebih jauh soal isu perubahan iklim, apalagi krisis iklim. Bukan berarti mereka menolak realitas isu global ini. Namun kebanyakan menganggapnya sebagai sesuatu yang terlalu canggih untuk masyarakat Indonesia, yang dianggap tidak terlalu memusingkan isu lingkungan hidup.
Sebutan bakar-bakar sampah dari teman tadi juga menunjukkan bahwa pemahaman soal perubahan iklim masih didominasi oleh persoalan emisi karbon semata. Hal ini tidak mengherankan, karena bagi masyarakat urban, upaya pengurangan karbon telah menjadi tren yang dianggap edgy. Tren ini dikomersialisasikan oleh beragam korporasi lewat iklan dan agenda pemasaran (marketing) yang menggunakan semboyan ramah lingkungan, biar bumi lestari (sustainable) katanya. Banyak korporasi berupaya memasarkan produk-produk yang diklaim dapat mereduksi karbon, karena ternyata ramai peminat. Sebut saja mobil listrik yang kini banyak berseliweran di ibu kota atau perangkat makan berbahan bambu dan kayu yang semakin populer.
Tentu sah-sah saja jika membeli barang yang berlabel ramah lingkungan dianggap sebagai upaya kecil dalam menangkal perubahan iklim. Namun, menurut kami, perilaku konsumtif semacam itu bisa jadi hanya upaya terselubung untuk menutupi isu iklim yang lebih mendasar. Justru, membeli terlalu banyak barang berpotensi menciptakan krisis lingkungan di masa depan.
Ambil contoh kendaraan listrik. Meski tidak menghasilkan emisi secara langsung, materialnya—terutama baterai—diproduksi melalui proses yang berdampak pada lingkungan. Baterai lithium diperoleh dari aktivitas pertambangan yang tidak jarang mencemari laut dan darat serta berdampak negatif pada kehidupan masyarakat lokal. Begitu pula dengan alat makan berbahan bambu atau kayu serut, yang produksinya melibatkan penebangan pohon di alam liar atau berasal dari perkebunan monokultur yang merusak ekosistem hutan. Semua ini, pada akhirnya, turut memicu perubahan iklim.
Banyak ilmuwan modern bahkan mencurigai bahwa perilaku konsumtif dalam membeli produk ramah lingkungan justru memperlihatkan aspek eksploitatif manusia yang terus mendorong roda industri berjalan. Sebab, seperti kedua contoh di atas, kita tahu bahwa produk yang diproduksi secara masif membutuhkan energi besar. Konsumsi energi yang besar biasanya mengorbankan lingkungan dalam skala yang tidak kecil, bukan?
Kami tidak sepenuhnya menolak industri. Karena kami menyadari bahwa sulit untuk menyuarakan gagasan ini. Terutama di tengah ambisi negara yang ingin menggenjot perekonomian melalui industrialisasi masif. Kepentingan ekonomi memang penting, dipercaya dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat, dan berujung pada kesejahteraan bersama. Namun, setelah banyak dekade menerapkan industrialisasi besar-besaran, bagaimana sebenarnya progres taraf hidup masyarakat kita? Apakah pertumbuhan ekonomi yang digadang-gadang itu benar-benar dinikmati oleh semua kalangan, atau hanya segelintir saja?
Model industri berskala besar yang masih tersentralisasi dan padat modal tampaknya perlu dipikirkan ulang. Sudah seharusnya kita mulai mencari alternatif, misalnya dengan mempersingkat rantai suplai barang agar setiap daerah dapat mengembangkan dan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Tentu saja, cara berpikir semacam ini masih dianggap aneh oleh sebagian orang, terutama masyarakat kelas menengah di ibu kota. Sulit bagi mereka membayangkan konsep ini karena hampir semua kebutuhan dapat diperoleh dengan mudah di supermarket dan pusat perbelanjaan lainnya. Kemudahan semacam itu berisiko membuat orang semakin tidak memahami asal-usul barang yang mereka konsumsi. Akibatnya, pemahaman manusia terhadap produk yang digunakannya, bahkan terhadap alam itu sendiri, menjadi semakin berjarak.
Sebagai contoh, coba perhatikan buah dan sayur di supermarket. Seberapa banyak dari kita yang benar-benar tahu bagaimana bentuk tumbuhan aslinya di alam atau bagaimana cara menanamnya? Saya sendiri pun merasa tidak memiliki cukup pengetahuan tentang hal itu. Ketika berjalan di sekitar pepohonan di hutan kota, saya sering kesulitan mengenali nama-namanya, bentuk bunganya, atau seperti apa buahnya.
Namun, sikap apatis kita terhadap alam masih bisa berubah. Cobalah lebih peka terhadap lingkungan sekitar. Sentuh dan rasakan tekstur batang pohon, amati tanaman yang tumbuh di pekarangan rumah, atau cari tahu dari mana asal makanan yang kita makan dan bagaimana prosesnya hingga tersaji di piring kita. Dengan lebih mengenal alam, kita akan menumbuhkan rasa sayang dan keinginan untuk menjaganya. Sehingga, ajakan menjaga bumi tetap lestari bukan hanya jadi iklan korporasi semata.