Menjadi seorang lelaki di tengah masyarakat berbudaya patriarki memang memberi keuntungan dan kenyamanan tersendiri. Dalam budaya seperti ini menjadi lelaki berarti dianggap memiliki kedudukan dan kemuliaan lebih tinggi dibanding perempuan. Ke padanya diberikan hak-hak yang lebih luas dan keleluasaan dalam menjalankan hak-haknya tersebut. Dengan ini, lelaki menjadi gender yang dominan atas perempuan. Sebagai laki-laki tentu saja saya menikmati privilese itu.
Sementara saudari-saudari saya kaum perempuan hingga saat ini hidup di bawah dominasi laki-laki, dan karena itu mereka kerap mengalami diskriminasi. Hak-hak mereka dibatasi, dan sekalipun ada hak yang bisa didapat, kaum perempuan belum cukup leluasa menjalankan hak tersebut. Perempuan bahkan tak jarang mengalami kekerasan, baik fisik maupun mental. Semuanya berpangkal dari pandangan ketidaksetaraan perempuan terhadap laki-laki yang tugasnya tak lain adalah melayani saudara-saudaranya itu. Lalu mengapa sebagai lelaki saya membela perempuan?
Kesadaran Perempuan
Dibanding puluhan atau ratusan tahun lalu, memang benar bahwa saat ini diskriminasi terhadap perempuan sudah mulai berkurang. Perempuan masa kini di beberapa negara punya hak pilih dalam pemilu, menempati posisi-posisi penting di bidang-bidang sosial walaupun bukan yang terpenting dan strategis, dan mendapatkan pendidikan yang cukup. Akan tetapi, kultur masyarakat masih menganggap laki-laki lebih unggul dalam hampir semua hal. Segala hal yang maskulin dianggap lebih mulia dan tinggi daripada yang feminin. Oleh karena itu, diskriminasi terhadap perempuan -mulai penstrataan sosial hingga tindak kekerasan- dalam masyarakat dengan budaya patriarki masih saja berlangsung dan cita-cita akan masyarakat yang setara belum sepenuhnya tercapai.
Mengalami dan menghadapi ketidakadilan, kaum perempuan mencoba melawan. Awalnya perlawanan itu bersifat individual, seperti tulisan-tulisan Kartini. Namun tatkala pengalaman ketidakadilan itu menjadi kesadaran kolektif, perlawanan kaum perempuan mengambil bentuk gerakan.
Sepanjang sejarah bentuk gerakan perempuan bermacam-macam. Ada yang bersifat politis seperti ditunjukkan oleh kehadiran organisasi-organisasi perempuan -mulai dari yang bergerak dalam bidang pendidikan, ekonomi hingga politik itu sendiri. Ada pula gerakan perempuan yang anarkis seperti ditampilkan gerakan suffragette di Inggris akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, dan gerakan perempuan Iran yang dalam beberapa kali -terakhir tahun 2022 lalu- turun ke jalan menentang rezim Islam Iran.
Hingga hari ini kita masih bisa menyaksikan dan merasakan adanya gerakan perlawanan perempuan terhadap budaya patriarki. Jika tidak berbentuk gerakan yang bersifat anarkis atau politis, kita bisa melihatnya menelusup dalam film-film, karya-karya sastra, juga cuitan-cuitan atau konten-konten di media sosial. Apa pun bentuknya, adanya gerakan perempuan menampakkan bahwa kaum perempuan mengalami, menyadari dan merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan, yaitu ketidakadilan sosial berdasarkan gender dan mereka berupaya untuk keluar dari keadaan tersebut.
Kesadaran Laki-Laki
Keberadaan gerakan perempuan menyadarkan saya bahwa ada kesenjangan dalam kedudukan perempuan dan laki-laki sebagai sesama makhluk Tuhan. Sebagai laki-laki tentu saya berada pada posisi yang menguntungkan. Diskriminasi dan peminggiran perempuan dalam kehidupan masyarakat kita kemudian memunculkan pertanyaan dalam benak: apa jadinya jika saya terlahir sebagai perempuan?
Lahir sebagai laki-laki tentu bukan pilihan saya. Apakah itu kehendak Tuhan atau rekayasa gen kedua orang tua, saya lahir sebagai laki-laki begitu saja. Begitu juga saudari perempuan saya juga terlahir dengan cara yang sama. Jadi bukan identitas saya yang memberi kemuliaan, bukan pula Tuhan, melainkan budaya masyarakatlah yang menempatkan perempuan dan laki-laki secara bertingkat. Maka sesungguhnya tidak patut secara etis laki-laki meninggikan dirinya, dan tidak adil pula jika perempuan mengalami diskriminasi hanya karena mereka menjadi sesuatu yang tidak bisa manusia pilih.
Lebih jauh, apabila saya memperluas sudut pandang, dalam budaya yang menjebak masyarakat dalam posisi-posisi saling berlawanan -atau yang terkenal dengan istilah oposisi biner (binary opposition), boleh jadi seseorang dalam ruang lingkup tertentu menikmati previlesenya sebagai yang unggul, yang berkuasa, “yang satu” (the one). Namun dalam ruang lingkup lain boleh jadi ia termasuk “yang lain” (the other), “liyan”, yang terpinggirkan.
Saya ambil contoh pengalaman saya yang boleh jadi juga Anda alami. Saya laki-laki, maka dalam ruang lingkup gender saya adalah “the one”. Tapi saya lahir dan tinggal di pulau Kalimantan, maka dalam ruang lingkup sentimen kedaerahan dibanding mereka yang lahir dan tinggal di pulau Jawa, saya adalah “yang lain”. Meski begitu, saya penduduk sebuah kota besar di Kalimantan, maka saya akan merasa lebih beruntung dibanding mereka yang tinggal di pedesaan. Tapi saya adalah warga sebuah negara di Dunia Ketiga, “yang lain” daripada warga negara di Eropa atau Amerika. Saya juga seorang Muslim, bagian dari golongan mayoritas di Indonesia. Tapi dalam ruang lingkup global menjadi seorang Muslim di zaman sekarang berarti dipandang tak setara dengan mereka yang jumlah umatnya lebih banyak dan berada di pusat-pusat peradaban dunia.
Demikianlah setiap kita adalah “liyan” dalam suatu ruang lingkup dan “yang satu” dalam ruang lingkup lain. Dalam masyarakat dengan struktur oposisi biner ini kita adalah yang terpinggirkan tapi juga yang meminggirkan. Ada kalanya kita didiskriminasi, adakalanya pula kitalah yang mendiskriminasi. Tentu saja ini bukanlah dunia yang kita impikan, namun karena pikiran, sikap dan perilaku manusia dipengaruhi dan dilingkupi oleh struktur budaya, kita tampaknya sulit untuk keluar dari situasi yang demikian. Tapi bukan tidak mungkin.
Aturan Emas
Kesadaran inilah yang kemudian mengantar saya kepada suatu prinsip etis yang dalam filsafat moral disebut dengan “the golden rule” atau “aturan emas”. Aturan inilah yang saya kira dapat memandu kita, setidaknya pada tataran individu, untuk keluar dari struktur masyarakat yang seakan menjadi “hukum sosial” kita, seperti manusia tercerahkan yang terbebas dari hukum Karma dan hidup dalam Atman sebagaimana ajaran Hindu, juga ajaran tasawuf Islam yang memungkinkan manusia meninggalkan dunia fana menuju alam perennial.
Aturan Emas merupakan norma paling dasar dan menjadi hulu dari semua ajaran moral. Sebagaimana kebanyakan ajaran moral, Aturan Emas juga diungkapkan dengan kalimat yang sangat sederhana. Bunyinya kurang-lebih: “Perlakukan orang lain seperti kamu ingin diperlakukan oleh orang lain.” Aturan Emas juga dapat diungkapkan dengan kalimat negatif: “Jangan berbuat sesuatu yang kamu tidak ingin orang lain melakukannya terhadapmu.”
Konon, Aturan Emas ini berasal dari Konfusius. Namun ungkapan serupa terdapat dalam Alkitab, Matius 7:12 yang berbunyi: “Jadi, perlakukanlah orang lain seperti kamu ingin diperlakukan oleh mereka. Inilah inti dari ajaran hukum Taurat dan para Nabi.” Gagasan moral ini tercantum pula dalam Hadis Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh Muslim (Hadis nomor 8442): “Barangsiapa yang ingin dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke surga dan kematian mendatanginya dalam kondisi dia beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia bersikap kepada orang lain dengan sikap yang ingin dia dapatkan dari orang lain.”
Meskipun ditemukan termaktub dalam ajaran agama dan kebijaksanaan kuno, gagasan Aturan Emas ini sebenarnya berangkat dari akal sehat. Kita telah mengalami dan tahu betapa tidak nyaman rasanya terpinggirkan dan kita tentu tidak ingin hal itu terjadi pada diri kita, maka apa hak kita menimpakan ketidaknyamanan itu pada orang lain? Kita tahu betapa tidak tentram rasanya didiskriminasi dan kita tidak suka mengalami itu, maka apa wewenang kita untuk bersikap dan melakukan tindakan diskriminatif terhadap orang lain, apalagi jika diskriminasi itu dilayangkan berdasarkan sesuatu yang tidak dapat manusia pilih, seperti warna kulit, suku bangsa, juga gender? Di sinilah akal sehat kita diuji.
Saya telah mengetahui bagaimana rasanya menjadi bagian dari “yang lain” (the other), yang terpinggirkan, entah sebagai warga negara Dunia Ketiga, berkulit coklat, atau penduduk daerah yang bukan ibukota negara. Maka meski saya berada pada posisi di mana budaya mengunggulkan diri saya sebagai laki-laki, iman dan akal sehat akan membimbing saya untuk menganggap saudari-saudari saya kaum perempuan dan laki-laki setara, dalam hak dan kedudukan mereka sebagai manusia.
Paham kesetaraan dan kemanusiaan antarkaum dan golongan inilah yang menjadi jalan keluar bagi kita untuk meninggalkan situasi di mana kita ditempatkan dalam posisi-posisi berlawanan yang memicu sikap dan perilaku diskriminasi. Paham kesetaraan dan kemanusiaan antarumat manusia pula yang dapat memercik rasa damai dalam kehidupan sosial kita. Paham ini pulalah yang mendorong upaya kita merefleksikan kehidupan surgawi di muka bumi.