Pesantren Gerakan merupakan salah satu bentuk upaya untuk menjawab kebutuhan masyarakat di era modern dengan mengedepankan nilai-nilai inklusif dan progresif. Pesantren kilat selama Ramadan ini diinisiasi Komunitas GUSDURian Yogyakarta bersama PMII Sleman dan IPNU DIY.
Forum ini menjadi wadah diskusi bagi berbagai pemikiran Islam yang dirasa relevan dengan isu-isu sosial dengan memantik para santriwan dan santriwati agar dapat memahami Islam secara luas. Pesantren Gerakan mengangkat beberapa tema besar yang disusun dalam kegiatan ngaji kontemporer yang dilaksanakan selepas salat Ashar berjamaah, yang berlokasi di Griya GUSDURian, Yogyakarta.
Kali ini, ngaji kontemporer yang diselenggarakan dalam Pesantren Gerakan GUSDURian mengangkat salah satu isu menarik tentang pembahasan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Materi disampaikan oleh Sarjoko, staf Sekretariat Nasional GUSDURian sekaligus mahasiswa S3 Kajian Budaya dan Media UGM.
Kajian mengenai KUPI menjadi penting karena menyoroti peran perempuan dalam tafsiran keislaman dan perjuangan mereka dalam menegakkan keadilan sosial. Dengan mengangkat KUPI, Pesantren Gerakan GUSDURian Yogyakarta berupaya memberikan pemahaman yang lebih luas tentang kontribusi perempuan dalam Islam serta tantangan yang mereka hadapi dalam mencapai kesetaraan dan keadilan.
Mengenal KUPI: Gerakan Ulama Perempuan di Indonesia
Berdasarkan sumber resmi KUPIPEDIA, KUPI merupakan organisasi gerakan ulama perempuan di Indonesia yang bertujuan memperjuangkan keadilan gender dalam Islam melalui kajian keislaman yang berbasis pada pengalaman perempuan. Gerakan ini berupaya memperjuangkan hak-hak perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari keluarga hingga kebijakan publik.
Sejarah panjang gerakan ulama perempuan di Indonesia telah mengalami berbagai perkembangan yang signifikan dalam memperjuangkan hak perempuan. Menurut Sarjoko, organisasi perempuan dalam Islam seperti Fatayat NU, Muslimat NU, Aisyiyah, serta GUSDURian telah berperan aktif dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Mereka berkontribusi dalam membentuk kebijakan yang lebih inklusif serta menegaskan peran perempuan dalam ruang keislaman.
Menurut pemaparan Sarjoko, kegiatan Kongres Ulama Perempuan Indonesia pertama kali dilakukan di tahun 2017 di Cirebon dengan peserta hampir 1.600 orang. Kegiatan ini diselenggarakan atas inisiatif dan kerja sama tiga lembaga yang secara khusus memiliki perhatian pada pengkaderan ulama perempuan, di antaranya yaitu Rahima, Fahmina, dan Alimat.
Isu yang menjadi pembahasan pokok yang diangkat dalam dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pertama di Cirebon sejalan dengan nilai-nilai yang dijadikan pegangan dalam prinsip Jaringan GUSDURian. Oleh karena itu, GUSDURian mengambil peran penting dalam mendukung adanya gerakan KUPI dengan menjadi salah satu dalam keempat pilar yang menyongkong Gerakan KUPI ini.
Relevansi KUPI dalam Konteks Masyarakat Muslim Indonesia
Perspektif KUPI berperan penting dalam membangun pemahaman tentang keadilan gender dalam Islam dengan menempatkan pengalaman perempuan sebagai landasan utama dalam merumuskan tafsir keislaman. Pendekatan ini tidak hanya menjadikan Islam lebih inklusif dan kontekstual, tetapi juga lebih relevan dengan realitas sosial yang dihadapi perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mengangkat isu-isu seperti seperti hak perempuan dalam keluarga, partisipasi perempuan dalam kepemimpinan, serta akses terhadap keadilan, KUPI hadir dengan menawarkan cara pandang yang lebih progresif dalam mewujudkan masyarakat yang berkeadilan.
Gerakan ini tidak berhenti pada ranah pemikiran, namun juga memiliki dampak nyata dalam kebijakan sosial, budaya, dan agama di Indonesia. Dengan pendekatan yang menyeluruh, KUPI mendorong berbagai kebijakan yang lebih berpihak pada kesetaraan gender, baik dalam hukum keluarga, sistem pendidikan, hingga kebijakan publik.
Selain itu, kolaborasi antara KUPI dan komunitas seperti GUSDURian berpotensi memperluas pemahaman Islam yang lebih terbuka, inklusif, dan menghargai keberagaman. Melalui sinergi ini, diharapkan kesadaran tentang pentingnya keadilan gender dapat terus berkembang, tidak hanya di kalangan akademisi dan aktivis, tetapi juga di masyarakat tengah secara luas.
Pesantren gerakan GUSDURian mampu menjadi ruang diskusi yang inklusif dalam memahami isu-isu keislaman, termasuk perspektif perempuan dalam KUPI yang tidak hanya melibatkan perempuan, tetapi juga laki-laki dengan perspektif perempuan yang memiliki kepedulian tinggi terhadap isu-isu yang sering kali memarginalisasikan perempuan.
Harapannya, dengan adanya kajian semacam ini dapat meningkatkan kesadaran dari setiap individu akan pentingnya memahami Islam dengan perspektif perempuan. Pendekatan ini tidak hanya menjadi Islam lebih inklusif dan kontekstual, tetapi juga lebih relevan dengan realitas sosial yang dihadapi perempuan dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, kajian yang disampaikan seperti ini dapat terus berlanjut dan menjangkau lebih banyak individu serta komunitas yang ingin memahami keadilan gender dalam Islam. Dengan semakin luasnya diskusi dan pemahaman mengenai isu ini, diharapkan pula tercipta kebijakan serta praktik keagamaan yang lebih inklusif, sehingga nilai-nilai keadilan dan kesetaraan dapat semakin mengakar dalam kehidupan bermasyarakat.