Puasa: Tradisi Universal yang Melampaui Ramadan dan Islam

Puasa sering kali diidentikkan dengan umat Islam, terutama di bulan Ramadan. Namun, jika kita membuka cakrawala pemahaman, praktik puasa ternyata tidak eksklusif milik umat Islam. Tradisi ini hadir dalam berbagai agama dan keyakinan di seluruh dunia, menjadi salah satu bentuk ibadah atau refleksi spiritual yang melampaui batas agama.

Gus Dur, tokoh pluralisme dan pembela keberagaman, pernah berkata, “Jika kita merasa Muslim terhormat, maka kita akan berpuasa dengan menghormati orang yang tidak berpuasa.” Kutipan ini memberikan pesan mendalam tentang makna universal puasa dan pentingnya menghormati perbedaan, termasuk dalam menjalankan atau tidak menjalankan ibadah ini.

Puasa dalam Perspektif Berbagai Agama

Hindu

Dalam tradisi Hindu, puasa dikenal dengan istilah vrata. Praktik ini sering dilakukan untuk membersihkan diri, baik secara fisik maupun spiritual, serta mendekatkan diri kepada Tuhan. Di Bali, puasa menjadi bagian integral dari Hari Raya Nyepi, yang merupakan tahun baru dalam kalender Saka. Pada Nyepi, umat Hindu melaksanakan Catur Brata Penyepian yang mencakup amati karya (tidak bekerja), amati geni (tidak menyalakan api), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak bersenang-senang). Sebagian besar umat Hindu juga menjalani puasa penuh selama Nyepi sebagai bentuk refleksi diri dan mendekatkan diri kepada Tuhan.

Katolik

Dalam tradisi Katolik, puasa adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui pengorbanan. Dengan menahan diri dari makanan atau kenikmatan tertentu, umat Katolik diajak untuk merenungi penderitaan Yesus Kristus, terutama dalam masa Pra-Paskah (Lent). Puasa juga dilihat sebagai tindakan solidaritas dengan mereka yang menderita atau kekurangan. Rabu Abu dan Jumat Agung adalah dua hari utama dalam kalender Katolik yang diwajibkan untuk berpuasa dan berpantang adalah pada Rabu Abu di mana menandai awal masa Pra-Paskah. Umat Katolik menerima abu di dahi sebagai simbol pertobatan. Kemudian, pada Jumat Agung yaitu hari peringatan kematian Yesus di kayu salib. Pada hari ini, umat Katolik berpuasa dan merenungkan pengorbanan Yesus. Ada aturan puasa dan pantang yang diikuti oleh umat Katolik. Puasa diwajibkan bagi mereka yang berusia 18 hingga 59 tahun, sementara pantang berlaku mulai usia 14 tahun ke atas. Pada hari puasa, umat diperbolehkan makan satu kali kenyang, dengan dua kali makan ringan jika diperlukan.

Kristen Protestan

Puasa dalam Kekristenan Protestan bervariasi tergantung denominasi. Banyak gereja Protestan tidak memiliki aturan formal tentang puasa, tetapi umatnya tetap didorong untuk melakukannya sebagai bentuk pengabdian pribadi. Pada masa Pra-Paskah, beberapa gereja Protestan, seperti Lutheran, Anglikan, dan Methodist, juga mempraktikkan puasa selama masa Pra-Paskah. Lalu, juga ada puasa pribadi, misalnya dalam denominasi seperti Pentakosta dan Baptis, puasa sering dilakukan secara sukarela sebagai bentuk doa dan penguatan spiritual. Denominasi Kristen yang tidak terlalu menekankan ritual sering kali mengadopsi bentuk puasa yang lebih fleksibel. Contohnya, tidak makan selama beberapa jam atau satu hari penuh, menahan diri dari makanan tertentu, seperti gula atau daging, dan bahkan ada juga yang melakukan puasa digital, yaitu membatasi penggunaan media sosial atau teknologi sebagai bentuk pengorbanan modern.

Buddha

Dalam agama Buddha, puasa dilakukan untuk menenangkan pikiran dan memupuk kebijaksanaan. Para biksu dan biksuni sering mengikuti aturan tidak makan setelah siang hari, sebagai bagian dari latihan spiritual. Puasa dalam ajaran Buddha lebih menekankan pada pengendalian diri dan pelepasan kelekatan terhadap dunia material.

Yahudi

Puasa adalah bagian penting dari tradisi Yahudi, salah satunya pada hari Yom Kippur, yang dianggap sebagai hari pengampunan dosa. Selama 25 jam, umat Yahudi tidak makan, minum, atau melakukan aktivitas tertentu sebagai bentuk penebusan dosa dan refleksi spiritual.

Bahá’í

Dalam agama Bahá’í, puasa dilakukan selama 19 hari terakhir dalam kalender Bahá’í, yang dikenal sebagai bulan Ala (ketinggian). Puasa berlangsung dari matahari terbit hingga terbenam, serupa dengan praktik puasa dalam Islam. Puasa ini dianggap sebagai waktu untuk memperkuat hubungan spiritual dengan Tuhan dan melepaskan kelekatan duniawi.

Kepercayaan/Keyakinan Tradisional

Puasa juga ditemukan dalam kepercayaan lokal dan tradisional di Indonesia. Dalam tradisi Kejawen, puasa seperti mutih (hanya makan nasi putih dan air) atau ngrowot (menghindari makanan dari beras) dilakukan untuk membersihkan diri dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Lalu, penganut Sunda Wiwitan juga melaksanakan puasa sebagai bagian dari ritual spiritual, biasanya terkait dengan tradisi penyucian dan doa kepada Sang Hyang Kersa. Juga, bagi para penghayat kepercayaan, puasa sering kali dilakukan sebagai bagian dari laku spiritual untuk mencapai keselarasan dengan alam dan Tuhan Yang Maha Esa.

Makna Universal Puasa

Puasa, dalam berbagai tradisi, memiliki benang merah yang sama: pengendalian diri, introspeksi, dan mendekatkan diri kepada sesuatu yang lebih besar, entah itu Tuhan, alam semesta, atau kedamaian batin. Tradisi ini mengajarkan bahwa manusia tidak hanya hidup untuk memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga memiliki dimensi spiritual yang perlu dipupuk.

Bagi umat Islam, puasa di bulan Ramadan adalah ibadah wajib yang memiliki dimensi individual dan sosial. Selain menahan lapar dan haus, puasa juga mengajarkan untuk berbagi, peduli, dan memahami penderitaan orang lain. Hal ini relevan dengan ajaran dalam agama lain yang juga menjadikan puasa sebagai sarana membangun empati dan solidaritas.

Menghormati Perbedaan dalam Puasa

Kutipan Gus Dur, “Jika kita merasa Muslim terhormat, maka kita akan berpuasa dengan menghormati orang yang tidak berpuasa,” menekankan pentingnya sikap saling menghormati. Dalam konteks keberagaman Indonesia, sikap ini sangat relevan.

Sebagai bangsa yang terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan, puasa tidak seharusnya menjadi sumber perpecahan. Sebaliknya, ini adalah momen untuk saling memahami dan menghormati keyakinan masing-masing. Umat Islam yang menjalankan puasa dapat menunjukkan akhlak yang baik dengan tidak memaksakan orang lain untuk ikut berpuasa atau menghakimi mereka yang tidak melakukannya. Meskipun sangat disayangkan kerap masih banyak berita penutupan dan penggusuran paksa warung-warung dan restoran-restoran khususnya yang UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) di pinggir-pinggir jalan oleh aparat Satpol PP dengan alasan penertiban dan menghormati yang berpuasa.

Ini sangat berlawanan dengan perintah Allah untuk tetap menjalankan kebaikan dan menegakkan perdamaian terutama saat sedang berpuasa di bulan Ramadan seperti pada Quran Surah Al Baqarah ayat 183-184:

(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS 2: 183)

“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur.” (QS 2: 184)

Sebaliknya, bagi mereka yang tidak berpuasa, menghormati teman atau saudara yang berpuasa juga menjadi bentuk penghargaan terhadap nilai spiritual yang dijalankan. Sikap saling menghormati ini adalah inti dari keberagaman yang seharusnya dijunjung tinggi di Indonesia. Sangat sedih sekali, justru mereka yang tidak berpuasa sering kali dipaksa ikut berpuasa tanpa consent (persetujuan) dari mereka.

Teringat cerita seorang teman baik yang bahkan seperti ibu saya sendiri yang kebetulan seorang Kristen dan keturunan Tionghoa-Jawa. Pernah pada suatu waktu saat beliau bertugas dari Jakarta ke Banjarmasin, beliau harus menahan lapar seharian penuh karena tak satu pun warung, restoran, dan bahkan tenant di dalam mal di dekat tempat beliau menginap diperbolehkan untuk berjualan makanan. Karena ia bertugas selama tiga hari, di hari pertama usai Maghrib ia membeli cukup banyak roti dan makanan kering untuk berjaga-jaga di hari kedua dan ketiga masa tugasnya agar tidak terulang “puasa tanpa consent” karena ketidaktahuannya.

Penutup

Puasa adalah tradisi universal yang melampaui agama dan keyakinan tertentu. Dengan memahami makna dan praktik puasa dari berbagai sudut pandang, kita dapat belajar bahwa setiap agama memiliki cara unik untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa atau memupuk nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam semangat pluralisme yang diajarkan Gus Dur, mari kita jadikan bulan Ramadan, atau momen puasa dalam tradisi apa pun, sebagai kesempatan untuk membangun toleransi dan solidaritas. Puasa bukanlah ajang untuk menunjukkan superioritas, melainkan cara untuk merenungi diri dan menghormati orang lain, termasuk mereka yang memilih untuk tidak berpuasa.

Sebagaimana pesan Gus Dur, mari menjadi umat yang terhormat dengan menjadikan keberagaman sebagai kekuatan, bukan penghalang. Karena pada akhirnya, esensi dari puasa adalah melatih diri untuk menjadi manusia yang lebih baik, baik bagi diri sendiri maupun bagi sesama.

Penggerak Komunitas GUSDURian Jakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *