Segitiga Emas Kampung Sawah: Potret Toleransi di Sudut Betawi

Selama ini keberadaan suku Betawi di sekitar Jakarta identik dengan agama Islam. Perayaan-perayaan seperti kelahiran, sunatan, nikahan, hingga kematian selalu dikemas dengan nuansa pengajian islami. Sejarawan Betawi, Abdul Chaer menyimpulkan tiga alasan mengapa masyarakat Betawi sangat lekat dengan Islam. Pertama, sejak kecil, orang Betawi telah dididik dalam nilai-nilai Islam. Kedua, orang tua Betawi pada masa lalu lebih mengutamakan pendidikan agama daripada pendidikan umum. Ketiga, hampir di setiap kampung terdapat ustaz atau ustazah yang dengan ikhlas mengajar mengaji karena Allah.

Meskipun Islam dan Betawi sering dianggap seperti dua mata koin yang tidak dapat dipisahkan, namun tidak banyak yang tahu bahwa terdapat sejumlah komunitas Betawi non-Islam yang eksis hingga hari ini. Misalnya, komunitas Betawi Tugu di Tanjung Priok, komunitas Betawi “Belanda Depok” di Depok, dan komunitas Betawi Kampung Sawah di Pondok Gede.

Kampung Sawah merupakan nama daerah di sudut Jakarta yang berada di Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi. Komunitas Betawi Kampung Sawah memiliki sejarah panjang yang dimulai sejak era kolonial. Perkembangan agama non-Islam yang tumbuh pesat di wilayah tersebut, menciptakan keragaman beragama yang unik. Alwi Shahab dalam bukunya Robin Hood Betawi (2002), kehadiran agama Kristen di Kampung Sawah bermula dari kisah seorang jawara dari Banten yang menikahi putri seorang tuan tanah Belanda dan mengikuti agama istrinya. Perkawinan ini menjadi cikal bakal berkembangnya komunitas Kristen di Kampung Sawah.

Selain Kristen, agama Katolik juga memiliki sejarah tersendiri di Kampung Sawah. Helmi Suhaimi dalam tulisannya “Katolik dan Budaya Lokal Betawi: Studi Akulturasi Katolik terhadap Budaya Lokal Betawi di Kampung Sawah, Bekasi” (2016) menjelaskan bahwa masuknya agama Katolik lebih didorong oleh faktor ekonomi dan perdagangan. Belanda menawarkan pekerjaan kepada masyarakat setempat sebagai imbalan atas bergabungnya mereka ke dalam agama Katolik.

Pada masa kolonial, Kampung Sawah menjadi wilayah perkebunan Belanda yang dikelola oleh budak-budak dari luar daerah dan penduduk lokal. Para budak ini kemudian dibebaskan dengan syarat harus memeluk agama Katolik, sehingga semakin memperkaya keberagaman agama di Kampung Sawah. Saat ini, Kampung Sawah memiliki julukan segitiga emas di pinggiran Jakarta karena daerah tersebut dijaga oleh umat beragama Islam, Kristen, dan Katolik. Penyebutan segitiga emas karena di wilayah tersebut terdapat satu jalan yang berdiri tiga rumah ibadah yang berdekatan dan membentuk segitiga, yakni Gereja Kristen Pasundan (GKP) Jemaat Kampung Sawah (1874), Gereja Katolik Santo Servatius (1896), dan Masjid Agung Al Jauhar Yasfi (1965).

Apabila melihat tahun bangunan ketiga rumah ibadah tersebut, seringkali ada anggapan bahwa agama mana yang masuk lebih ke wilayah Kampung Sawah. Padahal, menurut Jacob Yapinun, salah satu tokoh agama yang disegani di Kampung Sawah, sebenarnya jarak masuknya agama Nasrani dan Islam tidak begitu jauh karena dahulu saat kolonial Belanda sebagian besar masih animisme.

Harmoni dalam Adat dan Budaya

Kerukunan masyarakat Kampung Sawah tercipta berkat interaksi sosial yang erat dan peran budaya lokal yang kuat. Sebagai contoh, jemaat Katolik Santo Servatius dan umat Kristen Pasundan tetap mempertahankan tradisi lokal dengan mengenakan pakaian adat Betawi dimana para pria menggunakan peci, baju koko, dan celana pangsi, sementara para wanita memakai kebaya encim dan kerudung.

Meskipun identitas Betawi sering dikaitkan dengan Islam, keberadaan komunitas Betawi non-Islam seperti di Kampung Sawah menunjukkan bahwa keragaman agama dapat hidup berdampingan secara harmonis. Pelestarian budaya lokal, seperti penggunaan pakaian adat Betawi oleh umat Katolik dan Kristen, menjadi contoh nyata bagaimana identitas budaya dapat menjadi perekat dalam masyarakat multireligius.

Kampung Sawah, dengan keberagaman agama dan kerukunan yang terjaga, dapat menjadi model bagi daerah lain dalam membangun masyarakat yang inklusif dan damai. Melalui pendekatan sosial budaya, kita dapat menciptakan lingkungan yang mendukung dialog, menghargai keragaman, dan menangkal paham radikal yang mengancam keutuhan sosial.

Terlebih belakangan Intoleransi, Radikalisme, Ekstremisme (IRE) masih menjadi masalah serius dalam kehidupan sosial masyarakat di berbagai daerah. Meskipun Indonesia memiliki keragaman budaya, agama, dan etnis yang kaya, konflik sosial yang muncul akibat perbedaan masih sering terjadi.

Berbagai kejadian menunjukkan bahwa ujaran kebencian, diskriminasi terhadap kelompok rentan, dan sikap eksklusif dalam beragama dapat mengancam keharmonisan sosial. Contohnya, penolakan terhadap kelompok agama tertentu, pembubaran acara budaya, serta tindakan kekerasan yang dilatarbelakangi keyakinan semakin membuktikan bahwa toleransi belum sepenuhnya tertanam kuat dalam kehidupan masyarakat.

Jika kita menilik ranah kebijakan, di Indonesia, kebebasan berekspresi, beragama, berpendapat, dan berkeyakinan dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) serta berbagai peraturan perundang-undangan. Pasal 28E UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut keyakinannya, serta bebas menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani.

UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) juga mempertegas jaminan ini dengan menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agamanya dan beribadat sesuai kepercayaannya. Kebebasan ini juga didukung oleh ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) melalui UU Nomor 12 Tahun 2005, yang menegaskan komitmen Indonesia dalam melindungi hak asasi manusia, termasuk kebebasan beragama dan berekspresi.

Namun, dalam praktiknya, masih terdapat tantangan dalam menjalankan kebebasan ini. Beberapa peraturan daerah (Perda) dan tindakan diskriminatif sering kali membatasi hak kelompok minoritas, seperti penolakan pendirian rumah ibadah atau pembubaran kegiatan keagamaan. Ditambah UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang kerap disalahgunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi, terutama di media sosial. 

Meskipun kerangka hukum sudah kuat, perlu upaya lebih serius untuk memastikan bahwa semua warga negara, tanpa terkecuali, dapat menikmati hak-hak konstitusional mereka secara penuh dan adil.

Akhirul Kalam

Berkaca pada Segitiga Emas Kampung Sawah, dengan keberagaman agama dan kerukunan yang terjaga, menjadi bukti nyata bahwa harmoni sosial dapat tercipta meskipun di tengah perbedaan keyakinan. Melalui pendekatan budaya lokal, seperti penggunaan pakaian adat Betawi oleh umat Katolik dan Kristen, masyarakat Kampung Sawah menunjukkan bahwa identitas budaya dapat menjadi perekat yang kuat dalam kehidupan multireligius.

Kampung ini tidak hanya menjadi contoh bagi daerah lain dalam membangun masyarakat yang inklusif dan damai, tetapi juga menegaskan bahwa dialog antaragama dan penghargaan terhadap keragaman adalah kunci untuk mencegah intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme.

Wa Allahu a’lam!

Penggerak GUSDURian Bogor & Pengajar di Pesantren Ekologi Misykat Al Anwar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *